Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (2): Mengenal Iqtha’ Tamlik dan Iqtha’ Irfaq di Kalangan Ulama Fikih

Pemberian Izin pengelolaan tambang dari pemerintah dalam literatur fikih masuk dalam cakupan iqtha’. Iqtha’ ialah pemberian hak pemanfaatan ataupun hak kepemilikan dari pemerintah kepada seseorang, baik bersifat permanen maupun temporer. [1]

Obyek yang di iqtha’ bisa berupa lahan, fasilitas umum atau tambang. Ketika suatu hal di iqtha’ oleh pemerintah dan telah diserahkan kepada pihak penerima, maka konsekuensinya pihak lain sudah tidak memiliki legalitas untuk memanfaatkanya lagi.

Namun dalam kebijakan iqtha’ lahan, para  fuqoha’[2] berbeda pendapat. Kalangan Madzhab Maliki menyebut, pihak penerima secara langsung menjadi pemilik lahan yang yang diberikan setelah pemerintah meng-iqtha’-nya. Berbeda dengan Pakar fikih madzhab lain (Hambali, Syafi’i dan Hanafi)  yang menganggap status penerima iqtha’ hanya menerima hak istimewa (dari pada orang lain) atas lahan yang diberikan. Oleh karena itu, jika pihak penerima belum mengelolanya maka belum dianggap memiliki hak milik lahan. Baru jika pihak penerima telah mengolah lahan, ia dianggap telah memiliki lahan tersebut[3].

Dalam pembagiannya, secara ringkas iqtha’ terbagi menjadi dua; iqtha’ tamlik dan iqtha’ irfaq. Iqtha’ tamlik merupakan pemberian hak milik dari pemerintah kepada seseorang atau korporasi. Konsekuensi dari iqtha’ ini ialah Pihak penerima Mempunyai hak milik atas tambang yang di iqtha’.

Berbeda dengan iqtha’ tamlik, Iqtha’ irfaq ialah pemberian hak untuk memanfaatkan atau mengelolanya, bukan memiliki. Seperti hak penggunaan lahan, hak penggunaan jalan, hak untuk berjualan di tempat umum (tepian jalan atau lapangan).

Legalitas iqtha’ dalam pertambangan memiliki dasar yang kuat. Nabi Muhammad SAW pernah  memberikan hak izin pengelolaan serta pemanfaatan tambang  Qobaliyah secara khusus kepada Bilal bin Harits. Bahkan Nabi juga menguatkan pemberian hak tersebut dengan sebuah dokumen resmi.

Baca juga:  Hari Santri dan Presiden Jokowi

Jika mengikuti madzhab maliki, maka pemerintah memiliki kewenangan secara bebas bisa meng-iqtha’ wilayah pertambangan. Baik tamlik maupun irfaq, baik tambang jenis bathin ataupun dzahir.[4]

Sedangkan menurut Syekh Khatib Asyirbini dari kalangan madzhab syafi’i, iqtha’ dalam pertambangan hanya sebatas iqtha’ irfaq (izin pemanfaatan) dan bukan iqtha’ tamlik, itupun juga hanya dalam jenis ma’dan al bathin. Sehingga status kepemilikan tambang tetap sesuai hukum asalnya, milik seluruh rakyat yang dikelola oleh negara[5].

Dari uraian diatas, meskipun para fuqoha’ berbeda pendapat, namun jika salah satu dari qoul tersebut telah ditetapkan menjadi aturan resmi daulah (undang-undang atau peraturan pemerintah)[6], maka hukum tersebut menjadi berlaku bagi semua warga negara, hingga konsekuensinya menggugurkan legalitas qoul lainnya[7].

Oleh karena itu, pemerintah benar-benar memegang peran penting dalam pengelolaan tambang. Dalam wacana fikih, Pemerintah serta legislatif dalam membuat undang-undang ataupun peraturan yang mengatur soal pertambangan harus senantiasa mempertimbangkan maslahat umum dan berpihak kepada rakyat. Apalagi UUD 1945 juga menyebut Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam pelaksanaan di lapangan, pihak yang pemegang izin usaha pertambangan harus benar-benar melaksanakannya sesuai dengan undang – undang dan senantiasa memperhatikan kelestarian lingkungan. jika lingkungan rusak akibat pertambangan dan merugikan banyak pihak maka secara fikih wajib bertanggung jawab atas dampak negative yang muncul. Seperti masalah bekas galian tambang.

Baca juga:  Interupsi (Belajar) Itu Bernama Pandemi

Di Indonesia, Puluhan ribu bekas galian tambang belum direklamasi. Jaringan advokasi tambang menyebut ada 87.307 ha lubang tambang yang belum direklamasi, 23.551 Ha di antaranya berada di kawasan hutan. Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Jambi, menjadi wilayah yang memiliki lubang tambang terbanyak[8]. Padahal aturannya sudah jelas dijelaskan UU no 3 tahun 2020 Pasal 161 B menyebut jika pihak yang izin usaha pertambangan telah berakhir atau dicabut dan tidak melaksanakan reklamasi, bisa dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Oleh karena itu, fikih memberi atensi tegas pada Pemerintah. Jika pihak pengelola yang mendapat izin terbukti lalai dalam melaksanakan tugas hingga menimbulkan dampak buruk atau tidak sesuai perundang-undangan yang berlaku, maka sudah selayaknya teguran dan penindakan dilakukan, atau bahkan mencabut izin operasionalnya.[9]

Jangan sampai pemerintah, pemangku wewenang ataupun penerima izin tambang terkena doa Nabi ini

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ

” Ya Allah, Barang siapa yang menguasai urusan umatku  kemudian menyusahkannya, maka susahkanlah dia , dan barang siapa menguasai urusan umatku kemudian menyayangi mereka, maka sayangilah dia” HR. Muslim

Menurut Al-Hafidz Muhammad ‘Abdurrauf al-Munawi, doa Nabi tersebut mustajab (pasti dikabulkan). Konsekuensi logisnya, setiap pemerintah dan pemangku kebijakan serta pelaksana lapangan yang lalim dan menyusahkan rakyat, akan sengsara di akhir hidupnya. Jika tidak, maka orang-orang macam itu akan mati muda dan segera masuk ke neraka[10]. Segala kelaliman akan kembali kepada pelakunya, begitupula kebaikan akan senantiasa memberikan buah yang manis bagi yang melakukannya. ulama menyebut sebuah kata mutiara:

Baca juga:  HTI versus NU: Lalu Lainnya Melakukan Apa?

الظُلْمُ لَا يَدُوْمُ وَإِنْ دَامَ دِمَرٌ وَالْعَدْلُ لَا يَدُوْمُ وَإِنْ دَامَ عُمْرٌ

“Kelaliman tidak akan bertahan selamanya meski kekacauan tetap terjadi.

Begitu pula, Keadilan tidak akan wujud selamanya meski umur kekal abadi.”

[1] Wahbah Azzuhaly, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuh, Juz 6 hal. 430, (Beirut: Dar Al-Fikr)

[2] Fuqoha’ adalah kata jama’ dari kata tunggal faqih yang berarti orang ayang faham fikih secara mendalam

[3] Wahbah Azzuhaly, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuh, Juz 6 hal. 432, (Beirut: Dar Al-Fikr)

[4] Al-Kharsyi, Syarh ‘ala Mukhtashar Khalil. Juz 2 hal. 208 (CD. Maktabah Syamilah)

[5] Khatib Assyirbini, Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadzi Al Minhaj, Juz 2, Hal. 373 (Beirut: Dar Al Fikr)

[6] Atau beberapa qoul dikompilasikan menjadi sebuah aturan

[7] Ahmad bin Idris Al-Qarafi, Anwar Al-buruq Fii Anwa’I Al-Furuq Juz 4 Hal. 121 ( Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah 1998)

Muhammad Yasin Bin Isa Al Fadani, Fawaid Al Janiyah, Hal. 474-475 (Rembang: Ali Ridlo and Brothers)

 Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah Juz 33 Hal 338 ( Kuwait: Kementerian Wakaf dan Urusan Islam kuwait)

[8] https://www.jatam.org/curang-di-lubang-tambang-kerentanan-korupsi-jaminan-reklamasi-dan-pascatambang/ diakses pada 08 Januari 2020  M.

[9] Abdurahman Al-Jaziri, Al fiqh ‘ala Madzahib Al-A’ba’ah Juz 5 Hal 193 (CD. Maktabah Syamilah)

[10] Al-Hafidz Muhammad ‘Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir. Juz 2 Hal 106, (Mesir: Maktabah Al Tijariyah Kubro)

https://alif.id/read/wfy/konsep-fikih-menjaga-lingkungan-2-mengenal-iqtha-tamlik-dan-iqtha-irfaq-di-kalangan-ulama-fikih-b246071p/