Membangun jamaah dalam aktivitas keagamaan, tak ubahnya dengan membentuk situs untuk mentransmisikan atau merealisasikan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Terlepas apapun orientasinya, apakah konservatif, modern, salafi maupun tasawuf, karena memang setiap kelompok punya kapasitas dan pemahaman tentang sunnah, yang diamalkan dalam konteks saat ini. Konsekuensinya, ketika kita meyakini suatu praktik agama sebagai “sunnah”, boleh jadi akan ada pihak lain (jamaah lain) yang menganggap amalan kita sebagai “bid’ah”.
Hal itu adalah keniscayaan, dan fenomena ini terjadi di seluruh dunia muslim manapun. Bahkan, terjadi pula di lingkungan pesantren yang mestinya fokus pada soal-soal pendidikan yang bervisi keislaman dan keindonesiaan. Ketika kita bicara tentang “ahlus-sunnah wal-jamaah” sebagai pijakan hidup seorang muslim, yang jadi masalah pijakan itu pernah hidup di masa lalu pada zaman kenabian. Jadi, apapun yang hidup di masa lalu, tak mungkin diakses langsung sebagaimana kita menonton kanal YouTube, tapi hanya melalui bekas-bekasnya, sanad-sanadnya, baik dari hadis-hadis Nabi, atau ditransmisikan melalui jalur nasab, keluarga maupun sahabat.
Walaupun sunnah dinilai paling otoritatif ketimbang paham dan aliran manapun, faktanya dalam sejarah, bahwa realisasi ajarannya pada setiap komunitas nampak tak pernah seragam. Perbedaan-perbedaan itu yang kemudian menjadi pijakan bagi setiap komunitas muslim untuk saling berdialog, berinteraksi, juga berkompetisi satu sama lain.
Pekerjaan membangun jamaah adalah cermin yang diteladani Rasulullah, juga manifestasi kita sebagai makhluk sosial atau “khalifah” di muka bumi ini. Pekerjaan ini terus-menerus dilakukan para pengikut Nabi, dari para sahabat, keturunan, hingga penerus teladan dan jejak-langkahnya, yang hidup di tempat berbeda-beda, sejak masa Abu Bakar, para wali dan habaib hingga saat ini.
Di Indonesia, dan di negeri manapun, para penerus itu mencoba dan terus berikhtiar merealisasikan sunnah, sambil bersinergi dengan kearifan-kearifan lokal, hingga membentuk pemahaman ajaran sunnah dalam konteks penafsiran mereka masing-masing. Kitab-kitab sunnah yang ditulis oleh para ulama di perbatasan antara Khilafah Abbasiyah dan Imperium Byzantium, lebih banyak mempersoalkan jihad, perjuangan, hingga peperangan. Karena memang diperuntukkan untuk hal-hal yang bersifat perjuangan dan penegakkan keadilan.
Sementara, kitab-kitab sunnah yang ditulis para ulama sufi di Baghdad atau Khurasan, banyak mengandung perjalanan dan sejarah hidup Nabi sebagai seorang mistikus, spiritualis, serta upaya-upaya pembersihan batin untuk mencapai maqam-maqam tertinggi.
Hal ini lebih mendekati konsep keteladanan kiai di pesantren salafi hingga modern, yang terus mengakomodasi para guru dan santri, yang berasal dari keluarga NU, Muhammadiyah, Persis, termasuk anak-anak para kiai, ulama, habaib, yang megacu pada ajaran-ajaran tarekat tertentu. Jadi, posisi kiai di pesantren, lebih berperan selaku pelayan atau manajer-manajer pendidikan, ketimbang hanya mendidik dan mengajari santri pada bidang keilmuwan, dan aliran agama tertentu.
Akulturasi budaya
Budaya setempat atau kearifan lokal adalah sesuatu yang tak boleh dipandang asing (liyan) dalam ajaran Islam. Kita tidak mudah berkesimpulan bahwa suatu kelompok yang mengamalkan ajaran Islam tertentu bukan sebagai “ahlussunnah”, atau seringkali kita mendengar orang dengan entengnya menuduh sesat, murtad maupun “bid’ah”. Bahkan, sesama muslim tidak jarang orang Indonesia menuduh pihak lain sebagai “PKI” karena soal perbedaan mazhab, atau hanya kepentingan ekonomi dan politik tertentu.
Kiranya bisa dipahami ketika generasi milenial menjuluki mereka yang sering ribut mengatasnamakan agama sebagai “rebutan berkat”, yang kerap menjadikan agama dan Tuhan sebagai dagangan politik semata.
Dalam visi pendidikan Islam, tak lepas dari niatan memberikan pengasuhan dan pengajaran tentang Islam atau visi ajaran Islam. Jadi, bukan islam-islam politik yang seenaknya diperdagangkan untuk tujuan-tujuan prestise duniawi semata. Untuk itu, tak perlu kita mempertengkarkan penafsiran tentang masa lalu, karena pada prinsipnya “Islam” (apa pun alirannya), adalah produk dari sebuah praktek atau pekerjaan mengoneksikan sunnah Rasul kepada para jamaah yang hidup di masa kini.
Bagaimanapun, semua sumber sunnah adalah kehidupan Rasulullah, dan kita semua tak memiliki akses langsung dengan masa lalu. Segala sesuatu yang bersifat “masa lalu” hanya hadir melalui periwayatan hadis dan memori-memori para sahabat yang pergi dan menetap di tempat-tempat yang berbeda. Saat mereka mengingat masa lalu, interpretasi mereka akan bercampur dengan relevansi di masa dan tempat mereka hidup. Jadi, bukan berarti sunnah itu mesti berbeda-beda, melainkan sunnah dapat berjalan sesuai dengan konteks masyarakat yang ada, yang hendak mengikutinya. Sebab, transmisi sunnah hanya akan nyambung dengan kultur masyarakat yang mau menerimanya. Juga harus bersikap dewasa menghadapi kelompok masyarakat yang kemungkinan besar akan menolaknya.
Jadi, walaupun Islam dapat dikatakan agama yang “sudah jadi” dan berpindah-pindah tempat sejak zaman dahulu, akan tetapi tetaplah Islam harus dilihat sebagai agama yang “selalu menjadi” (process of constant becoming). Islam bisa datang ke Nusantara lalu berinteraksi dengan lokalitas, hingga kemudian melahirkan varian-varian baru. Namun demikian, Islam tetap merupakan hasil dari pertalian antara koneksi kita ke masa lalu, serta partikularitas kultural sebuah tempat di mana masa lalu kerasulan bisa dipahami.
Akulturasi budaya lokal dengan Islam tak terlepas dari pertalian di masa kerasulan itu, yang menjelma dalam konteks kekinian hingga melahirkan varian Islam yang beragam. Dengan itu, setiap masyarakat dan kelompok jamaah merasa memiliki Islam, dan tidak menganggap Islam sebagai agama yang asing, tapi seakan-akan tumbuh dari lokalitas tersebut.
Abdulrazak Gurnah, peraih nobel di bidang kesusastraan dari Tanzania (2021) cukup fasih membahas bagaimana munculnya resistensi terhadap penyebaran Islam, oleh karena Islam yang diajarkan dianggap belum membumi oleh masyarakat pedalaman Zanzibar (Tanzania). Ketika kolonialisme Inggris datang, maka terpecahlah anutan masyarakat kepada Islam yang datang dari Oman, Kristen yang datang dari Inggris, termasuk yang bersikukuh pada agama lokal yang bersifat animisme dan politeisme.
Jika kita ibaratkan sebuah mobil “truk gandengan” (articulated truck), maka gerbong yang menggandeng itu harus sesuai dan klop dengan yang digandengnya. Selama ini, masih banyak tokoh-tokoh muslim menganggap bahwa ketika ajaran agama disebarkan, maka lokalitas yang berbeda harus tunduk dan patuh kepada ketentuan agama yang dianggap “sudah jadi” itu. Padahal, ketika Islam dan kultur saling mengikat, maka kedua-duanya bisa saling mengubah diri. Kultur dan budaya berubah, dan Islam juga harus menyesuaikan diri. Maka, akan terjadi suatu modulasi antar keduanya.
Secara etis, ketika kita berdakwah dan menggaungkan misi sunnah, kita tak bisa serta-merta menuntut kehidupan masyarakat agar berubah secara cepat dan total. Tetapi, agar dakwah itu sukses, pemahaman kita tentang masa lalu kenabian, cara kita bicara dalam menyikapi umat, dan merealisasikan masa lalu dalam konteks saat ini, juga harus berubah. Jadi, relasi kita dengan zaman Nabi Muhammad, pada prinsipnya tak beda jauh dengan relasi ajaran Nabi dengan ajaran agama-agama sebelumnya. Di situ ada kontinuitas, inovasi baru, hingga modifikasi secara terus menerus.
Masa lalu kenabian bisa menjadi sumber norma bagi sebuah jamaah, bukan hanya jamaah yang menuruti norma baku, melainkan norma itu harus lentur dan berubah mengikuti kebutuhan dan realitas jamaah yang ada. Dengan demikian, setiap jamaah akan menganggap sunnah sebagai milik bersama, dan bukan lagi agamanya Arab atau agama orang asing (liyan).
Otoritas pemimpin umat
Memiliki jamaah secara otoritatif, tidak memerlukan seberapa cerdas seseorang menulis banyak buku, dan seberapa hebat kecendekiawanan dalam memahami agama. Karena, masyarakat umum lebih peduli pada hal-hal praktis dan bersifat fisik. Misalnya, apakah seseorang bisa menurunkan hujan? Apakah ia bisa menyembuhkan penyakit? Apakah sanggup memberi makan orang banyak? Apakah mampu berorasi secara meyakinkan? Apakah bisa menjadi penengah dan mediator dari kelompok masyarakat yang berselisih? Perkara-perkara semacam inilah yang dibutuhkan, sehingga orang itu dapat memiliki otoritas sebagai tokoh agama atau tokoh masyarakat yang mumpuni.
Untuk itu, tak ada standar baku perihal “kemurnian Islam” jika kita ingin membangun otoritas keberagamaan. Seakan tak ada kaitannya dengan upaya memurnikan ajaran-ajaran Islam. Karena, memang tak ada standarnya, kapan dan di mana kita bisa melihat kemurnian Islam yang sejati?
Segala tafsir dan kitab-kitab hadis telah terhimpun sesuai konteks historis yang sangat beragam. Sejak generasi awal Islam, sunnah yang terwujud di Madinah sudah berbeda dengan sunnah yang berada di Basrah, Kufah, maupun Mesir. Imam Malik menginginkan sunnah Madinah menjadi standar bagi semua kota Islam, karena Madinah adalah pusat kota Nabi. Tapi kemudian, keinginan itu ditolak oleh banyak ulama yang mengatakan standar Madinah tidak cocok untuk wilayah Mesir, karena Mesir punya realitas kultur yang berbeda.
Imam Syafi’i juga akhirnya mengubah pandangannya setelah pindah dari Baghdad ke Mesir. Tapi, justru di situlah Islam dapat bergerak menjadi agama global, karena bisa mengambil bentuk yang berbeda-beda di setiap tempat yang ia datangi.
Ini berbeda dengan dunia Kristiani yang bisa menjadi agama dunia berkat kekuasaan Imperium Romawi. Tetapi hebatnya dalam Islam, ia bisa menjadi agama dunia tanpa mempunyai infrastruktur imperium global. Hanya melalui proses artikulasi dengan lokalitas yang kemudian membentuk varian-varian Islam.
Itulah yang menjadikan Islam dapat dianggap sebagai agama pribumi, yang tapak kakinya bisa melangkah ke mana-mana, dari zaman ke zaman. Terkait dengan itu, kita dapat mengutip ungkapan Arrazy Hasyim, cendekiawan muslim lulusan Filsafat UIN Jakarta, bahwa di mana pun kita berpijak, setiap kita bertanggungjawab untuk menyampaikan Nur Muhammad yang dinilai sebagai massage Islam yang sejati. (*)
https://alif.id/read/eor/kompleksitas-risalah-muhammad-b246273p/