Dulu, ketika periode awal dakwah Islam dilancarkan, memeluk dan merealisasikan nilai-nilai beserta ajarannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak rintangan, halangan yang kerap kali harus dihadapi, termasuk yang dialami oleh Sa’ad bin Malik az-Zuhri atau yang biasa dikenal sebagai Sa’ad bin Waqqash.
Sebagai orang yang kenal baik dengan Rasul, terutama karena hubungan persaudaraan dan silsilahnya yang masih tersambung secara tidak langsung dari sang ibunda, Aminah binti Wahhab, ujian keislaman juga mendera Saad. Bahkan hal tersebut datang dari anggota keluarganya sendiri.
Itu terjadi tak lama setelah Sa’ad berjumpa dengan baginda Rasul di sebuah perbukitan dekat Mekah. Pertemuannya dengan Nabi Muhammad SAW membuat Sa’ad sangat tercerahkan. Ia merasa menemukan secercah cahaya dari apa yang disampaikan oleh Rasul. Tanpa ragu-ragu, di usianya yang masih muda 17 tahun, ia pun menerima risalah Rasul dan kemudian memeluk islam dengan hati yang lapang. Bahkan ia menjadi salah satu golongan assabiqunal awwalun, atau golongan orang-orang yang pertama masuk Islam pada generasi awal.
Ketenangan yang ia temukan melalui agama barunya membuat Sa’ad menjadi pribadi yang semakin baik budi pekertinya. Begitu pula saat dihadapkan pada reaksi ibunya yang emosional karena sulit menerima keislaman Sa’ad, “wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu.”
Hardikan yang dilontarkan sang ibu tentu membuat Sa’ad tercengang. Sebagai anak yang soleh, ia tak lantas menyerang balik ibunya dengan kata-kata yang tak pantas. Justru dengan sopan namun tetap tegas, ia menyampaikan bahwa keputusannya untuk menerima ajaran Rasul sudah bulat, tak bisa lagi diganggu gugat. Apalagi sepanjang ia mempelajari agama Islam, ia bagaikan menemukan oase di padang pasir.
Ajaran Islam yang mulia mendorongnya untuk melakukan banyak perubahan di lingkungan masyarakat. Terlebih, sudah sejak lama ia membenci praktik ibadah yang dianut masyarakat jahiliyah pada masa itu. Penyembahan berhala baginya adalah hal yang tidak masuk akal. Sehingga, ketika ia diperkenalkan oleh Rasul hakikat Ketuhanan dalam Islam, ia pun sontak mengamininya dengan keyakinan penuh.
Namun, hal itu tetap tak menyurutkannya untuk tetap menjadi anak yang menghormati orangtuanya. Perbedaan prinsip yang mereka yakini tak lantas membuat Sa’ad menjadi pribadi arogan. Ia tetap menghargai kedua orangtuanya, terutama sang ibu yang telah melahirkan dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Termasuk saat mereka bersitegang karena keislaman Sa’ad akhirnya diketahui oleh ibunda tercinta yang lalu membuat Sa’ad menegaskan diri bahwa ia tak akan berpaling dari ajaran Islam yang sudah ia imani.
Mengetahui Sa’ad yang tetap berkeras hati, ibunya langsung melancarkan siasat baru. Ia mencoba mengancam Sa’ad dengan melakukan mogok makan. Strategi ini ia yakini sebagai teknik yang paling jitu karena ia tahu bahwa Sa’ad sangat menyayanginya. Tentu, ia berharap bahwa Sa’ad akan luluh dan menuruti kemauannya untuk keluar dari agama Islam.
Sayang seribu sayang, Sa’ad tak bergeming. Meski ibunya bertahan untuk tidak mau makan dan minum. Sa’ad yang luhur budinya, selalu memasak makanan bagi sang ibunda. Ia tak mau perbedaan keyakinan yang mereka miliki melunturkan bakti pada orangtuanya. Sembari mencium kening orang yang melahirkannya, Sa’ad berkata dengan lemah lembut, “Wahai Ibunda, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya.”
Keyakinan Sa’ad akan kebenaran Islam akhirnya malah membuat sang ibunda luluh, ia pun menyerah mogok makan dan minum. Dari sana, Sa’ad membuktikan bahwa akhlak baik kepada orangtua tak perlu digadaikan meski berbeda prinsip dan keyakinan. Justru perilaku mulia Sa’ad mencerminkan teladan bahwa kita wajib mempergauli orangtua dengan baik, meski kondisi mereka tidak beriman kepada Allah. Dari pribadi Sa’ad, tentulah kita belajar banyak bahwa berperilaku baik kepada orangtua adalah suatu keniscayaan, apapun kondisinya.
Cerminan perilaku Sa’ad pun tercatat dalam surat Luqman ayat ke-15 yang berbunyi: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.”
Dari kisah Sa’ad tadi, kita bisa belajar bahwa anugrah keimanan yang kita miliki dari Allah SWT seharusnya tak membuat kita jumawa, justru tantangan ke depannya adalah bagaimana akidah Islam kita bisa menuntun serta mendorong kita untuk merealisasikan nilai-nilai dan ajaran yang kita yakini untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.