Kitab Tanwirul Hija yang merupakan gubahan nadzam dari kitab safinatun naja ini cukup popular di kalangan santri, baik itu di Indonesia maupun di luar Indonesia. Namun siapa yang menyangka jika pengarangnya adalah putra dari Kiai Shiddiq Jember.
Adalah Kiai Ahmad Qusyairi Shiddiq merupakan putra ketiga Kiai Shiddiq bin Abdullah dari istri pertamanya Nyai Masmunah binti Wiryodikromo Lasem yang akad nikahnya berlangsung pada tahun 1874 M / 1290 H.[1] Dilahirkan di dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang pada tanggal 11 Sya’ban 1311 H / 17 Februari 1894 M.[2]
Menurut cerita tutur dari putranya, Almagfurllah KH. Hasan Abdillah Ahmad Glenmore, Banyuwangi. Abahnya / Kiai Ahmad Qusyairi sejak usia dini dikirim ke beberapa pesantren oleh ayahandanya, Kiai Shiddiq. Antara lain di Langitan, Tuban (masa KH. Sholeh bin Hadi pengasuhnya), lalu di ponpes Buduran, Sidoarjo semasa diasuh oleh Kiai Khozin, kemudian di Semarang Jawa Tengah semasa diasuh oleh Kiai Ridwan dan di Rembang beliau mengaji kepada Kiai Suyuthi.
Di pulau garam (Madura) Achmad Qusyairi juga mengaji kepada Syaikhona Kholil bin Abdul Latief. Di pesantren Bangkalan inilah Ahmad Qusyairi kecil sangat mengidolakan maha gurunya tersebut. Kelak di hari tuanya nama gurunya tersebut terpatri dalam syair gubahannya usai menunaikan ibadah haji tahun 1971.
Oleh Syaikhona Kholil pun beliau ditugasi menjadi lurah pondok dan diberi amanat untuk mengajar kepada santri yang baru masuk pesantren Bangkalan. Ketika abahnya, Kiai Shiddiq diutus oleh gurunya yakni Syaikhona Kholil Bangkalan untuk berdakwah di daerah Jember, Ahmad Qusyairi kecil bersama ibunya dan saudaranya ketika itu masih bermukim di Lasem. Setelah menyelesaikan studinya, Achmad Qusyairi pada tahun 1911 merintis Madrasah As – Sunniyah yang letaknya berada di utara masjid Jami’ Al Anwar Pasuruan.
Karena memiliki paras yang rupawan, akhirnya beliau dijodohkan oleh Habib Alwi Assegaf Pasuruan dengan Nyai Fatimah binti Kiai Yasin ketika Kiai Shiddiq bersama putranya tersebut bersilahturrahim ke kediaman Habib Alwi. Mulanya Kiai Achmad Qusyairi hendak dinikahkan dengan putri H. Alwi, saudagar asal Gebang, Jember yang merupakan karib Kiai Shiddiq berdagang di Pasar Gebang, namun karena isyaroh dari Habib Alwi Pasuruan dan takdzimnya Kiai Shiddiq dan putranya Kiai Achmad Qusyairi kepada dzurriyat Rasulullah.
Menjadikan pernikahan Kiai Achmad Qusyairi dengan putri H. Alwi Gebang tidak jadi terlaksana. Pada tahun 1913 M di usianya 20 tahun, Kiai Achmad Qusyairi menunaikan haji untuk pertama kalinya dan tinggal disana selama lima tahun. Adapun yang menjadi dorongan beliau segera berangkat haji adalah dikarenakan beliau ingin mengkhatamkan hafalan Al – Qur’an, disisi lain karena beliau sungkan kepada istrinya yang terpaut selisih setahun telah hafal Al – Qur’an lebih dulu.
Selama di Mekkah tercatat selain menunaikan ibadah haji, Kiai Achmad Qusyairi juga menimba ilmu kepada ulama’ disana pada halaqah – halaqah yang ada di sekitar masjidil haram. Lambat laun kealliman beliau pun mulai diakui oleh ulama’ Haramain sehingga Kiai Achmad Qusyairi diberi lisensi untuk mengadakan halaqah di sekitar masjidil haram.
Untuk mendapat lisensi mengajar tersebut sungguh ada sebuah aturan dan prasyarat ketat yang harus dilalui oleh seseorang yang akan mengajar di pelataran masjidil haram, seperti mampu menguasai semua fan keilmuan dalam Islam, mampu membahas fiqih berdasarkan madzhab 4, dll. Kesemua itu telah dilalui Kiai Achmad Qusyairi yang menjadikan beliau lolos dalam seleksi. Adapun murid – murid beliau yang masyhur adalah Syaikh Mukhtar Sedayu.
Selain mengajar, Kiai Achmad Qusyairi selama di Mekkah juga menulis sebuah kitab berbentuk nadzam dalam fan fiqih dengan judul “Tanwirul Hija”. Kitab ringkasan matan Safinatun Naja ber – bahr Rajaz tersebut menarik minat Syaikh Muhammad Ali bin Husein Al Kuddusi Al Makki (Ulama besar Masjidil Haram asal Kudus) untuk men – syarah nya.
Dalam muqoddimah kitab syarah – nya yang berjudul Inarotud Duja tersebut, Syaikh Muhammad Ali menyematkan gelar kepada Kiai Achmad Qusyairi sebagai ulama’ yang “al – allim al – fadlil ar – rabbani”. Baru pasca Perang Dunia 1 (1914 -1918), Kiai Achmad Qusyairi pun dapat kembali ke tanah air. Di Pasuruan beliau menempati rumah kecil di barat rumah mertuanya Kiai Yasin.
Selama tinggal di Pasuruan, Kiai Achmad Qusyairi berprofesi sebagai pedagang peralatan dokar yang lokasi tokonya berada 200 meter sisi selatan masjid Jami’ Al Anwar Pasuruan. Toko itu diberi nama “Pasoeroeansche Dokar – Handel S. H. Achmad bin Siddieg”. Terkait penghapusan tambahan nama “Qusyairi” ini ada kisah unik, bahwasannya ketika mengajar dan mukim di Mekkah, banyak orang mengira bahwa Kiai Achmad Qusyairi ini berasal dari daerah Qusyair, Mesir.
Maka untuk menghilangkan spekulasi tersebut, beliau menghilangkan nama “Qusyairi” ini menjadi Achmad bin Shiddiq Al Lasemi Al Pasuruani, baik itu di plang nama toko beliau dan karya tulis beliau. Belakangan hari ketika Kiai Achmad Qusyairi memiliki adik seayah lain ibu yang juga bernama Achmad dan di kemudian hari ia kelak menjadi Kiai besar Rais Amm PBNU dan penyusun wirid Dzikrul Ghofilin.
Tambahan nama beliau yakni “Qusyairi” lalu digunakan kembali untuk membedakan dua Achmad yang sama – sama putra dari Kiai Shiddiq. Mungkin cukup sekian dulu mengenai setengah perjalanan hidup Kiai Achmad Qusyairi Shiddiq yang nantinya akan kami teruskan dalam artikel tentang perjalanan dakwah beliau di Glenmore, Banyuwangi hingga kewafatan beliau rahimahumullah. Wallahu a’lam.
[1] Afton Ilman Huda, “Kiai Shiddiq, Kisah Hidup Kiai wa Dzurriyah”, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2021), hal. 86
[2] Hamid Ahmad, “KH. Achmad Qusyairi bin Shiddiq : Pecinta Sejati Sunnah Nabi”, (Pasuruan : L’Islam, 2023), hal. 06
Baca Juga
https://alif.id/read/aka/kiai-qusyairi-shiddiq-sang-pengarang-nadzam-tanwirul-hija-b249764p/