Surabaya, NU Online Jatim
Allah memiliki hak prerogatif untuk menerima atau tidak amal yang diperbuat manusia. Namun, menurut Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar mengatakan setidaknya terdapat sikap yang mesti diperhatikan agar amal tersebut bisa diterima di hadapan Allah swt. Yaitu tidak pernah mengingat-ingat akan amal yang sudah dilakukan.
“Amal yang bisa diharapkan untuk bisa diterima oleh Allah manakala pelakunya tidak ingat-ingat kepada amalnya,” katanya dalam pengajian Syarah Al-Hikam ditayangkan Multimedia KH Miftachul Akhyar diakses NU Online, Ahad (30/6/2024).
Tidak mengingat akan amal yang telah diperbuat menunjukkan sikap ketulusan dan tidak ada tendensi apapun. Sikap ini yang seyogianya ditanamkan setiap kali seseorang berbuat kebaikan kepada sesama maupun di saat harus menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah.
“Karena Allah akan menerima secara utuh amal itu, kalau kita masih ingat terhadap amal kita berarti kita masih gandoli. Kalau sudah gandoli akhirnya nafsu yang akan masuk, akhirnya kotor. Dan Allah tidak mau kalau sudah begini,” jelasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, Jawa Timur ini menambahkan, sebuah amal memang harus bersih, tidak tercampur dengan urusan-urusan kedunawian. Pasalnya, amal hakikatnya persembahan kepada Allah, Dzat yang sangat mulia.
“Allah akan menerima amal yang lengkap sempurna, amal yang cacat-cacat tidak diterima oleh Allah. Lha, Allah kan maha mulia,” ungkapnya.
Memang, lanjut ulama yang kerap dengan sapaan Kiai Miftach ini, Allah swt maha kuasa. Bisa saja menerima amal yang semula kotor, tapi lantaran karena ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki, akhirnya amal itu diterima. Tapi, harus diingat bahwa tidak ada satu pun yang mengetahui ampunan itu diberikan kepada siapa.
“Walaupun Allah kuasa menerima amalan yang cacat itu, karena sudah janji Allah, tapi tidak pantas to, orang yang beramal kepada Allah itu kan maksudnya dia itu menyodorkan penghormatan kepada Allah yang telah memberikan hidayah, sebuah kebaktian. Lha, kok disodorkan dengan amal yang cacat,” terangnya.
“Gampangannya, contohnya begini, ada seorang rakyat yang cinta kepada raja atau presidennya mau memberi hadiah lah, yang dibanggakan misalnya cincin berlian, tapi ternyata cincinnya cacat, kotor, ya tidak ada nilainya. Ya lebih baik jangan disodorkan cincin itu kepada raja,” imbuhnya.
Kiai Miftach dalam kesempatan ini juga menerangkan ketentuan amal yang diterima Allah dengan mengutip keterangan Imam Al-Ghazali bahwa Allah akan menerima amal manusia secara utuh dan murni, tapi keutuhan amal tersebut bukan amal yang menyeluruh.
“Imam Ghazali menyatakan amal yang utuh bisa hanya sepertiga yang diterima atau hanya sepuluh persennya yang diterima atau lima persennya yang diterima. Ini yang bersih. Misalnya (amal seperti) kepala sampai kaki, misalnya kepalanya saja yang sempurna, kepala ini yang diterima. Yang lain tidak diterima,” jelasnya.