Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (3): Khazanah Fikih tentang Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran sungai (DAS) menjadi salah satu penopang kehidupan manusia sejak masa lalu. Dahulu, setiap peradaban besar akan muncul dan berkembang di sekitaran sungai. Oleh karena itu peran sungai bagi kehidupan manusia ataupun makhluk lain tidak terbantahkan lagi.

Khazanah Fikih rupanya juga telah membahas tentang sungai. fikih telah sedemikian rupa mengatur serta memberikan ketentuan-ketentuan tersendiri bagi upaya pemanfaatan serta perawatan sungai. Hal ini tidak lain untuk menjaga agar sungai tetap lestari sehingga terus memberikan manfaat bagi makhluk-makhluk yang membutuhkannya.

Fikih Membincang Sungai

Sungai merupakan tempat hidup dari komponen-komponen ekosistem tertentu. Mulai dari ikan-ikan, tumbuhan serta keanekaragaman hayati lain. Sungai sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ia merupakan sumber pencaharian sebagian masyarakat. Sebagian jenis ikan di sungai juga sangat mendukung aktivitas ekonomi. Ada pula yang memanfaatkan sumber daya sungai lainya, seperti pasir. Bagi sektor pertanian, sebagian besar masyarakat juga memanfaatkan sungai sebagai sumber irigasi lahan sawah mereka.

Selain itu, di era modern, sungai yang dahulunya hanya dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan ataupun untuk mengairi lahan, kini telah menjelma menjadi tempat wisata yang mempunyai nilai ekonomis tersendiri. Maka tidak heran, banyak daerah mulai menjadikan sungai sebagai salah satu ikon wisata mereka.

Dalam khazanah Fikih, sungai dikenal dengan istilah nahar, untuk mufrad (kata tunggal). Sedangkan jamaknya (plural) menggunakan kata anhar. Secara istilah nahar berarti

المَاءُ العَذْبُ الغَزِيْرُ الجَارِيْ وَمَجْرَى الْمَاءِ الْعَذْبِ

“ air tawar yang melimpah serta mengalir. Atau tempat air yang mengalir”[1]

Al-Qur’an banyak menyebut kata nahar ataupun anhar, mayoritas ketika menggambarkan nikmat-nikmat di surga. Seakan menggambarkan kepada kita bahwa sungai benar-benar memberikan manfaat yang besar. Hingga di surga pun terdapat sungai sebagai salah satu kenikmatannya. Seperti ayat ;

Baca juga:  Hari Santri dan Presiden Jokowi

إِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ەۗ ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيْرُۗ

Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah kemenangan yang agung” QS. Al Buruj:11

Dalam khazanah Fikih, sungai beserta air dan sumber dayanya merupakan karunia Allah bagi seluruh makhluk. Ia merupakan fasilitas umum alami. Oleh karena itu, daerah aliran sungai tidak bisa dimiliki. Siapapun boleh memanfaatkannya. Entah untuk mengambil airnya, memberi minum ternak, mengairi lahan, atau keperluan lain.

Meskipun Setiap orang boleh memanfaatkan Daerah aliran sungai. Tetap ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Diantaranya, dalam kegiatan pemanfaatan tidak boleh sampai menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem sungai serta masyarakat pada umumnya[2]. Oleh karena itu, jika ditemukan pihak yang merusak atau mencemari sungai maka siapapun harus mencegahnya.

Wilayah tepian sungai dalam istilah fikih dikenal dengan harim an-nahar. Beberapa ketentuan yang berlaku bagi kegiatan pemanfaatan sungai, juga berlaku pada daerah tepiannya. Area tepian sungai juga tidak dapat dimiliki, Karena dapat mengganggu kegiatan pemanfaatan sungai.

Sedangkan mengenai batas harim an-nahar.  Para para pakar fikih tidak membatasi dengan jarak tertentu, hal ini dikembalikan pada keumuman masyarakat (‘urf). Kebanyakan hanya menyebutnya dengan jarak dan luas area tepian yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sungai. Seperti keterangan Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 973 H.);

مَا تَمُسُ حَاجَةُ النَاسِ إِلَيهِ لِتَمَامِ الاِنْتِفَاعِ باِلنَهَرِ

Baca juga:  Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

“area yang dibutuhkan agar pemanfaatan Daerah Aliran Sungai bisa maksimal”[3]

Mendirikan bangunan di area harim an-nahar juga tidak diperbolehkan. Karena dapat mengganggu kegiatan pemanfaatan sungai. Oleh karena itu, bangunan yang telah berdiri, syariat memberikan kewenangan untuk dirubuhkan. Namun tetap dengan cara-cara yang baik dan bijak. Berbeda dengan bangunan yang memang dibangun untuk menunjang kegiatan pemanfaatan sungai serta perawatan DAS itu sendiri. Bangunan seperti ini mendapatkan legalitas dari syariat.

Namun demikian, jika ditemukan bangunan di area tepi sungai, yang sudah sejak lama berada disana dan tidak jelas statusnya, maka dalam kewenangannya masih diperselisihkan ulama, karena bisa saja tanah tersebut diperoleh melalui cara yang diperkenankan syariat.[4]

Konsep harim an-nahar ini, punya kemiripan dengan aturan di indonesia tentang garis sempadan sungai.

Karena sungai merupakan fasilitas umum yang harus di jaga dan dirawat. maka fikih sangat melarang kegiatan pencemaran sungai dalam bentuk apapun, jika sampai merusak ekosistem sungai serta membahayakan masyarakat.

Tindakan membuang sampah ke sungai, baik sampah rumah tangga maupun limbah pabrik sangat dilarang oleh syariat, Apalagi limbah B3 ( bahan berbahaya dan beracun). Hal ini karena terbukti dapat menyebabkan maslah lingkungan seperti banjir dan bencana lainya yang seringkali menimbulkan korban jiwa serta kerugian materiil[5].

Upaya konservasi daerah aliran sungai menjadi kewajiban semua orang. Namun pada dasarnya biaya perawatan sungai memang menjadi tanggung jawab Bait Al-Mal (pemerintah). Maka menurut fikih, pemerintah harus memberikan anggaran tersendiri untuk perawatan sungai[6]. Selain itu, masyarakat juga wajib berpartisipasi menjaga sungai. Allah telah menganugerahkan sungai kepada manusia, sehingga manusia wajib merawat serta memanfaatkannya untuk kebaikan, sebagai wujud syukur kita kepada Allah.

Baca juga:  Pemetik Puisi (2): Kertas dan Keras

Jangan sampai seperti beberapa generasi masa lalu yang telah diberi nikmat sungai, tetapi tidak mampu memanfaatkan serta mensyukurinya. Hingga pada akhirnya Allah membinasakan mereka. Allah menceritakan Kisah ini dalam firmannya ;

اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ قَرْنٍ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَّكُمْ وَاَرْسَلْنَا السَّمَاۤءَ عَلَيْهِمْ مِّدْرَارًا ۖوَّجَعَلْنَا الْاَنْهٰرَ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهِمْ فَاَهْلَكْنٰهُمْ بِذُنُوْبِهِمْ وَاَنْشَأْنَا مِنْۢ بَعْدِهِمْ قَرْنًا اٰخَرِيْنَ

Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Kami curahkan hujan yang lebat untuk mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa-dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan generasi yang lain setelah generasi mereka.” QS. Al-An’am;6

[1] Kamus Mu’jam Al Washit

[2] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adilatuhu, Juz 6, hal 450-451 (Beirut: Dar Al Fikr)

[3]  Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj fi syar al-minhaj wa hawasyi assyarwani Juz 6, Hal. 206, )Dar Ihya’ Al Turats Al ‘Arabi(.

[4] Ibid

[5] Syaikhul Islam Zariya Al Anshari, Asna Al-Mathalib Syarh Raudl Al Thalib, Juz 4 hal. 73-74 ( Beirut : Dar Al Kutub Al Ilmiyah 2000)

[6] Syaikh Al Islam Zakariya Al-Anshari, Asna Al Mathalib fii Syarh Raudl Al Thalib, Juz  2 Hal. 454 … Dar al Kutub Al ilmiyah 2000

https://alif.id/read/wfy/konsep-fikih-menjaga-lingkungan-3-khazanah-fikih-tentang-daerah-aliran-sungai-b246073p/