Laduni.ID, Jakarta – Salah satu tanda cinta seseorang kepada kekasihnya adalah banyak menyebut namanya. Begitu juga orang yang mengaku cinta kepada Nabi pasti berusaha semaksimal mungkin untuk mentaati perintahnya dan memperbanyak membaca shalawat kepadanya.
Allah sebagai Tuhan semesta alam memerintahkan kepada hambanya untuk selalu bershalawat kepada Nabi, padahal Nabi sudah penuh kebaikan dan kemuliaan, ini bertujuan sebagai bukti syukur kita kepada Nabi sebagai orang yang mengenalkan kita kepada Tuhan.
Shalawat, surat Al-Fatihah, yang dibaca untuk Nabi Muhammad SAW biasanya diniatkan sebagai tawasul atau semacam kunci pembuka pintu ghaib.
Dari sini muncul pertanyaan tentang bagaimana hukum menghadiahkan Al-fatihah kepada Nabi?
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan dengan rinci hal-hal terkait tawasul yang perlu diketahui agar tidak salah dalam memahami praktik tawasul yang kerap diamalkan di kalangan masyarakat berpaham Ahlussunah wal Jamaah sebagai berikut:
أولا: أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك
Artinya, “Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah satu pintu tawajuh kepada Allah SWT. Tujuan hakikinya itu adalah Allah. Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, kitab Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 123-124).
Adapun perihal hukum pembacaan atau pengiriman Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW, ulama berbeda pendapat, yakni ulama Mazhab Maliki dan ulama Mazhab Syafi‘i. Perbedaan pandangan ini diangkat oleh Syekh Ihsan M Dahlan Jampes asal Kediri sebagai berikut:
فائدة: هل تجوز قراءة الفاتحة للنبي صلى الله عليه وسلم أولا؟ قال الأجهوري: لا نص في هذه المسئلة عندنا: أي معاشر المالكية، والمعتمد عند الشافعية جواز ذلك فنرجع لمذهبهم فلا يحرم عندنا والكامل يقبل زيادة الكمال قاله الشيخ أحمد تركي في حاشية الخرشي
Artinya, “Informasi: Apakah boleh atau tidak membaca (mengirim) Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW? Imam Al-Ajhuri mengatakan, masalah ini menurut kami (kalangan Malikiyah) tidak ada nashnya. Sementara pendapat yang muktamad di kalangan Syafi‘iyah membolehkannya (kirim Surat Al-Fatihah untuk Nabi Muhammad SAW). Kami merujuk ke mazhab mereka sehingga hal itu tidak haram bagi kami. Orang sempurna tetap menerima peningkatan kesempurnaan sebagaimana dikatakan Syekh Ahmad Tarki dalam Hasyiyah Al-Kharasyi,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, kitab Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 14).
Dari keterangan ini, kita dapat memahami bahwa ulama Ahlussunnah wal Jamaah pada prinsipnya meyakini praktik tawasul sebagai doa yang diikhtiarkan. Dengan pemahaman seperti itu, masyarakat dapat mengamalkan ‘kirim’ Surat Al-Fatihah dan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW.
Dalam Fatawa Dar Al-Ifta’Al-Misriyyah menjelaskan bahwa:
ﻭﺇﺫا ﻗﺮﺃﻫﺎ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﻟﻠﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻧﻪ ﻳﻬﺐ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺇﻟﻴﻪ، ﻣﻊ ﻏﻨﻰ اﻟﺮﺳﻮﻝ ﻋﻦ ﻫﺬا اﻟﺜﻮاﺏ ﻓﻘﺪ ﺷﺮﻓﻪ اﻟﻠﻪ ﻭﻛﺮﻣﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺗﺸﺮﻳﻒ ﻭﺗﻜﺮﻳﻢ، ﻷﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﻬﺒﺔ ﻋﻼﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺣﺐ ﻣﻦ ﻗﺮﺃﻫﺎ ﻟﻠﻨﺒﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ، ﺗﻤﺎﻣﺎ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻰ
“Ketika seseorang membaca Al-fatihah kepada Nabi kemudian mengirimkan pahala bacaannya Kepada Nabi Padahal Nabi tak membutuhkan pahala ini karena Allah telah memuliakannya dengan kedudukan yang mulia maka hadiah pahala ini sebagai tanda cinta kepada kepada Nabi seperti halnya bacaan shalawat yang ditujukan kepadanya.”
Yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah adalah bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini jelas dan sudah sama-sama diketahui.
Imam Syihabuddin Ar Ramliy Rahimahullah -seorang Imam dalam madzhab Syafi’iy- berkata ketika ditanya hukum mengirim Al Fatihah ke Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
نَعَمْ ذَلِكَ جَائِزٌ بَلْ مَنْدُوبٌ قِيَاسًا عَلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ وَالْمَقَامِ الْمَحْمُودِ وَنَحْوِهِ ذَلِكَ بِجَامِعِ الدُّعَاءِ بِزِيَادَةِ تَعْظِيمِهِ وَقَدْ جَوَّزَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنٌ فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ فَالْمَانِعُ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُ مُصِيبٍ
Ya, itu boleh bahkan dianjurkan, diqiyaskan dengan bershalawat kepadanya, mendoakan dan memintakan untuknya wasilah dan kedudukan yang terpuji dan semisalnya, dengan kumpulan doa yang menambah penghormatan kepadanya. Hal ini dibolehkan oleh segolongan ulama muta’akhirin dan diamalkan kaum muslimin. Apa-apa yang baik di mata kaum muslimin maka itu di sisi Allah juga baik. (kitab Fatawa Ar Ramliy, 3/125)
Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah berkata:
مَطْلَبٌ فِي إهْدَاءِ ثَوَابِالْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ قَالَ: وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ، بِأَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمُرًا بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ. وَحَجَّ ابْنُ الْمُوَفَّقِ وَهُوَ فِي طَبَقَةِ الْجُنَيْدِ عَنْهُ سَبْعِينَ حَجَّةً، وَخَتَمَ ابْنُ السِّرَاجِ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافٍ خَتْمَةٍ؛ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ. اهـ
Mengirimkan hadiah pahala bacaan Al Quran kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam itu dibutuhkan.
Imam Ibnu Hajar menceritakan dalam kitab Al Fiqhiyah Al Kubra bahwa Al Hafizh Ibnu Taimiyah menyangka kirim bacaan Al Quran buat Nabi Shalallahu ‘Alaih wa Sallam terlarang sebab kedudukannya yang tinggi tidaklah membutuhkan itu kecuali dengan izinnya, yaitu bershalawat, dan berdoa meminta kedudukan wasilah baginya.
Dia (Ibnu Hajar) berkata: “Hal ini telah dibantah oleh As Subkiy dan lainnya, bahwasanya masalah ini tidaklah membutuhkan izin khusus dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bukankah Anda lihat bahwa Ibnu Umar umrah untuk Nabi Shalallahu ‘Alaih wa Sallam setelah wafatnya Nabi tanpa diwasiatkan olehnya.
Ibnul Muwaffaq -sezaman dengan Ibnul Junaid- telah menghajikan Nabi sebanyak 70 kali,
Ibnu As Siraj mengkhatamkan Al-Qur’an 10.000 kali untuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. , dan dia berqurban untuknya sebanyak itu juga.”
(kitab Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/244)
Ibnu ‘Abidin juga mengatakan bahwa kebolehan ini menjadi pendapat ulama Hanafiyah seperti Imam Syihab bin Ahmad Asy Syalaby, juga Hambaliy seperti Imam Ibnu ‘Aqil Al Hambaliy. (Ibid)
Menghadiahkan pahala bacaan surat al-Fatihah atau bacaan al-Qur’an kepada Rasulullah SAW hukumnya diperbolehkan, bahkan orang yang membacanya akan mendapat pahala yang agung dan mendapatkan derajat kedudukan yang tinggi.
مجموع فتاوي القرآن الكريم من القرن الأول إلى القرن الرابع عشر للدكتورمحمد موسى الشريف الجزء 1 صحيفة: 1254-1256 مكتبة دار الأندلس الحضراء المملكة العربية السعودية – جدة
سئل الشيخ عبد الحفيظ بن درويش العجيمي الحنفي رحمه الله تعالى عنه.
إهداء قراءة القرآن إلى روح سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم , هل يجوز أم لا, أفتونا؟
أجاب: نعم يجوز ذلك, وفاعله مأجور لعظم أجره ذلك, لأن مذهب جمهور أهل السنة والجماعة جواز إهداء عمل الإنسان لغيره وهو عام في جميع العبادات صلاة أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة القرآن أو ذكر أو غير ذلك من أنواع البر سواء كان فرضا أو نفلا. – إلى أن قال – فمن رغب في رفع الدرجات فليكثر من إهداء جميع الخيرات للأحياء والأموات خصوصا سيد السادات ولا ينقص بذلك أجره بل يعظم به ثوابه ويعلو قدره كما وردت به السنة وذهب إليه كثير من علماء الأمة – إلى أن قال – وقال في (التحفة) ما حاصله: وأما اعتيد في الدعاء بعدها – يعني قراء القرآن من قول الداعي :اللهم ا جعل ثواب ذلك أو مثله إلى حضرته صلى الله عليه وسلم أو زيادة في شرفه جائز كما قاله جماعة من المتأخرين بل حسن مندوب إليه خلافا لمن وهم فيه ؛ لأنه صلى الله عليه وسلم أذن لنا في الدعاء له بكل ما فيه زيادة تعظيم حيث أمرنا بسؤال الوسيلة له ونحوها.
Syaikh Abdul Hafidz bin Darwis Al-‘Ajimi Al-Hanafi semoga allah merahmatinya (nama lengkapnya Syaikhul Islam Jamaluddin Abdul Hafidz bin darwis bin Muhammad al-‘Ajimi, beliau bermadzhab hanafi dan pernah menjabat sebagai dan Mufti dan hakim di Makkah), pernah ditanya tentang masalah hadiah bacaan al-qu’an kepada ruh baginda kita Rasulullah SAW, apakah hukumnya diperbolehkan atau tidak, berilah fatwa kepada kami?
Beliau menjawab: Ya, Hukumnya diperbolehkan, dan orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala, karena besarnya pahala perbuatan tersebut, sebab madzhab jumhur Ahsus Sunnah Wal-Jama’ah memperbolehkan menghadiahkan pahala manusia kepada orang lain, dan itu umum dalam semua ibadah, baik berupa shalat, puasa, haji, shodaqoh, bacaan al-qur’an, dzikir atau yang lainnya dari berbagai macam bentuk amal baik, baik itu ibadah wajib maupun sunnah, dan barang siapa suka ditinggikan derajatnya maka hendaknya ia menghadiahkan semua kebaikannya kepada orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal, lebih lebih kepada baginda Nabi SAW, dan pahala orang tersebut tidak akan berkuran bahkan pahalanya akan bertambah agung dan tinggi derajatnya sebagaimana keterangan yang terdapat dalam as-sunnah (hadits), dan itu adalah pendapat para ulama.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya Tuhfatul Muhtaj berkata, kesimpulannya sebagai berukut, ” “Kebiasaan dalam doa setelah membaca al-Quran dengan menjadikan pahalanya atau yang sepadan dengan bacaan tersebut yang dihaturkan kepada Nabi Saw, atau sebagai tambahan bagi kemuliaan beliau adalah diperbolehkan, sebagaimana disampaikan banyak para ulama mutaakhirin (generasi akhir ulama Syafiiyah), bahkan hal itu adalah baik dan dianjurkan. Berbeda dengan ulama yang tidak sependapat. Sebab Nabi Saw memberi izin kepada kita dalam do’a dengan semua bentuk do’a yang mengadung bertambahnya ke agungan tatkala Nabi SAW memrintahkan kita dengan meminta pangkat Wasilah (di surga) dan sesamanya
فتاوى الرملي الجزء 4 صحية: 11 مكتبة الشاملة
( سُئِلَ ) عَمَّنْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ وَأَهْدَى ثَوَابَهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ وَأَوْصَلَ إلَى حَضْرَتِهِ أَوْ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ أَوْ مُقَدَّمًا بَيْنَ يَدَيْهِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ كَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ مَنْدُوبٌ يُؤْجَرُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا وَمَنْ مَنَعَ ذَلِكَ مُتَمَسِّكًا بِأَنَّهُ أَمْرٌ مُخْتَرَعٌ لَمْ يَرِدْ بِهِ أَثَرٌ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُجْتَرَأَ عَلَى مَقَامِهِ الشَّرِيفِ إلَّا بِمَا وَرَدَ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ هَلْ هُوَ مُصِيبٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) نَعَمْ ذَلِكَ جَائِزٌ بَلْ مَنْدُوبٌ قِيَاسًا عَلَى الصَّلَاةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُؤَالِ الْوَسِيلَةِ وَالْمَقَامِ الْمَحْمُودِ وَنَحْوِهِ ذَلِكَ بِجَامِعِ الدُّعَاءِ بِزِيَادَةِ تَعْظِيمِهِ وَقَدْ جَوَّزَهُ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنٌ فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ فَالْمَانِعُ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُ مُصِيبٍ
“Imam Ar-Romly pernah ditanya: tentang seseorang yang membaca al-Quran dan menghadiahkan pahalanya yang sepadan untuk Nabi Saw, menghaturkan kepada beliau, atau untuk menambah kemulian beliau, atau yang lainnya sebagaimana yang sudah menjadi tradisi, apakah boleh dan dianjurkan yang pelakunya mendapat pahala ataukah tidak boleh? Orang yang berpendapat demikian berpedoman bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dibuat-buat yang tidak ada dasar riwayatnta, dan tidak dianjurkan karena tidak boleh memberanikan diri terhadap kedudukan Nabi yang mulia, kecuali dengan cara yang telah disyariatkan seperti membaca salawat dan memintakan derajat Wasilah. Apakah ini benar? Ia (Imam Ramli) menjawab: “Ya, hal itu adalah boleh, bahkan dianjurkan, disamakan dengan membaca salawat kepada Nabi Saw, memintakan derajat Wasilah, tempat yang terpuji dan lainnya, dengan persamaan sebagai doa untuk menambah keagungannya. Hal ini telah diperbolehkan oleh banyak ulama dari kalangan mutaakhirin dan telah diamalkan oleh banyak manusia. Apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu adalah baik disisi Allah. Maka orang yang melarangnya adalah tidak benar”
رد المحتار الجزء 6 صحيفة: 406 مكتبة الشاملة
مَطْلَبٌ فِي إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ تَتِمَّةٌ ] ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ فِي الْفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةِ أَنَّ الْحَافِظَ ابْنَ تَيْمِيَّةَ زَعَمَ مَنْعَ إهْدَاءِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّ جَنَابَهُ الرَّفِيعَ لَا يُتَجَرَّأُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَا أَذِنَ فِيهِ ، وَهُوَ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ ، وَسُؤَالُ الْوَسِيلَةِ لَهُ قَالَ : وَبَالَغَ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ ، بِأَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ لَا يَحْتَاجُ لِإِذْنٍ خَاصٍّ ؛ أَلَا تَرَى أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَعْتَمِرُ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمُرًا بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ . وَحَجَّ ابْنُ الْمُوَفَّقِ وَهُوَ فِي طَبَقَةِ الْجُنَيْدِ عَنْهُ سَبْعِينَ حَجَّةً ، وَخَتَمَ ابْنُ السِّرَاجِ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافٍ خَتْمَةٍ ؛ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ .ا هـ
“Bab tentang menghadiahkan pahala al-Quran untuk Nabi Saw. Ibnu Hajar al-Haitami menyebut dalam al-Fatawa al-Fiqhiyah bahwa al-Hafidz Ibnu Taimiyah menyangka larangan menghadiahkan bacaan al-Quran untuk Nabi Saw, dengan alasan kedudukan Nabi yang mulia tidak boleh dilangkahi kecuali dengan yang disyariatkan, yakni salawat dan permintaan derajat Wasilah bagi Nabi, Ibnu Hajar berkata: “as-Subki dan lainnya membantah Ibnu Taimiyah, bahwa dalam masalah kirim pahala ini tidak perlu izin khusus. Tidakkah anda lihat Ibnu Umar melakukan umrah beberapa kali untuk Nabi Saw setelah beliau tanpa wasiat, Ibnu al-Muwaffiq melakukan haji atas nama Nabi sebanyak 70 kali, Ibnu as-Siraj mengkhatamkan untuk Nabi lebih dari 10000 kali khataman dan menyembelih qurban untuk beliau sebanyak itu”
Dan sudah menjadi kesepakatan dalam madzhab Syafiiyah bahwa jika ada pendapat yang disepakati oleh Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli maka pendapat tersebut adalah pendapat yang kuat. Hal ini juga diperkuat oleh ahli hadis al-Hafidz al-Munawi:
فيض القدير الجزء 2 صحيفة: 103 مكتبة الشاملة
جَازَ الدُّعَاءُ عِنْدَ الْخَتْمِ بِنَحْوِ : اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ زِيَادَةً فِي شَرَفِهِ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ كَامِلَ الشَّرَفِ فَكَمَالُهُ نِسْبِيٌّ وَالْاِزْدِيَادُ فِيْهِ مُتَصَوِّرٌ بِخِلَافِ صِفَاتِهِ تَعَالَى كَمَالُهَا فِي ذَاتِهَا لَا يَقْبَلُ زِيَادَةً وَلَا نُقْصَانًا
“Diperbolehkan membaca doa ketika khataman al-Quran: “Ya Allah, jadikanlah al-Quran sebagai tambahan kemuliaan Nabi”. Sebab meski Nabi memiliki kemuliaan yang sempurna, maka kesempurnaan beliau adalah relatif, dan masih memungkinkan untuk bertambah sempurna. Hal ini berbeda dengan sifat-sifat Allah yang kesempurnaan dalam Dzat-Nya tidak bisa ditambah dan tidak bisa dikurangi
Dari penjelasan ini menghadiahkan pahala Al-fatihah kepada Nabi hukumnya diperbolehkan dan sangat dianjurkan karena sebagai salah satu bentuk cinta kepada Nabi.
————
Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta Al-Misriyyah)
Lembaga Fatwa Mesir (Arab: دار الإفتاء المصرية Dar al-Ifta al-Mishriyyah) adalah salah satu institusi keagamaan di Mesir yang didirikan untuk mewakili Islam dan pusat penelitian hukum Islam yang unggul di tingkat Internasional sejak berdiri pada tahun 1895/ 1311 H.
Peran lembaga ini, menjelaskan agar umat Islam tetap dalam prinsip-prinsip Islam, dan menjelaskannya dengan cara yang benar, agar bahagia dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dengan memperhatikan hukum-hukum Islam atas isu-isu baru dalam kehidupan modern. Lembaga Fatwa bersumber dari Qur’an dan Hadits, serta Ijmak ulama terdahulu untuk membantu umat Islam menjalani prinsip-prinsip Islam. Pemerintah Mesir telah mendukung Lembaga Fatwa ini dari berbagai hal sejak berdiri sampai sekarang.
Mufti Besar
(1895 – 1899) Syaikh Hassunah an-Nawawi
(1899 – 1905) Imam Syaikh Muhammad Abduh
(1905 – 1914) Syaikh Bakri as-Sadafi
(1914 – 1920) Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti`i
(Juli 1920 – November 1920) Syaikh Muhammad Isma`il al-Bardisi
(1921 – 1928) Syaikh `Abdurrahman Qurra`ah
(1928 – 1945) Syaikh `Abdul Majid Salim
(1946 – 1950) Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf
(1950 – 1952) Syaikh `Allam Nashar
(1952 – 1954) periode kedua: Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf
(1955 – 1960) Syaikh Hasan Ma’mun
(1960 – 1970) Syaikh Ahmad Muhammad `Abdul `Al Haridi
(1970 – 1978) Syaikh Muhammad Khatir Muhammad asy-Syaikh
(1978 – 1982) Syaikh Jad al-Haqq `Ali Jad al-Haqq
(1982 – 1985) Syaikh `Abdul Lathif `Abdul Ghani Hamzah
(1986 – 1996) Syaikh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawy
(1996 – 2002) Syaikh Dr. Nashr Farid Washil
(2002 – 2003) Syaikh Dr. Muhammad Ahmad ath-Thayyib
(28/9/2003 – Februari 2013) Syaikh Prof. Dr. Ali Jum’ah
(Februari 2013 – Sekarang) Syaikh Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam
Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat !
Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinya Kabupaten Gresik