Membahas tentang kekerasan seksual seperti membahas jalan menuju sebuah tempat, yang memiliki alternatif yang sangat banyak. Jalan menuju suatu tempat bisa ditempuh melalui jalan apapun. Hal itu juga sama seperti korban kekerasan seksual. Jika ingin melihat luka yang dialami oleh korban, tentu sangat banyak, mau menyorot luka yang mana untuk kita telaah.
Ada banyak aspek yang bisa dibahas dari korban kekerasan seksual, mulai dari trauma, beban ganda, hingga luka yang berkepanjangan, dan akan diingat selama hidupnya. Barangkali melalui penjelasan ini, kita tidak ikut serta merasakan sakit dan luka yang sesungguhnya. Sebab yang benar-benar merasakan itu adalah korban. Meskipun demikian, kepekaan dalam merasakan sakit, luka, menjadi salah satu alasan kuat, mengapa korban kekerasan butuh pembelaan yang besar. Upaya ini juga dilakukan untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang selalu terjadi.
Kalau dilihat dari maknanya, dalam Undang-Undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dijelaskan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu Kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Sejalan dengan penjelasan tersebut, kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan.
Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia Nomor 26 tahun 2000 pada pasal 7, menjelaskan bahwa salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dijelaskan juga di pasal 9 dalam undang-undang tersebut bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujuan secara langsung terhadap penduduk sipil, salah satunya berupa bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara meliputi perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa dan lainnya.
Sebenarnya, kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi di tiap-tiap negara juga terjadi, seperti: Jerman, Perancis, Italia, Swiss, Swedia, Amerika Serikat, Arab Saudi, dll. Negara-negara tersebut, berdasarkan peraturan pemerintah setempat, menindak tegas pelaku kekerasan seksual.
Selain membahas tentang penindakan pelaku kekerasan seksual, pertanyaan yang paling penting diajukan adalah, apakah korban kekerasan seksual bisa sembuh? Pertanyaan di atas tidak kemudian bisa dijawab dengan “Ya” atau “Tidak”. Pada kenyatannya, banyak aspek yang mendasari korban kekerasan seksual untuk sembuh dari dampak pasca menjadi korban kekerasan seksual.
Dalam melihat korban kekerasan seksual, ada beberapa fase yang dialami oleh korban, di antaranya:
Pertama, denial (penangkalan), merupakan fase di mana korban menyangkal bahwa mengalami tindak kekerasan seksual telah terjadi pada dirinya. pada fase ini, korban melakukan penolakan sebagai pertahanan diri yang bersifay sementara, dengan perasaan tidak percaya dan tidak menerima bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual
Kedua, anger (kemarahan), merupakan fase di mana korban memiliki kemarahan yang cukup besar, dan mempertanyakan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi pada dirinya. Ketiga, bargaining (penawaran), di mana korban melakukan tawar menawar dalam arti berharap bahwa trauma ini bisa hilang dengan sendirinya.
Keempat, depression (depresi). Dalam fase ini, korban lebih menjadi pendiam, menolak orang lain dan banyak merenung. Usaha-usaha untuk memperbaiki dirinya dapat membuat korban masuk ke dalam kondisi depresi. Dampak mental yang diterima oleh korban kekerasan seksual berasal dari pengaruh luar seperti penilaian yang diberikan dari masyarakat di lingkungan korban kekerasan seksual terutama pada kasus kekerasan seksual yang diekspos oleh media. Apalagi, jika kita melihat beberapa korban kekerasan seksual, mereka kerap kali mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, belum lagi media yang menyorot tentang hubungan sosial dengan lawan jenis, bahkan kepada jenis pakaian yang digunakan.
Kelima, acceptance (penerimaan). Pada fase ini, korban mulai mengembangkan rasa damai dan menerima takdir. Perasaan sakit pada fisik akan menghilang karena sikap kepasrahan individu atas pemahaman yang telah terjadi. Pada tahap ini, korban sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri dan menjalani aktivitas sesuai dengan minat dan keinginannya.
Proses pemulihan bisa diberikan kepada korban dalam beberapa hal, seperti: pelayanan kesehatan, pendampingan proses pemulihan, dan pendampingan konseling. Berdasarkan di atas, setiap korban kekerasan seksual membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk menjalani fase pulih yang akan dijalaninya. Di samping itu, lingkungan sekitar, seperti keluarga, masyarakat, juga menjadi support penuh korban dalam menjalani proses pemulihan. Hal itu bergantung pada masing-masing korban dalam menerima kekerasan seksual yang menimpa dirinya.