Kisah Hamzah Fansuri yang Mengasingkan Diri karena Ajarannya Mengandung Kontroversi

Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka di Aceh. Beliau diperkirakan hidup antara awal abad ke-16 sampai abad ke-17. Syaikh Naquib memperkirakan tokoh sufi ini hidup sebelum masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1588 — 1604) dan wafat sebelum tahun 1607, awal kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Argumennya didasarkan pada salah satu sajak karangan beliau yang berjudul “Ikatan-ikatan Ilmu an-Nisa”. Di dalam karya ini, sang penyair diperintahkan oleh Sultan Alauddin untuk mengarang sebuah sajak atau mendedikasikan karya untuk penguasa tersebut. 

Meskipun kurangnya informasi yang ditemukan tentang beliau, hal tersebut tidak menghalangi para sejarawan membahas sosok dan karya-karya beliau baik tentang syair maupun tasawuf. Pengalaman kesufian yang diperoleh dari pengembaraan ke berbagai negeri dan daerah dari Nusantara, memungkinkan Hamzah Fansuri menuangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam banyak karangan, baik dalam bentuk prosa maupun syair.

Hamzah Fansuri merupakan tokoh sufi yang pertama kali mengenalkan Islam di Aceh. Ajarannya disambut dengan baik oleh masyarakat karena beliau mampu melogikakan ajarannya secara baik dengan sentuhan syariat yang tepat. Kehadiran Hamzah Fansuri dengan ajarannya yang mendialogkan antara tasawuf falsafi dengan budaya setempat telah mampu mencuri perhatian masyarakat.

Tasawuf Fansuri adalah ajaran wujudiyah (wahdatul wujud) yang meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Menurutnya, alam tidak berwujud hakiki. Akhirnya, pandangan wujudiyah Fansuri menimbulkan kontroversi. Banyak masyarakat berpikir kritis terhadap ajaran beliau. Kemudian, banyak orang yang meninggalkan ajaran Fansuri.

Baca juga:  Munajat Ulama Nusantara (1)

Sementara itu, para penguasa justru mengalihkan perhatiannya pada urusan duniawi. Sejak saat itu, Fansuri mengasingkan diri dari publik dan mengakibatkan penganut ajarannya tidak berkembang luas, hanya pemikirannya saja yang berkembang. Kondisi ini dimanfaatkan oleh ar-Raniri yang saat itu diangkat oleh Sultan Iskandar Tsani (II) sebagai mufti kerajaan. Menurutnya, Hamzah Fansuri membawa ajaran sesat karena menganggap manusia, alam, dan Tuhan itu sama. Oleh karena itu, seluruh ajarannya harus dihapus, serta seluruh pengikutnya harus bertobat.

Hamzah Fansuri adalah penulis yang produktif tentang ilmu keagamaan dan juga karya prosa yang sarat(berat) dengan gagasan mistis. Beliau merupakan salah satu mata rantai dari jaringan ulama Nusantara yang ketokohannya diakui oleh para ilmuwan. Popularitas Hamzah disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya di bidang tasawuf. Berkat usaha beliau, tasawuf menjadi terkenal di Nusantara. Bahkan, bahasa Melayu yang digunakan dalam mengarang puisi dan syairnya menjadi bahasa perdagangan, pemerintah, dan bahasa ilmu pengetahuan hingga saat ini. Demikian juga, puisi-puisi spiritual modern yang lahir di dunia Melayu dan Nusantara banyak terilhami oleh karya-karya beliau.

Selain itu, Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang berani menyampaikan pemikirannya secara terus terang terutama melalui tulisan-tulisannya. Beliau banyak meninggalkan karya, baik yang berbentuk prosa maupun syair-syair sufi. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika orang menilainya sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan dalam berbagai bidang. Beliau merupakan peletak dasar kesusastraan Melayu klasik tertulis. Melalui karyanya, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar dalam berbagai kegiatan. Berkat usahanya di bidang sastra, bahasa Melayu menjadi bahasa nomor empat di dunia Islam pada zamannya setelah bahasa Arab, Turki, dan Persia.

Baca juga:  Mencintai, Menjadi Ada di Hadapan-Nya

https://alif.id/read/riso/kisah-hamzah-fansuri-yang-mengasingkan-diri-karena-ajarannya-mengandung-kontroversi-b243419p/