Oleh Dr. KH. Didin Sirojuddin AR, Pengasuh Pesantren Kaligrafi Al-Quran Lemka Sukabumi
Kemenag RI telah mengeluarkan logo HALAL Indonesia, menggantikan logo حلال MUI yg sudah lama digunakan. Logo baru yang dirilis Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag ini jadi bahan perbincangan dan gunjingan yang sangat ramai dan panas, terutama terkait jenis khat-nya, susunan desain, warna, sampai bacaannya.
Kaligrafi logo baru yang menggunakan khat Kufi ini jelas-jelas terbaca حلال. Tapi لا (lam alif)-nya bisa bias dan multi tafsir. Maka, alifnya lebih baik disambungkan ke telapak kakinya atau dibikin lam alif tunggal berlubang seperti لا Naskhi. Ini cara paling aman, selain untuk mengembalikannya kepada “ushul al-syakl” alfabet Kufi itu sendiri.
Goresan menjulur pucuk huruf ح (ha) tidak salah, karena mengikuti tradisi Kufi Murabba’ (persegi 4) untuk menyesuaikan diri dengan space-nya. Tidak berbeda dengan pucuk melengkung ح untuk mewakili Kufi Muwarraq (tipe daun). Tapi kalau dipangkas separuhnya, akan tambah jelas. Persis ل (lam) akhir yang apabila wilayah keluk pancingnya dipotong separuh, juga akan menambah kejelasan. Dengan begitu, pemenggalan di sayap kiri dan sayap kanan akan berjajar simetris. Adapun goresan merebah ke kanan di kepala dan lokasi “tarwisy” ل hanyalah “imtidad” alias pemanjangan bodi huruf untuk menyesuaikannya dengan format ruang atau bidang yang sudah dirancang dan tidak mengkawatirkan menukar atau menyulap huruf lam menjadi ك (kaf).
Kenapa? Sebab, goresan merebah tersebut sudah jadi hak milik ك (kaf) Saefi (hunusan pedang) pada khat Tsulus, Naskhi, Farisi, Riq’ah, dan bukan Kufi. Lagi pula huruf ك (kaf) Kufi awal, tengah, dan akhir sama bentuknya, dan tidak “menghunuskan pedang” seperti di wilayah kepala keempat gaya khat tsb. Maka, logo baru ini tidak akan terbaca هلاك (halak dengan هـ (ha besar) yang berarti “kebinasaan” seperti dugaan sebagian orang, karena huruf awalnya dengan ح (ha’ kecil) dan huruf akhirnya dengan ل (lam) bukan ك (kaf), jadilah حلال (halal).
Logo baru حلال tidak bisa dibaca حرام (haram) kecuali dengan memodivikasi لا (lam alif) dan ل (lam)-nya. Seandainya juluran ل pada لا -nya dipenggal menjadi tersisa kira-kira sepertiganya (sehingga berubah jadi ر (ra) dan goresan putus ل (lam) akhir “disambungkan”, sehingga berubah jadi مـ (mim) barulah menjadi حرام (haram). Tapi bila tetap menjulang sampai batas langit-langit huruf. Jadi, statusnya tetap ل (lam). Memang ada satu goresan, misalnya pada khat Diwani, yg memungkinkan punya dua bacaan, tentu dengan alasan. Satu goresan bisa dibaca bi’sa (بئس) kalau bertemu المصير dan dibaca Yasin (يس) apabila nyambung ke والقرآن الحكيم . Tapi dalam “kasus halal-haram” ini, tamsil tersebut tidak berlaku.
Menstempel kaligrafi logo tersebut dengan label khat Syaka (Syakahayang, Syakenanya, Syakadaek, Syakainget, Sya’ayana, Syakarepedewek) kurang memenuhi syarat, karena tidak ditulis asal-asalan yang menghasilkan goresan “cakar ayam”. Tetapi dibuat dengan rancang desain matematis full perhitungan, mempertimbangkan citarasa seni yang tinggi, dan berasaskan filosofi dan pemikiran mendalam. Tiga keriterium ini termaktub dalam 3 “mabadi asasiyah” kaligrafi, yaitu:
• satu: الخط علم (kaligrafi adalah ilmu),
• dua: الخط فن (kaligrafi adalah seni), dan
• tiga: الخط فلسفة (kaligrafi adalah filsafat).
Lantas, kenapa berubah ke Kufi dan tidak mempertahankan gaya Naskhi seperti logo yang dulu dan logo-logo حلال punya negara-negara lain yang hampir seluruhnya menggunakan khat Naskhi?
Ini hanya soal pilihan berdasarkan tujuannya. Naskhi tujuannya “fungsional” supaya mudah dibaca. Kufi dan non-Naskhi lain tujuannya “estetis” supaya kemahiran membaca tadi ditambah dg citarasa seni, pemahaman estetika, dan mau tolabul ilmi kaligrafi lagi. Meskipun bersifat estetis atau seni, Kufi logo ini tidaklah rumit. Sehingga mudah-mudahan saja masih bisa memenuhi harapan diciptakannya sebuah logo, yaitu: simpel (sederhana, tak rumit), gampang diingat alias memorable, pas dan cocok dengan yang diwakili (apropriate), ukuran bisa dibaca meskipun dikecilkan (resizable), dan timeless alias awet, berlaku sampai hari kiamat.
Seperti memilih jenis dan gaya khat, warna huruf juga soal pilihan. Tidak bisa memfatwakan warna logo lama atau yang baru yang lebih bagus. Yang penting, sensasional dan filosofis. “Colour is sensation,” kata William F. Powell. Warna logo telah dijelaskan pula dan dibumbui tafsirannya kepada publik. Di bawahnya juga diterakan huruf Latin HALAL yang cukup menjelaskan. Menarik, Al-Qur’an pun menyinggung keanekaragaman warna² primer (مختلف ألوانه، مختلفا ألوانها) dengan watak, fungsi dan filosofinya. Jadi, kaligrafi akan tampil manis dengan warna apa pun. Yang penting “dicelup” oleh, setidaknya, 4 aspek alam, budaya, psikologi, dan globalisasi:
• WARNA ALAM — Dasar warna diambil dari warna alam. Misalnya, biru langit, biru muda, hijau daun, coklat tanah.
• WARNA BUDAYA — Pilihannya berdasarkan pada tradisi atau budaya. Misalnya, dari warna baju adat dan hasil bumi. Warna yg terpengaruh budaya ini, antara lain kuning, oranye, merah marun, dan ungu.
• WARNA PSIKOLOGI — Warna yg mengekspresikan emosi dan gaya hidup. Warna²nya, antara lain, merah muda dan hijau apel.
• WARNA GLOBALISASI — Kelompok warna yg berunsur teknologi, antara lain, abu² muda, biru muda, dan oranye muda.
Khat Kufi merupakan kaligrafi Arab tertua dan sumber seluruh kaligrafi Arab. Tulisan produk kota Kufah ini berasal dari khat kuno Jazm yang terpecah dari khat Musnad. Ciri asalnya kaku-kering (jamid/dry writing) yang juga menjadi simbol filosofinya, bahwa masyarakat Arab dulu hidup kaku, kasar, dan jahiliyah. Tapi kehadiran Al-Qur’an mengubah semuanya. Teks Al-Qur’an sendiri awalnya disalin oleh khat Kufi Mushaf, sehingga Kufi menjadi tulisan “raja” satu-satunya yang digunakan untuk menyalin Al-Qur’an. Kufi langsung berubah dan berkembang. Dari semula berciri “mabsuth wa mustaqim” (kejur dan lurus), berubah jadi “qobilun litta’dil” (menerima modivikasi) dan “qobilun littakyif” (gampang beradaptasi). Ini kabar baik bagi para seniman. Seperti dikomentari Maruf Zureiq:
ثم أصبح الخط الكوفى فنا قائما بذاته، يتخصص بكتابته بعض الخطاطين الفنانين
Artinya, “Kemudian khat Kufi berubah menjadi seni yg berdiri sendiri sebagai instrumen ekspresi para seniman kaligrafi.”
Dari kaku menjadi luar biasa lentur, plastis, khat Kufi bisa dibentuk apa saja dari pola arsitektural bangunan sampai format lancip, bulan sabit, kubah, lingkaran, oval, persegi (square), diagonal, triangular, four triangles, hexagonal, octagonal, dll. sehingga sangat mudah membentuk gunungan dengan motif sarjan (baju khas jawa untuk pria) atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas seperti pada logo حلال. Akhirnya, fungsinya tak lagi terbatas untuk menyalin Al-Qur’an, Kufi juga dipergunakan sebagai lambang-lambar dalam inskripsi Arab atau sebagai tulisan dekorasi dan cetakan mata uang Dirham seluruhnya. Kufi hias benar-benar menjadi elemen penting dalam seni Islam. Ketika berbentuk ornamental, gaya susun tulisan-tulisan tersebut akan menunjukkan keserasian yang sempurna.
Yang mengagumkan, bentuk-bentuk tadi bisa diterapkan untuk seluruh jenis Kufi: Kufi Basit, Musattar atau Murabba, Musattar Muta’assir bil Rasm, Musattar Muta’assir bil Falsafah, Musattar Mutasyabik. Disusul kemudian Kufi yang berafiliasi ke bentuk, yaitu Kufi Mutalasiq, Muwarraq, Muzakhraf atau Muzahhar, Muzayyin Nafsah, Madfur atau Ma’qud atau Mutarabit, Muta’assir bil Rasam. Sisanya Kufi yang berafiliasi ke masa, yaitu: Kufi Andalusi, Fatimi, Ayubi, dan Mamluki. Subhanallah, tulisan indah khat atau kaligrafi tidak saja memenuhi keperluan estetis tetapi juga keperluan fungsional, tidak hanya fungsional tapi juga estetis. Keduanya harus diperpadukan.
Kampus Seniman Muslim, Pesantren Kaligrafi Al-Quran Lemka, Sukabumi, 17/03/2022 M (Nishfu Sya’ban 1443 H)