Kiai Kampung dan Ingatan tentang Islam Saat Masa Kecil

Desa tempat saya tinggal, terletak di sebelah utara Kabupaten Pekalongan, mayoritas penduduknya beragama Islam. Kultur Nahdlatul Ulama-nya sangat kental. Ada IPNU-IPPNU, GP Ansor, Fatayat, Muslimat hingga NU. Itu jalan semua. Tidak hanya itu, di setiap RT terdapat satu mushola. Tiap-tiap mushola ketika bulan maulid kompak melangsungkan pembacaan barzanji, hampir setiap malam, yang pesertanya dari anak-anak hingga orang dewasa. Selain itu, setiap mushola, juga terdapat jamaah yasin tahlil-nya sendiri-sendiri.

Tentu saja, masing-masing RT ada satu hingga dua tokoh yang dituakan, dihormati, atau dianggap memiliki sisi keagamaan yang paling baik. Tokoh ini biasanya yang kebagian mimpin yasin tahlil hingga diminta jamaah menjadi imam sholat rawatib, dan lain sebagainya. Singkat kata, saya ingin mengatakan bahwa ada peran kiai di dalam dinamika kehidupan bermasyarakat di pedesaan.

Sosok kiai adalah orang yang diyakini penduduk desa mempunyai otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Pada dasarnya, istilah kiai kampung ini disematkan bagi kiai yang lingkup dakwahnya hanya di desa tempat ia tinggal/menetap. Istilah kiai kampung dicetuskan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ketua umum PBNU tahun 1984 – 1999. Beliau juga pernah menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Islam di Mata Anak-anak

Peran kiai kampung sangat penting. Andaikan dahulu saya tidak ikut mengaji kepada kiai – atau seorang yang dilabeli oleh masyarakat memiliki ilmu agama yang luas – di desa saya, saya mungkin tak akan pernah bisa mengeja huruf-huruf hijaiyah, tak pernah tahu ilmu tajwid, akan kesulitan ketika baca Al-qur’an, hingga tak pernah mengenal apa itu Islam.

Ada banyak kiai atau ustadz yang mendiami desa tempat saya menetap. Dan masing-masing kiai memiliki profesi yang berbeda-beda. Dan saya merasa beruntung dan bersyukur, meski tidak pernah menimba ilmu secara langsung di Pondok Pesantren, ketika kecil saya dapat merasakan belajar baca Al-quran di tempat ngaji pak kiai, bertemu teman-teman sebaya, naik sepeda dari rumah menenteng kitab “turutan”, hingga pulangnya terkadang beli jajan enak-enak. Ciri khas anak kecil banget.

Islam yang saya tahu ketika saya kecil, hanya tentang jumlah rukun iman dan rukun islam ada berapa dan apa saja, lalu menghafal nama-nama malaikat beserta tugas pokoknya, serta tiap sore berangkat sekolah di Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ), kemudian pulangnya ngaji Al-quran di tempatnya pak kiai. Selain itu, saya juga diajari tata cara berwudhu, diberi tahu tentang aqidah dan akhlak, hingga diminta menyebutkan nama-nama nabi.

Islam yang saya kenal ketika masa kecil, tidak lebih dari hal-hal tersebut. Saya menyadari bahwa ilmu agama yang didapatkan semasa kecil, sangatlah berguna sebagai bekal perjalanan menuju kehidupan yang lebih dewasa. Ucapan terimakasih perlu saya langitkan kepada para guru, kiai, dan atau siapa saja, yang telah dengan senang hati memberikan pemahaman dasar tentang Islam kepada saya dan teman-teman.

Ingatan Tentang Guru TPQ

Menuntut ilmu di TPQ menjadi tugas lain, di samping bersekolah fornal, ketika saya kecil. Saya masih ingat, dulu sering dimarahi ibu kalau tak berangkat. Kalau ingatan tak khilaf, dahulu, dari tingkatan yang paling dasar, para guru TPQ selalu mengajari saya dan teman-teman membaca huruf hijaiyah yang baik dan benar. Biasanya sang guru akan mengucapkan huruf demi huruf, kata demi kata, untuk kemudian meminta murid-murid menirukannya.

“Ayo anak-anak, kita mulai mengeja huruf hijaiyah dari yang pertama ya,”. Kata sang guru TPQ.

“Ditirukan ya anak-anak, Alif, ba’, ta’, tsa’, jim, ….,”

Lalu murid-murid pun menirukan apa yang dilontarkan sang guru. Bagi saya, itu adalah pengalaman berharga dan tak ternilai oleh apa pun. Pengalaman diajari melafalkan huruf-huruf hijaiyah adalah modal awal agar bisa membaca, kemudian memahami isi kandungan Al-qur’an, meski sampai kini belum banyak yang bisa saya pahami.

Selain mengenalkan huruf hijaiyah dan membimbing cara membaca Al-qur’an yang sesuai dengan tajwid, para guru TPQ itu juga mengenalkan murid-muridnya tentang dasar-dasar agama Islam, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Dari situ, seiring proses kehidupan yang makin berjalan, saya kemudian mendapat materi tentang Islam Rahmatan Lilalamin, ketika masa kuliah, sebuah konsep Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta.

Saat saya kecil, konsep Islam yang seperti itu (baca: Rahmatan Lilalamin) belum saya tangkap. Saya hanya diajarkan tentang hubungan baik antar manusia. Diminta guru saya agar tidak menyakiti sesama makhluk tuhan. Dianjurkan supaya tidak pelit terhadap pengemis. Diberi tahu arti penting menghormati orang tua dan guru. Sudah itu saja. Dan ketika dewasa, saya kemudian sadar, Islam memang demikian. Islam yang ramah, bukan Islam yang marah.

Dengan segala kebaikan, dan keluasan samudra ilmu yang dimiliki para guru ngaji kita, rasa-rasanya, akan sulit membayangkan jika di sebuah desa tak ada satu pun guru ngaji atau orang yang mau mendermakan diri menjadi pengajar ilmu-ilmu agama. Lantas, kepada siapa anak-anak di desa itu dapat belajar agama? Mungkinkah anak-anak di desa itu belajar ilmu agama kepada mbah Google? Seperti fenomena yang sedang terjadi di era sekarang ini.

Di era digital, untuk tahu soal agama, kita memang bisa lari ke google. Searching apa yang kita mau. Sudah, cukup. Tapi, hal yang demikian bisa berakibat blunder. Sebab, informasi yang tersebar di internet belum bisa dipastikan kebenarannya. Kita perlu ingat. Janganlah sampai kita belajar dan meyakini dasar-dasar Islam hanya dari proses pencarian lewat google atau internet saja tanpa mengkaji terlebih dahulu dengan para alim ulama atau guru yang sudah jelas silsilah keilmuannya. Wallahualam.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/kaw/kiai-kampung-dan-ingatan-tentang-islam-saat-masa-kecil-b248799p/