Laduni.ID, Jakarta – Kiai As’ad pernah berkata kepada santrinya, “Santriku yang keluar dari NU jangan harap kelak berkumpul denganku di akhirat.” Karena kelak siapa yang masih tetap di jalan NU maka Kiai As’ad akan mengawalnya sampai ke syurga.
Nyai Makkiyah As’ad berpesan agar para santri agar tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang bukan NU, tidak terpengaruh pada ideologi-ideologi transnasional. Beliau juga dawuh bahwa untu tidak melupakan ke-NU-an Kiai As’ad, yaitu ikhlas dan jujur.
Belajar dari Kiai As’ad ketika masih nyantri, para santri diharapkan untuk menjadi pribadi yang jujur. Ketika Kiai As’ad masih nyantri di Pondok Pesantren KH. Cholil Bangkalan Madura, Kiai As’ad ngabdi ke Syaikhona. Beliau tidak hanya belajar, namun juga bersedia merawat kuda milik Syaikhona.
Sebelum berangkat nyantri, Kiai As’ad pamit ke Kiai Syamsul untuk nyantri ke Bangkalan, Madura. Saat itu Kiai As’ad juga ingin ikut kakaknya, Kiai Zaini Mun’im pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Perlu diketahui, Kiai Zaini dengan Kiai As’ad masih memiliki hubungan kekerabatan. Kiai Mun’im merupakan sepupu dari Nyai Nur Sari. Nyai Nur Sari merupakan istri dari Kiai Ruham
Setelah itu, berangkatlah Kiai Zaini dengn Kiai As’ad, ke Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan. Mereka berdua disambut oleh Syaikhona dan dijelaskan bahwa Kiai Zaini akan bertempat di dekat mushola karena beliau berniat untuk mengaji. Sedangkan Kiai As’ad bertempat dekat dengan kediaman Syaikhona, jadi ketika Syaikhona memerintah Kiai As’ad akan cepat membantu Syaikhona. Ternyata, Syaikhona sudah mengetahui niat dari Kiai Zaini dan Kiai As’ad.
Bekal yang dibawa Kiai Zaini dan Kiai As’ad pun berbeda, Kiai Zaini membawa sebuah koper yang berisi banyak kitab. Sedangkan Kiai As’ad hanya membawa tiga buah besek. Besek pertama berisi alat pengupas kelapa, besek kedua berisi biji dari buah asam, besek yang ketiga berisi nasi aking (nasi yang sudah bau, dicuci, dijemur).
Syaikhona pada satu waktu mengumpulkan para santrinya, dan berkata, “Jumat depan aku akan kedatangan seorang tamu, siapa yang mau mencarikan aku kayu bakar.” Karena seperti ada keterhubungan batin antara Syaikhona dengan Kiai As’ad, beliau menyanggupi untuk mencarikan kayu bakar. Beliau lalu membuka besek yang pertama, di mana terdapat alatr pemotong kelapa yang bisa digunakan untuk memotong kayu.
Pada saat itu Kiai Zaini meminta kepada Kiai As’ad untuk mengajaknya, lalu pergilah mereka berdua. Setelah mencari kayu bakar, KIai As’ad menemui Syaikhona, dan seketika Syaikhona memberikan perintah kepada Kiai As’ad, “Hari Jumat akan datang seorang tamu, siapapun dan dalam rupa apapun dia, bawa kepadaku.”
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, tidak datang satupun tamu kecuali seorang yang buruk rupanya, dengan pakaian yang serba kotor dan compang camping, memiliki aroma tubuh yang kurang sedap, dan memiliki luka yang bernanah di wajahnya. Keran pesannya Syaikhona Kiai As’ad lalu mengantarkan tamu tersebut kepada Syaikhona.
Syaikhona merangkul dna memeluk tamu tersebut seperti biasa, dan hal itu membuat Kiai As’ad heran, bahkan Kiai As’ad sesekali menutup hidungnya karena aroma yang kurang sedap.
Setelah perbincangan, Syaikhona meminta Kiai As’ad untuk mengantar tamu tersebut ke depan jalan raya. Setelah mengantarnya, dan kembali ke pondok Kiai As’ad ditanya oleh Syaikhona, “Apakah kau mencium tangannya?” Kiai As’ad menjawab, “Bagaimana aku mencium tangannya, menahan baunya saja aku tak tahan.” Lalu Syaikhona mengatakan bahwa tamu tersebut adalah Nabi Khidir AS, kagetlah Kiai As’ad dan menyesal dengan sikapnya.
Lalu Kiai As’ad mengatakan pada Syaikhona bahwa ia ingin sekali bertemu kembali dengan Nabi Khidir AS. Syaikhona mengatakan, “Nabi Khidir akan datang Jumat depan, jadi siapapun dengan bentuk dan rupa apapun, antarkan padaku.”
Lalu tibalah hari Jumat itu, dan tidak ada tamu sama sekali kecuali seorang Belanda yang mencari Syaikhona. Pada saat itu penjajah Belanda sedang gencar-gencarnya membunuh para ulama. Lalu berkatalah penjajah itu, “Aku dengar (Mbah) Cholil sakit?” mendengar kata-kata itu Kiai As’ad naik pitam, karena tidak terima jika gurunya direndahkan.
Karena ia terngat dengan pesan Syaikhona, orang dengan wajah Belanda ini diantarkan pada Syaikhona. Setelah berbincang-bincang, seperti sebelumnya Syaikhona meminta Kiai As’ad untuk mengantar tamunya sampai jalan raya. Setelah kembali Syaikhona menanyakan apakah ia mencium tangan tamu tadi. Secara tegas Kiai As’ad mengatakan tidak seraya berkata, “Jika saja aku tidak teringat pesanmu Ya Syaikhona, tidak akan aku antarkan penjajah itu padamu.” Syaikhona mengatakan bahwa tamu yang datang tadi adalah Nabi Khidir AS, kaget bukan pelang Kiai As’ad mendengar ucapan Syaikhona.
Kiai As’ad memohon kepada Syaikhona kalua dirinya ingin sekali bertemu dengan Nabi Khidir AS, lalu Syaikhona mengatakan, “Hari Jumat ini akan datang seorang tamu, kau harus menjemputnya di stasiun.” Ketika hari JUmat, Kiai As’ad langsung pergi ke stasiun yang berjarak kurang lebih sejauh tiga kilometer. Setelah sampai di stasiun Kiai As’ad melihat seseorang yang sangat tampan turun dari kerena, dan tamu tersebut berkata, “Kamu As’ad yang disuruh gurumu untuk menjemputku?”
Setelah dirasa beliau adalah orang yang tepat langsung saja mereka berdua pulang. Selama diperjalan itulah Kiai As’ad dapat menggandeng tangan Nabi Khidir dan mendapat ilmu langsung dari Guruny Syaikhona Cholil Bangkalan, Nabi Khidir AS. Selama perjalanan tiga kilo itulah Kiai As’ad belajar dengan Nabi Khidir AS.
Setelah perjumpaan antara Nabi Khidir AS dengan Syaikhona Cholil, Kiai As’ad menceritakan apa yang beliau terima dari Nabi Khidir. Setelah itu, tongkat yang dibawa oleh Nabi Khidir diberikan kepada Syaikhona Cholil Bangkalan, yang dikemudian hari Kiai As’ad diperintah oleh Syaikhona Cholil untuk memberikan tongkat tersebut kepada Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari, sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama.
Setelah berdirinya NU, Kiai As’ad sangat begitu cinta dengan NU. Sebab Kiai As’ad juga mengetahui bahwa NU adalah organisasi yang tersambung sanadnya, dan beliau juga adalah seorang mediator yang memberikan tongkat dan tasbih Syaikhona kepada KH Hasyim Asy’ari. Beliau juga tahu betul bagaimana sejarah tongkat tersebut hingga di tangan Syaikhona.
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/72596/kisah-ke-nu-an-khr-asad-syamsul-arifin.html