Pembahasan mengenai peradaban dalam Islam sejatinya mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1840-an, tepatnya setelah terjadinya Revolusi Prancis tahun 1830 Masehi. Hal tersebut bisa ditandai dengan munculnya para mufakkir (pemikir) Islam seperti Rifa’ah Rafi’ ath-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh dengan segala ide dan pemikiran mereka tentang keharusan umat Islam untuk segera bangkit dari kemunduran dan keterpurukan.
Secara tidak langsung, para pemikir tersebut ingin umat Islam kembali ke martabat yang semestinya, yaitu kemajuan peradaban yang pernah dialami umat ini. Oleh karena itu, mereka berusaha menggugah semangat umat Islam menuju kemajuan peradaban lewat karya-karya mereka. Kemudian, tema mengenai peradaban sempat stuck (mandek) perkembangannya pada saat terjadinya perang dunia pertama dan kedua.
Perbincangan mengenai peradaban menemukan momentumnya kembali setelah perang dunia kedua selesai. Tepatnya pada saat umat Islam sudah terbebas dari kungkungan penjajajah dan mulai berlomba untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain, terutama negara-negara Barat. Dari pola pikir tersebut (mengejar ketertinggalan dari Barat), banyak orang punya anggapan bahwa kemajuan teknologi dan sains merupakan tanda dari majunya sebuah peradaban.
Sebaliknya, lemah dalam teknologi dan sains merupakan tanda lemah dan mundurnya sebuah peradaban. Mereka menganggap bahwa teknologi dan sains adalah segala-galanya. Mereka menjadikan Barat sebagai parameter utama untuk mencapai sebuah kemajuan peradaban. Tentu saja, pola pikir di atas disebabkan juga oleh pengaruh dari para orientalis yang tidak mau ketinggalan dalam pembahasan mengenai peradaban dalam Islam ini.
Al-Bahi (w.1976), salah satu ulama al-Azhar, punya pandangan yang berbeda. Baginya, peradaban bukanlah hanya melulu soal teknologi dan sains. Peradaban adalah hasil pergulatan manusia (teknologi dan pengetahuan) untuk kemanfaatan dan kemaslahatan manusia yang lain atau bisa dikatakan atas dasar kemanusiaan. Jadi, peradaban bukan soal hasil material, namun lebih menekankan motif di baliknya. Apabila suatu hal dilakukan atas dasar kemanusiaan, maka perkara tersebut bisa dikatakan bagian dari peradaban, namun apabila dilakukan atas dasar ego, kepongahan dan kepentingan pribadi, maka jelas ia bukan bagian dari peradaban (dalam kutip yang baik dan maju).
Dengan begitu, ketika ada sebuah bangsa yang maju dalam sains dan teknologi, namun semua itu bukan didasari rasa kemanusiaan, malah justru bisa membahayakan bangsa lain, maka bangsa tersebut tidak bisa disebut bangsa yang maju peradabannya. Sebaliknya, apabila ada sebuah bangsa yang sebenarnya tidak terlalu baik dalam sains dan teknologi, namun dalam pergaulan dan keputusannya selalu berdasar pada kemanusiaan, maka bangsa tersebut bisa dikatakan bangsa yang maju peradabannya. Demikianlah penjelasan al-Bahi dalam kitab ad-Din wa al-Hadharah al-Insaniyyah, kitab yang ditulis kurang lebih 40 tahun yang lalu.
Untuk menginterpretasikan kaidah di atas, bisa kita ambil contoh Amerika (yang notabene sekarang menjadi parameter kemajuan negara-negara lain). Memang, Amerika bisa dibilang sebagai negara yang maju dalam segala sisi, baik sains, teknologi dan ekonomi. Namun apabila kita perhatikan, di Amerika sendiri sangat sering terjadi tragedi-tragedi yang sangat bertentangan dengan kemanusiaan seperti penembakan massal, rasisme dan lain sebagainya. Belum lagi Amerika seringkali menjadi pemicu konflik, baik antar negara maupun antar kelompok. Benarkah hal seperti ini bisa kita katakan sebagai peradaban yang maju dan baik?
Intinya, al-Bahi ingin menegaskan bahwa peradaban yang baik dan maju bukan dilihat dari sisi maddiyah (material), namun dilihat sisi moral dan sikap, yaitu memanusiakan manusia. Adapun kemajuan material merupakan semacam bonus yang akan muncul dengan sendirinya ketika sikap ini sudah tertanam dalam sebuah peradaban. Menurutnya, peradaban semacam ini hanya bisa ditemukan dalam satu agama, yakni agama Islam. Islam dengan segala ajarannya menuntut pemeluknya agar senantiasa baik kepada sesama makhluk (tidak hanya manusia), menjaga hak sesama dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain.
Contoh saja dalam muamalat, kita, umat Islam, dituntut agar jangan sampai melakukan hal yang mengandung gharar (potensi merugikan orang lain) dengan segala aturan yang dijelaskan dalam fikih. Hal ini jelas sangat kontras dengan cara muamalah Barat yang menjunjung ideologi kapitalis, yaitu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari orang lain dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, peradaban Islam ini bisa kita sebut sebagai peradaban kemanusiaan.
Peradaban kemanusiaan ini bisa kita temukan secara jelas pada masa awal Islam. Kita tahu bahwa Islam pada masa awal (yang berpusat di Madinah dan Makkah) sering menaklukan daerah-daerah sekitarnya. Namun penaklukan ini jangan digambarkan seperti kolonialisme yang dilakukan negara-negara Barat. Negara-negara barat akan menghabiskan dan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang ada di negara jajahan untuk dibawa ke negaranya sehingga bukannya maju, negara jajahan biasanya akan semakin terpuruk dan tertinggal.
Berbeda dengan Barat, sebanyak apapun daerah yang ditaklukkan pada saat itu, Madinah dan Makkah (yang notabene pusat Islam zaman itu) tetaplah miskin dan daerah-daerah yang ditaklukkan Islam justru mengalami kemajuan yang pesat. Sebab Islam menaklukkan bukan untuk mengeksploitasi, namun untuk mengajak daerah yang ditaklukkan untuk ikut serta membangun peradaban yang berasaskan kemanusiaan. Hal ini terlihat jelas pada kota-kota seperti Kufah dan Basrah yang malah menjadi pusat keilmuan setelah berada di bawah kekuasaan Islam.
Karena itu tak heran, Muhammad al-Fadhil bin Asyur (w.1980) dalam kitab Ruh al-Hadharah al-Islamiyyah, menegaskan bahwa hadharah islamiyyah (peradaban Islam), terutama pada masa awal Islam adalah peradaban terbaik sepanjang masa. Sebab peradaban Islam mengumpulkan dua hal: sikap dan materi. Sikap menjunjung tinggi kemanusiaan dan kemajuan pengetahuan.
Peradaban Islam terdahulu maju bukan dengan mengambil keuntungan dari bangsa lain dan merugikan bangsa lain, namun peradaban Islam maju karena nilai-nilai yang dibawanya, yaitu kemanusiaan yang akhirnya juga memicu perkembangan pesat dalam keilmuan dan pengetahuan. Bahkan peradaban Islam juga memicu agar bangsa lain juga ikut andil dalam membangun peradaban. Sebaliknya, di zaman modern ini, negara-negara maju bisa adidaya dan kuat sebab memanfaatkan kelemahan negara lain. Akhirnya, yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin terpuruk.
Dari penjelasan di atas, kiranya bisa dipahami bahwa maju tidaknya sebuah peradaban bukan diukur dari kemajuan teknologi dan sainsnya, namun diukur dari seberapa besar peradaban tersebut menjunjung tinggi kemanusiaan. Peradaban yang maju adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebab untuk apa punya teknologi maju, namun malah merusak nilai-nilai kemanusiaan. Untuk apa punya teknologi tingkat dewa, namun malah menimbulkan banyak konflik dan kekacauan.
Bukan berarti teknologi tidak penting, bukan itu maksudnya. Teknologi tetap penting, namun jangan sampai teknologi tersebut mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada dasarnya, tujuan teknologi adalah mempermudah tugas manusia, jadi jangan sampai teknologi tersebut keluar dari tujuan awalnya. Oleh karena itu, anggapan bahwa majunya peradaban ditentukan dari kemajuan teknologi dan sainsnya jelas kurang tepat, kalau tidak bisa dikatakan salah kaprah, apalagi bagi kita umat Islam yang pernah punya kemajuan peradaban di masa lalu.
Lalu, dimanakah peradaban kemanusiaan yang dibawa oleh Islam itu sekarang? Menurut Ali Jum’ah dalam kitab al-Kamin fi al-Hadharah al-Islamiyyah, peradaban tersebut sedang tertidur pulas di tangan generasi Islam sekarang. Sebab umat Islam sekarang sudah banyak yang meninggalkan ajaran-ajaran agamanya dan justru terkagum-kagum dengan ajaran yang lain.
Bagaimana cara membangunkannya? Jawabannya adalah satu: tarbiah (pendidikan). Kita harus mendidik generasi Islam modern ini untuk semakin dekat dengan tuhannya, cinta Rasulnya, menjalankan ajaran agamanya, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama makhluk. Dengan begitu, peradaban kemanusiaan itu akan terbangun dari tidur panjangnya dan Allah akan mengembalikan kejayaan yang pernah diraih umat Islam.
Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nur ayat 55 yang artinya: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Selaras dengan itu, al-Buthi menambahkan bahwa tarbiah untuk membangunkan peradaban yang terlelap tersebut tidak bisa berhasil apabila hanya dijalankan oleh satu-dua orang. Untuk itu, dibutuhkan sinergi dari seluruh umat Islam agar tarbiah tersebut bisa dilakukan. Sebab yang namanya peradaban tidak bisa dibangun dari beberapa gelincir orang saja. Peradaban harus dilakukan secara kompak dan melibatkan seluruh umat Islam di manapun berada. Semoga Allah memberi kekuatan umat ini untuk bangun dari tidur panjangnya. Amiin.
Sekian.
Sumber bacaan:
Al-Bahi, Muhammad. (2017). Ad-Din wa al-Hadharah al-Islamiyyah. Al-Haiah al-Misriyyah al-Ammah
Al-Buthi, Said Ramadhan. (1981). Manhaj al-Hadharah al-Insaniyyah fi al-Qur’an. Dar al-Fikr.
Ibn Asyur, Muhammad al-Fadhil. (2006). Ruh al-Hadharah al-Islamiyyah. Nahdlah Misr
Jum’ah, Ali. (2006). Al-Kamin fi al-Hadharah al-Islamiyyah. Al-Wabil as-Soib.
https://alif.id/read/mjma/komentar-al-bahi-hingga-al-buthi-tentang-peradaban-islam-b246424p/