Kosmologi Air: Ekspresi Budaya dan Religiositas

Dalam konteks kebudayaan kita, air merupakan sebuah zat yang sarat makna. Air adalah entitas yang renik dan kompleks, tetapi sekaligus juga sistemik, mitologis dan simbolik. Tak semata benda cair, ia menyimpan kisah tentang kehidupan.

Air adalah berkah, yang dalam jumlah lebih dan kondisi tertentu bisa menjadi bencana. Air dalam porsi yang sangat sedikit dan menetes dari diri kita, ia menjadi penanda kesehatan, pun juga bisa menjadi penanda kesedihan.

Air berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis. Manusia tercipta dari pertemuan air. Air juga menjadi pelepas dahaga dengan cara meminumnya.

Ekspresi Budaya

Air menjadi penanda penting kelangsungan hidup seseorang ataupun sekelompok orang. Itu sebabnya air menjadi elemen wajib dalam ritus-ritus upacara tradisi Nusantara (terutama di Jawa). Air menjadi medium untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, keberkahan, kekebalan hingga mantra jahat (black magic).

Bagi sebagian orang, air dipercaya ampuh menyembuhkan penyakit kejiwaan (dengan cara kungkum/berendam dan mandi) dan masuk angin (dengan banyak minum air putih). Kita mengenal prosesi jamasan pusaka kraton-kraton di Jawa dimana air bekas cucian senjata itu dipercaya masyarakat mengandung tuah. Begitu juga dengan fenomena dukun cilik Ponari dari Jombang yang menyembuhkan penyakit lewat batu yang direndam air beberapa waktu lalu (Setiawan, 2014).

Lebih lanjut dikatakan Setiawan, dalam logika simbolis ekspresi budaya kita mengenal cerita pewayangan dimana Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air kehidupan, air suci yang mampu memberikan hidup abadi. Air suci itu kemudian didapat dalam wujud Dewa Ruci, yang memberi wejangan dan petuah tentang nilai kebaikan dan kebajikan hidup. Bima mencapai jatidiri sebagai manusia melalui medium air. Air juga memunculkan falsafah hidup bahwa tetesan air yang terus menerus dapat menggerus dan melubangi batu setebal dan sekeras apapun. Air menjadi pralambang intensitas, kesabaran, kesungguhan.

Berbagai cerita rakyat juga kerap melukiskan fragmen para bidadari yang turun dari kahyangan untuk mandi di sungai. Air menjadi tujuan mereka di bumi dan jejak perjalanan mereka berwujud pelangi, keindahan sakral yang dipantulkan air (Saidi, 2015)

Jika tak tiba, air akan diupayakan kehadirannya. Ia menjadi elemen penanda hidup yang diperjuangkan keberadaannya melalui doa, ritus hingga sesaji. Banyak fakta budaya suku bangsa di dunia, membuktikannya, salah satunya dalam bentuk tari. Dalam budaya Jawa, tari tayub menjadi elemen penting dalam ritus memanggil hujan yang diadakan di daerah-daerah pertanian. Pertunjukannya kerap dihadirkan di pinggir sawah atau mata air dibawah rimbunan pohon.

Ritual kesuburan semacam itu juga dikenal di Banyuwangi dalam bentuk tari Seblang, di Bugis-Makassar melalui upacara Mappalili, di suku Danyak Kenyah (upacara Lepeq Majau), serta banyak daerah lain di Nusantara. Logika kearifan lokal semacam inilah yang menghadirkan simbolisme kesuburan melalui sosok Dewi Sri (di Jawa), Nyi Pohaci (budaya Sunda), Bini Kabungsuan (Dayak), sebagai contoh. Di belahan dunia lain seperti di wilayah Amazon, dikenal tari Itogapuk dengan fungsi sosial budaya yang sama.

Religiositas

Kenyataan tersebut menegaskan posisi, peran dan makna air dalam konteks religiositas. Tidak hanya melalui sajian seni pertunjukan komunal, arti tersebut juga tersampaikan lewat seni sastra. Nuraini (2014) menyebut novel Siddharta karya Herman Hesse, sastrawan asal Jerman peraih Nobel Sastra 1946, menceritakan transformasi kehidupan tokoh ceritanya. Siddharta ingin berubah dari kehidupan hedonisme nan penuh kenikmatan duniawi, kehidupan yang akhirnya melelahkan jiwa dan merusak hidupnya, menjadi sebuah ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Maka pada suatu hari, Siddharta duduk di pinggir sungai, bersandar di pohon kelapa, menatap aliran air sungai yang tenang dan bening. “Kekosongan yang dingin dalam air itu memantulkan kekosongan yang mengerikan dalam jiwanya” begitu Hesse mengisahkan momen itu. Siddharta bertobat. Air membimbing dirinya menempuh jalan spiritualitas untuk menemukan hakikat hidup, menemukan diri yang sejati.

Nuraini kembali mencuplik buku memoar The Road to Mecca (1985), kisah Muhammad Asad, warga Eropa, yang melakukan pengembaraan ke negeri-negeri di Timur Tengah saat Perang Dunia I. Ia berjalan dari gurun ke gurun hanya untuk menemukan kebenaran walaupun ajal menjadi bayarannya. Ia merasakan bagaimana air menjadi dambaan pertamanya saat letih dan hausnya memuncak. Dan air itu pula yang mengingatkannya pada kerapuhan tubuh manusia. Hidup ternyata bermula dari air. Asad menemukan hikmah bahwa segala kisah kehidupan ditentukan oleh air. Air memuat pesan-pesan Tuhan agar kita senantiasa ingat segala keterbatasan diri dan harmoni bersama alam. Artinya, kita belajar mengimplementasikan iman melalui air.

Saidi (2015) menegaskan bahwa di samping fungsinya yang esensial dalam konteks kebudayaan, air memang menempati posisi penting di dalam agama. Dalam Islam, air bukan hanya medium pembersih fisik, tapi untuk menyucikan diri dari kotoran nonfisik (hadas) yang menghalangi sahnya shalat. Air adalah media utama untuk berwudu, padahal agama ini diturunkan di sebuah tempat kering (gurun), daerah di mana air sangat sulit dicari. Debu (pasir halus) yang tentu saja lebih mudah ditemukan di gurun justru hanya berfungsi sebagai pengganti jika air sama sekali tidak ada (tayamum).

Dilanjutkan bahwa, vitalitas air dalam Islam sedemikian dapat dibaca dalam logika oposisi biner dengan api. Sebagaimana diketahui, api adalah zat yang digunakan Tuhan untuk menciptakan iblis, nenek moyang sang penggoda manusia. Maka, membasuh wajah dengan air (berwudu) dapat berarti menyucikan “sifat-sifat setan” di dalam diri.

Dalam jumlah besar, air pulalah yang digunakan Tuhan untuk menyeleksi umat yang beriman pada zaman Nabi Nuh. Pun demikian ketika Tuhan menyelamatkan Musa dan pengikutnya ketika dikejar pasukan Firaun. Di dalam air pula pasukan Firaun dikuburkan. Sodom dan Gomora bukankah juga ditenggelamkan ke dalam laut?

Dalam logika kultural masyarakat kita, kaum Muslim (di Jawa khususnya) menghadapi bulan puasa dengan cara memuliakan diri lewat air melalui tradisi padusan yaitu melakukan adus/mandi sehari sebelum Ramadhan. Padusan (lengkap dengan keramas) melalui air mengalir dimaksudkan sebagai persiapan fisik, mental dan spiritual untuk membersihkan dan menyucikan pikiran dari nafsu dasar sebelum menjalankan ibadah suci puasa. Padusan merupakan aktifitas budaya dalam konteks spiritualisme komunal. Simbolisme yang dibawanya mensiratkan ruang kontemplatif tenang dan khusyuk dalam ruang pembersihan (baca: penyucian) melalui air yang terus mengalir. Itulah sebabnya padusan di Jawa kerap diadakan di tuk, sendhang ataupun umbul sebagai sumber air berwujud kolam yang mengalir.

Dari narasi simbolis logika kebudayaan manusia, air beroleh kedudukan penting: eksistensinya diperhitungkan, dijaga dan dimaknai. Puncaknya pada idiom “tanah air”, dimana ia menjelaskan suatu tempat yang perlu, penting dan harus diperjuangkan: sebagai bangsa, kampung halaman, tempat kelahiran dan sebagai titik awal kehidupan – sebuah identitas. Air menjadi penuh makna.

Tapi kini air mendapat arti yang berbeda dalam kehidupan. Ia menjadi semata benda yang dianggap tak memiliki kedalaman makna. Bahkan ia terkomodifikasi menjadi material belaka, termasuk dijadikan produk ekonomi yang bertujuan pada hitungan profit dan logika kapital belaka. Basis logika kultural, konteks religiositas dan semesta spiritualitas yang terkandung dalam kosmologi air kini tercemar oleh hasrat kemanusiaan dan nafsu dinamika zaman yang makin mengeringkan kualitas peradaban.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/kosmologi-air-ekspresi-budaya-dan-religiositas-b248375p/