Membincang persoalan kekerasan seksual di Indonesia, jamak dijumpai bahwa korban mengalami kekerasan berulang. Kebanyakan kasus yang akhirnya mencuat, belakang terkuak bahwa kekerasan yang dialami korban bukanlah yang kali pertama. Latar belakang korban kekerasan di sini juga bervariasi, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, perempuan hingga laki-laki.
Sebutlah kasus bunuh diri perempuan inisial NW di samping makam ayahya yang sempat menghebohkan publik pada Desember 2021 lalu. Dilansir dari VOI.ID, NW mengalami kekerasan secara bertumpuk dan berulang selama hampir dua tahun sejak tahun 2019. Saat itu opini publik terpecah menjadi pro dan kontra. Bahkan tak sedikit netizen yang justru menyalahkan korban lantaran korban diketahui menjalin hubungan pacaran dengan pelaku. Padahal kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja dan dalam hubungan apa saja.
Kekerasan berulang dan bertumpuk juga dialami oleh korban kekerasan di KPI (Kantor Penyiaran Indonesia) berinisial MS. Diketahui bahwa MS mengalami perundungan dan pelecehan seksual oleh rekan kerjanya. Korban mengaku mengalami trauma dan merasa martabatnya sebagai lelaki dan suami telah hancur.
Sekitar awal tahun kemarin, publik digemparkan dengan kasus pemerkosaan yang terjadi pada 13 santriwati oleh pelaku yang merupakan pimpinan pesantren, Herry Wirawan. Pelaku sudah melakukan aksi bejatnya sejak tahun 2016 dan rata-rata korban berada pada rentang usia 14-20 tahun. Seiring penyelidikan kepolisian, ternyata jumlah korban Herry adalah 13 orang. Dari jumlah tersebut, 9 bayi lahir dari 8 korban. Artinya, ada korban yang melahirkan dua kali.
Menuju pertengahan tahun, publik kembali digegerkan dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Moch Subchi Azal Tsani alias Bechi. Terungkap bahwa Bechi melakukan tindakan bejat tersebut kepada santriwatinya sendiri sejak tahun 2012. Diketahui bahwa empat santriwati mengalami pencabulan dan terdapat korban yang mengalami pelecehan seksual secara verbal.
Tentu masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini. Persoalan kekerasan dan eksploitasi seksual selalu menjadi suatu perbincangan serius. Isu ini juga masih menjadi isu strategis dalam pembangunan bangsa Indonesia bahkan turut menjadi sorotan internasional. Permasalahan perlindungan korban kekerasan yang kompleks membutuhkan kerja sama lintas profesi dan juga multidisiplin yang memusatkan keberpihakan kepada para korban. Mulai dari proses pelaporan kasus, pendampingan korban hingga proses pemulihan korban baik fisik maupun mental.
Dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi, banyak pula korban yang mengalami kekerasan berulang. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah karena korban tidak bisa melaporkan kekerasan yang dialaminya, baik sekedar untuk bercerita kepada keluarganya ataupun ke pihak berwajib. Ketimpangan relasi kuasa yang terjadi di antara korban dan pelaku juga turut menjadi faktor yang membuat korban akhirnya bungkam.
Doktrinasi dan budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat juga turut berperan dalam bungkamnya korban. Korban kekerasan seksual kerap dianggap sebagai sosok yang hina, aib dan stigma lainnya. Jika kekerasan terjadi dalam relasi suami istri, jika istri menjadi korban, maka ia akan dicap sebagai penyebar aib suami. Padahal yang korban butuhkan adalah pertolongan pertama berupak ruang aman untuk bersandar. Telinga yang bisa mendengarkan apa yang telah dialami korban.
Korban yang melapor terkadang justru mendapat respon negatif dari lingkungan sekitarnya. Bahkan tak jarang dari pihak berwajib juga turut menyalahkan korban. Dengan demikian, korban kekerasan justru mengalami reviktimisasi. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga.
Persoalan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan didukung penuh oleh beberapa lembaga yang ada di Indonesia seperti Komnas Perempuan. Terdapat pula Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan lembaga negara yang independen, terbentuk pada tanggal 9 Oktober 1998 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan memiliki tujuan, manfaat dan wewenang dalam menindaklanjuti permasalahan yang berkaitan dengan perempuan.
Banyak pula lembaga-lembaga non-pemerintah yang turut membantu mengawal kasus dan mendampingi korban. Pendampingan psikologis dan keperluan pendampingan medis lainnya juga turut diupayakan oleh berbagai pihak. Dalam mengidentifikasi permasalahan dan menyediakan layanan dalam penanganan kasus yang multidisiplin dan berpusat pada korban kekerasan seksual.
Petugas yang menangani kasus perlu mempertimbangkan, baik kerentanan yang dimiliki anak atau faktor resiko (risk factors) maupun kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh anak dan keluarganya atau sering disebut sebagai faktor pelindung (protective factors). Serta bagaimana membangun kapasitas mereka agar dapat membantu diri mereka sendiri dalam menyelesaikan masalahnya.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang telah resmi disetujui menjadi undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 juga menjadi salah satu payung hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi mencegah kekerasan seksual. Meskipun pada kenyataan di lapangan penerapan UU tersebut belum bisa sepenuhnya diterapkan. Negara berkewajiban menyelenggarakan program penanganan kekerasan untuk merespon kasus kekerasan.
Meski RUU TPKS telah disahkan, namun kontrol atas penerapannya di lapangan juga tetap harus dijalankan dengan optimal. Perlu kerja sama lintas sektor dan lembaga untuk benar-benar mewujudkan penghapusan kekerasan seksual. Penanganan perlindungan serta pendampingan korban juga perlu menjadi kepentingan yang dikerjakan bersama-sama.