Read Time:8 Minute, 39 Second
RUMAHBACA.ID – Pagi yang cerah mengiringi ayun langkahku menyeberangi jembatan kayu kecil bersama teman-teman Kuliah Kerja Nyata. Suara gemericik air di sela bebatuan di bawah jembatan menambah semangat langkah kami hingga sampai di halaman sekolah desa ini, suatu desa asri di kaki pegunungan Bukit Barisan. Program kerja kami hari ini adalah mengajar di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang dikelilingi oleh kebun-kebun kopi.
Setelah tiga hari berturut-turut kami menyelesaikan program kerja kesehatan di dusun atas, di mana kami melakukan penyuluhan dan pengobatan terhadap penduduk dusun yang merupakan dusun endemik malaria.
Pembaca tahu kan arti dusun? Dusun di sini adalah bagian kecil dari desa. Dusun atas adalah istilah di sini untuk wilayah yang lebih tinggi lagi dari desa, sekitar 3 kilometer mengarah ke punggung bukit.
Aku mengajar di kelas 5 hari ini sama seperti minggu lalu. Maklumlah di desa ini tidak ada sekolah lanjutan, sehingga kami menjalankan program pendidikan di sekolah dasar. Seperti biasa, aku memulai kegiatan pembelajaran dengan penuh kehangatan, tetapi suasana kelas tidak seperti biasanya. Tampak salah satu anak perempuan yang duduk di pojok kelas membuatku bingung, tidak seperti anak-anak lain yang tampak ceria. Anak tersebut tidak biasanya duduk di belakang, dia seperti melamun, di pojokan pula. Tumben sekali, pikirku.
Pada sesi tanya jawab aku sengaja memanggil namanya, namun dia tidak menjawab dan kepalanya hanya menunduk saja. Sekali lagi kupanggil namanya, dia kemudian tertawa. Tawanya pun berbeda dari suara tawa anak biasanya. Dia tertawa seperti lehernya sedang tercekik. Perasaanku mulai tidak enak. Benar saja, dia mulai tertawa sendiri. Dengan mata tertutup, dia terus tertawa tanpa bisa mengontrol diri. Dan kali ini dia tertawa keras dengan mata terbeliak.
Suasana di kelas menjadi kacau. Anak-anak mulai panik dan berteriak-teriak. Aku meminta semua anak keluar dari ruang kelas, kemudian meminta ketua kelas memanggil staf sekolah di kantor. Anak perempuan itu masih duduk di bangkunya. Setelah tertawa dia menangis kemudian berbicara dengan suara wanita tua yang tercekik. “Aku juga mau ikut belajar. Aku ikuuut,” katanya. Bulu kudukku berdiri. Jujur saja aku takut dan panik. Anak-anak di luar makin menjadi riuh dan heboh.
Tiga orang bapak guru masuk ke kelas dan membantu menenangkan anak tersebut. Suasana di depan pintu kelas sudah menjadi ramai berkerumun. Salah satu bapak yang masuk kutahu memiliki keahlian dapat mengobati orang sakit di desa. Seperti tabib begitu, tabib yang juga seorang guru. Sesaat bapak tersebut keluar ruang kelas menyeruak kerumunan di depan pintu. Namun tak lama beliau kembali lagi dengan membawa beberapa ranting muda, dari semacam tumbuhan dengan daun-daunnya yang diikat, dan dijadikan seperti sapu. Mataku sendiri belum terlalu kasat untuk mengenali tumbuhan itu.
Sambil membaca-baca doa, beliau menyapukan daun tumbuhan tadi ke bagian kepala dan muka anak yang duduk di bangku, lalu menggebuk-gebukkan daun tersebut ke bagian punggung dan kaki anak dengan cukup keras. Mengeluarkan bunyi klepak… klepuk… klepak… klepuk… Tampaknya beliau sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
Anak tersebut berontak dan tertawa-tawa tetapi tangannya masih dapat dipegangi oleh bapak-bapak guru. Makin lama suasana ruang kelas makin horor dan membuat merinding. Pak guru tabib masih melanjutkan aksinya, membaca doa-doa, mengusapkan dan menggebuk-gebukkan daun tadi ke tubuh sang anak hingga beberapa saat anak itu lunglai dan terduduk lemas di bangkunya. Dia menangis dengan suara tangisan asli suaranya sendiri. Barulah aku berani mendekat, memeluknya dan menenangkannya.
Bapak-bapak guru belum beranjak dari ruang kelas, mereka tampak membicarakan sesuatu lalu memintaku untuk membawa sang anak beristirahat di kantor. Sambil menenangkan anak itu mataku masih melirik-lirik ranting beserta daun-daun yang dipegang oleh pak guru tabib. Setelah berada di kantor barulah aku dapat mengenali tumbuhan itu, yang ternyata adalah daun tumbuhan kelor.
Sungguh luar biasa pengalamanku hari ini, sekaligus aku terpelongo sendiri dengan sapu daun kelor pak guru tabib. Muncul tanya dalam benakku, kenapa harus daun kelor ya? Itulah sepenggal pengalamanku pada masa KKN, tapi bukan di desa Penari ya, pembaca.
***
Pagi ini di kota kembang, aku bersama kakak berolahraga berlari kecil mengelilingi taman perumahan. Sudah dua hari ini aku mengisi weekend-ku di rumah kakak. Tampak beberapa anak dan orang dewasa juga melakukan kegiatan yang sama dengan kami.
Di bagian pojokan yang tidak termasuk bagian taman sejenak aku berhenti di depan sebuah pohon. Sebatang pohon kelor berbatang pokok rendah dengan daun-daunnya yang gemulai serta rimbun. Tergerak aku untuk memetik daun-daun mudanya, tiba-tiba terpikir untuk mengolahnya menjadi sayur teman makan nasi siang ini. Dengan bergegas kudekati pohon itu, kutarik rantingnya untuk memetik daun-daun mudanya.
Kulihat seorang ibu sedang mengajak kakakku ngobrol di tepi jalan, lalu si ibu meneriaki aku yang tengah asyik memetik daun-daun kelor. “Teh.. eta daun kelor bade dikumahakeun? Kanggo ngusir jurig?” tanyanya sambil tertawa.
Aku melongo bingung karena kurang paham berbahasa sunda, kakakkulah yang menjadi penerjemah dadakan hingga aku tertawa lalu menjawab pertanyaan si ibu. Eh.. tapi kenapa juga daun kelor dikaitkan dengan ritual mengusir setan? Padahal ini daun mau diolah menjadi masakan sayur bergizi.
Pembaca yang budiman, pohon kelor (Moringa oleifera.L.) yang merupakan tumbuhan asli dari wilayah kaki pegunungan Himalaya yang bernama Agra dan Oudh ini memang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pohon ini memiliki ketinggian 7-11 meter, dengan daun berbentuk bulat telur berukuran kecil-kecil tersusun majemuk dalam satu tangkai. Bila pohonnya sudah mulai tinggi kira – kira 1 meter, dapat dipangkas secara berkala agar produksi daunnya melimpah dan selalu tumbuh rindang seperti tanaman teh.
Pohon kelor diyakini memiliki sifat magis yang begitu kuat. Mitos bahwa daun kelor dapat digunakan untuk mengalahkan makhluk halus telah merasuk begitu dalam ke benak masyarakat di nusantara ini. Sampai-sampai ada salah satu temanku yang sudah takut duluan bila melihat pohon kelor, terutama daunnya. Terlepas dari sisi magis dan mitosnya yang berkembang di masyarakat, para peneliti dunia sudah mengkaji secara ilmiah untuk menguatkan tentang khasiat dan manfaat pohon kelor ini.
Pembaca yang budiman
Pohon ini dikenal dalam bahasa Inggris sebagai pohon stick drum karena bentuk polong bijinya menyerupai stik penabuh drum. Orang Inggris juga menyebut pohon kelor ini sebagai “pohon kehidupan” dan “pohon yang tak pernah mati”. Ini menyiratkan bahwa manfaatnya sudah tak asing lagi bagi orang-orang di Inggris.
Flugie L.J. dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2001, The Miracle Tree: The Multiple Attributes of Moringa, menyebutkan bahwa dalam berat yang sama daun segar kelor memiliki 7 kali lebih tinggi kandungan vitamin C daripada buah jeruk. Selanjutnya Flugie menjelaskan bahwa kandungan kalsium daun kelor 4 kali lebih tinggi dibanding kalsium susu, dan kandungan vitamin A 4 kali lebih tinggi dibanding kandungan vitamin A dalam wortel.
Selain itu, Flugie juga menyatakan bahwa mineral kalium dalam daun kelor pun 3 kali lebih tinggi dibanding pisang, bahkan kandungan zat besi pada daun kelor dinyatakan 25 kali lebih tinggi daripada kandungan zat besi dalam bayam. Daun kelor juga diketahui memiliki kandungan senyawa antioksidan, senyawa anti-inflamasi, dan mengandung minimal delapan asam amino essensial.
Tak heran bila organisasi kesehatan dunia (WHO) menobatkan pohon kelor sebagai miracle tree setelah menemukan manfaat penting daun kelor ini. Dengan dasar lebih dari 1300 penelitian dan laporan yang menjelaskan bahwa tumbuhan ini berjasa sebagai herbal penting yang sangat berkhasiat dalam menghadapi permasalahan wabah penyakit dan masalah kekurangan gizi di negara-negara miskin di dunia. WHO juga menganjurkan agar bayi dan balita di penjuru dunia diberi asupan daun kelor ini pada masa pertumbuhan mereka.
National Institute of Health (NIH) pada bulan Maret 2008 pun mengatakan bahwa pohon kelor telah digunakan sebagai obat oleh berbagai kelompok etnis asli dalam pengobatan lebih dari 300 jenis penyakit, menggunakan tradisi pengobatan Ayurveda India kuno. Di masyarakat Indonesia sendiri selama ini belum terlalu banyak dirasakan manfaat daun kelor, selain sebagai antioksidan dan anti-inflamasi yaitu sebagai penyembuh luka dan mengurangi pembengkakan serta rasa sakit.
Umumnya pemanfaatan daun kelor digunakan dengan cara menghaluskan daunnya lalu mengoleskannya ke permukaan kulit dan pada bagian yang sakit. Remasan daun kelor juga bermanfaat sebagai param penutup bekas gigitan anjing sementara sebelum ada pertolongan medis. Ada juga informasi yang menyebutkan bahwa daun kelor dapat digunakan dalam penyembuhan asma, tetapi belum cukup bukti ilmiah untuk menjelaskan itu. Belakangan ini masyarakat Indonesia sudah mulai mengenali manfaat daun kelor untuk dikonsumsi sebagai sayur yang diolah sebagai teman makan nasi.
Dari suatu hasil penelitian di Eropa telah dibuktikan bahwa daun kelor sama sekali tidak mengandung zat berbahaya bagi tubuh. Disebutkan juga bahwa daun kelor mengandung pterigospermin yang bersifat merangsang kulit, sehingga bermanfaat sebagai param penghangat kulit, mengurangi rasa nyeri dan pegal.
Sementara itu di satu negara di iklim Utara mulai melirik tumbuhan kelor ini bahkan meminta kiriman pasokan bahan baku daun kelor kering dari Asia, setelah mereka melakukan penelitian lebih mendalam terhadap kandungan daun kelor sebagai bahan baku industri kosmetik. Diketahui daun kelor mengandung senyawa antioksidan yang mampu melindungi keutuhan elastin pada kulit yang mampu menjaga kekencangan kulit. Nah, untuk yang satu ini saya juga mau dong bikin bubuk daun kelor, untuk masker muka nih.
Ternyata masih ada lagi yang spektakuler dari tumbuhan kelor ini para pembaca yang budiman, yaitu biji kelor. Salah satu penelitian nasional sudah memberikan penguatan bahwa biji kelor dapat dimanfaatkan sebagai biokoagulan dalam proses penjernihan air. Untuk informasi yang satu ini sudah masuk dalam catatan agendaku, suatu saat nanti aku akan mengajak muridku di sekolah untuk bereksperimen dengan biji kelor terkait fungsinya sebagai biokoagulan.
Masya Allah, begitu banyaknya manfaat tumbuhan kelor ini. Jika ada kelemahan pohon kelor, itu adalah kandungan nitrogen yang tinggi pada daunnya. Daun segarnya dapat mudah rusak hanya dalam beberapa menit saja setelah dipetik. Namun hal tersebut justru menjadikannya sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk.
***
Dengan langkah kaki ringan, aku dan kakak pulang berjalan santai menuju rumah. Daun-daun kelor dengan ranting kecilnya yang kusatukan berada dalam genggaman tangan kananku, seperti sapu daun kelor. Berpapasan dengan seorang bapak yang menegur kami dengan ramahnya. Dia tersenyum melihat daun kelor yang kupegang. Beliau bertanya sama persis dengan yang ditanyakan si ibu tadi “Eta daun kelor bade dikumahakeun, teh? Kanggo ngusir jurig?”
Tapi kali ini aku tidak melongo dan bingung lagi. “Untuk dibikin gulai pak”, aku tersenyum menjawabnya.
Kupandangi sapu daun kelor yang kugenggam, selintas teringat kisah mistis KKN-ku di kaki pegunungan Bukit Barisan. Sambil mengayun-ayunkan sapu daun kelorku bagaikan aksinya pak guru tabib, terpikir juga olehku untuk menggebuk-gebukkan sapu daun kelor ini ke para muridku di sekolah. Klepak…klepuk…klepak…klepuk.. Tapi digebukkannya tertuju ke muridku yang suka malas belajar dan yang malas masuk sekolah, supaya jurignya ngibrit.. Ha..ha..haa…[]