Korban Kekerasan Seksual (3): Bagaimana Agar Korban Kekerasan Seksual Diterima Masyarakat?

Satu dari tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang mayoritas justru dilakukan oleh pasangannya. Baik ketika berada dalam hubungan pacaran maupun kekerasan dalam rumah tangga. Selain mencari penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yang perlu dikaji adalah bagaimana memastikan para penyintas kekerasan seksual bisa diterima kembali ke masyarakat atau yang disebut dengan disengagement bagi korban kekerasan seksual.

An’an Yuliani, anggota Sekolah Perempuan di Tasikmalaya sekaligus ketua P2TP2A Kabupaten Tasikmalaya menjadi mediator perdamaian memiliki cara khusus dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Fokus gerakannya adalah melakukan penyadaran terhadap orang tua agar tidak memaksa korban untuk menikah dengan pelaku. Jika hal itu terjadi, maka lingkaran kekerasan seksual tidak akan terputus.

Ibu An’an mulai aktif menangani kasus kekerasan seksual karena berangkat dari pengalaman. Beliau memiliki teman yang menjadi korban pemerkosaan, naasnya korban tersebut justru dianggap sebagai penyebab perceraian dari orang tuanya. Di lain waktu, beliau juga menyaksikan bagaimana seorang istri harus mempertahankan hubungan yang toxic demi kelangsungan rumah tangganya.

Sayangnya, Ibu An’an tidak tahu harus memulai memediasi dari mana, karena tidak memahami teori mediasi. Akhirnya, Ibu An’an tergabung dengan relawan P2TP2A kabupaten Tasimalaya. Disinilah awal mula Ibu An’an bergelut dengan narasi perdamaian, teknik mediasi, dan menjumpai kasus kekerasan seksual yang lebih komplek.

Baca juga:  Di Hari Bumi 22 April, Mari Kita Belajar Literasi Ekologis dari Kartini Gunung Kendeng

Perempuan asli Tasikmalaya ini menggunakan pendekatan perdamaian dan dialog dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Hal itu pernah ia praktikkan saat menghadapi kasus perkosaan yang dialami 1 korban perempuan muda dengan 2 orang pelaku. Masyarakat geram dan termakan emosi, serta bersikeras akan mengawinkan korban dengan pelaku pemerkosaan. Naasnya, korban dan pelaku justru  tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut.

Tak tinggal diam, Ibu An’an menawarkan dialog untuk mencari jalan keluar. Diundanglah perwakilan komunitas, tokoh agama, dan keluarga dari ketiga belah pihak. Sebelum memulai dialog, ada beberapa kesepakatan yang diajukan Ibu An’an, antara lain; semua pihak hadir sebagai diri sendiri tanpa mewakili institusi tertentu; hanya boleh berbiacara 2 menit dan tidak boleh menyela; tidak menghakimi pendapat siapapun meski berbeda pendapat; mendengarkan dengan seksama jika ada pihak lain yang berbicara; harus merahasiakan apapun hasil yang dibahas dalam forum tersebut.

Diluar dugaan, ternyata pihak yang hadir dalam dialog tersebut menaati dan mengikuti intruksi yang diberikan Ibu An’an. Sehingga diskusi dan dialog dalam ruangan tersebut berjalan dengan kondusif. Dari sinilah, Ibu An’an memulai salah satu skill terbarunya yaitu reflective structured dialog. Suatu seni untuk mendengarkan bagaimana pendapat peserta dialog atas kasus perkosaan yang menimpa salah satu warganya.

Baca juga:  Perempuan-perempuan yang Memimpin Ribuan Santri

Dari lubuk hati yang terdalam, ternyata mayoritas peserta dialog menginginkan pelaku dihukum sesuai dengan hukuman yang layak. Alih-alih memaafkan atau justru menikahkan dengan korban. Karena dengan hukuman, diharapkan mampu memunculkan efek jeras bagi pelaku, serta jaminan keamanan bagi korban.

Dari teknik yang dilakukan Ibu An’an, tampak jelas bahwa ketrampilan mediator perdamaian bisa diterapkan dalam kasus kekerasan seksual. Karena dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, didalamnya juga ditemukan banyak konflik. Ibu An’an melakukan pendekatan damai dimulai dari karakter kepemimpinanya yang menganggap semua orang setara. Tidak superior, dan memandang semua orang memiliki hak untuk mengutarakan pendapatnya. Mengedepankan kepentingan korban, dengan tetap menjaga perdamaian di masyakat.

Berdasarkan pengalaman yang disampaikan Ibu An’an, tampak bahwa normalisasi pelaku kekerasan seksual berawal dari sikap masyarakat yang acuh. Sehingga ketika terjadi kekerasan seksual, masyarakat akan langsung menyalahkan korban dan memaklumi kejahatan yang dilakukan pelaku.

Karena sikap acuh ini pulalah, masyarakat tidak memperdulikan bagaimana masa depan korban, dan bagaimana ia bisa diterima di masyarakat. Termasuk  bagaimana  pelaku membaur kembali di masyarakat dengan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Sehingga menikahkan korban dengan pelaku dianggap solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Baca juga:  Iklan Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Budaya Patriarki

Melihat bagaimana kondisi masyarakat yang acuh saat ini, maka pendekatan dialog yang dilakukan Ibu An’an dalam memediasi kasus kekerasan seksual tepat untuk dipraktekkan. Karena dengan pendekatan dialog, semua komponen masyarakat dilibatkan. Dan yang lebih penting, korban dan pelaku juga diberi ruang untuk menyatakan pendapatnya tentang masa depan yang akan mereka jalani. Dengan begitu, korban tidak mendapatkan penghakiman dan abisa kembali diterima sebagai bagian dari masyarakat.

https://alif.id/read/lmy/korban-kekerasan-seksual-3-disengagement-bagi-korban-kekerasan-seksual-bagaimana-agar-diterima-masyarakat-b245794p/