Wawasan publik mengenai Barus berhenti pada pemahaman, bahwa ia merupakan bahan yang dipakai untuk memandikan orang mati. Mungkin, sebagian dari kita masih ada yang dapat mendeteksi kalau kota Barus merupakan wilayah tempat kapur tersebut berasal. Namun, masih jarang yang memahami Barus sebagai manifestasi dari sisa-sisa peradaban manusia di masa lalu.
Artefak sejarah yang tersebar di seluruh Barus, seolah merekam berbagai aspek kehidupan. Sebut saja salah satu artefak sejarah yang paling populer ialah, komplek pemakaman muslim kuno. Kenyataan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelum Samudera Pasai belum diketahui khalayak ramai. Data yang sebenarnya sudah tidak asing bagi peneliti dan sejarawan ini, perlu didemonstrasikan sebagai fragmen baru guna mengkonstruksi ulang argumen sejarah orang-orang yang terlanjur keliru.
Argumen sejarah yang saya maksud ialah, himpunan data lama yang terlanjur kita konsumsi pada buku-buku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Dengan buku-buku yang ada, siswa kita yang minim minat baca terkesan merasa cukup dengan informasi yang sudah disuguhkan oleh penyunting buku. Sepintas, konstruksi-argumen sejarah-ini memang terlihat tidak krusial. Padahal, untuk memahami sejarah secara komplet, mestinya tidak berhenti pada peristiwa lahiriah saja.
Dalam Muqaddimah-nya, selain memahami sejarah sebagai rentetan peristiwa saja (lahir), Ibnu Khaldun menekankan untuk turut menimbang aspek kedua (batin). Agar dapat menjadi sebuah pengetahuan yang berguna, sejarah dalam pengertian kedua, mesti dipahami sebagai usaha mencari kebenaran. Dalam prosesnya, memahami cara bagaimana realitas terbentuk merupakan variabel yang penting dalam pernyatan Ibnu Khaldun tersebut.
Dalam memahami rentetan berita mengenai Barus, menyebutnya sebagai fragmen yang hilang tidaklah berlebihan. Mengingat data-data yang terlanjur saya konsumsi tiba-tiba buyar dengan adanya informasi baru mengenai kota kecil tersebut. Sayangnya, jawaban yang saya dapat mengenai penyebab luputnya Barus dari sejarah kita agaknya masih kurang memuaskan. Beberapa jurnal membeberkan, informasi mengenai Barus sempat menghilang akibat kolonialisasi Belanda.
Dalam bukunya, Sejarah Keagungan Mazhab Syafi’I, Kyai Sirajuddin Abbas turut menuturkan hal yang sama. Belanda menyembunyikannya guna mencegah spirit orang Islam untuk melakukan perlawanan. Sementara itu, peradaban lain yang meninggalkan sisa-sisa peradaban di Barus termasuk cukup banyak. Artinya, meski faktor tersebut cukup masuk akal, agaknya perlu kajian yang lebih luas untuk menyimpulkan hal tersebut.
Kota kecil yang membentang di pesisir Tapanuli Tengah tersebut, memiliki pelabuhan yang konon merupakan medium yang dipakai pendatang untuk bergaul dengan masyarakat lokal. Walau sudah sedikit susah membayangkan kalau hamparan pasir yang kini kotor tersebut merupakan jalur perdagangan internasional pada masa lampau.
Konon, pelabuhan tersebut menjadi jalur utama dalam mengekspor kamper (kapur barus) ke berbagai wilayah. Claudie Guillot berujar dalam bukunya, Historie de Barus; Le Site de Lobu Tua , perdagangan internasional di Barus sudah masyhur sampai ke negeri Tiongkok sejak abad ke-6. Wilayah lain, seperti Arab dan Persia juga menjadi pendatang yang cukup populer di Barus. Ironinya, temuan-temuan yang memiliki nilai sejarah dari negeri lain seperti Tiongkok dan India bahkan lebih banyak ditemukan oleh para peniliti dibandingkan artefak yang berasal dari negeri Arab atau setidaknya Persia.
Sekilas, pernyataan Claudie Guillot di muka, tidak selaras dengan kenyataan bahwa, artefak dari negeri Arab dan Persia kini justru lebih populer. Pendatang yang memiliki peninggalan sejarah yang lebih banyak, mestinya memiliki dampak yang lebih konkret dan membekas terhadap wilayah yang mereka kunjungi. Kenyataan bahwa pedagang muslim (Arab) memberikan dampak lebih nyata dan masih terlihat sampai kini, menarik satu kesimpulan. Spirit keagamaan yang dibawa oleh pedagang muslim saat itu cukup memengaruhi wilayah di Barus. Pernyataan ini berangkat dari kenyataan bahwa ajaran Islam saat itu masih tergolong baru jika dibandingkan dengan pendatang lain yang turut menetap.
Kyai Sirajuddin Abbas dalam bukunya, Sejarah Keagungan Mazhab Syafi’i mencatat, bahwa Islam bahkan sudah masuk ke Nusantara sejak tahun 17 H pada masa Khalifah Umar. Pernyataan lain dalam buku tersebut, pada tahun 41 Hijriah saat kekhalifahan jatuh ke tangan Muawiyah, ia mengirim penyebar ajaran Islam, sekaligus mengikutsertakan mereka dalam rute dagang yang terjalin di barat dan timur.
Melalui catatan tersebut, mestinya sudah tidak mengejutkan kalau para peneliti menemukan banyak komplek pemakaman muslim di Barus. Salah satunya, Syekh Rukunuddin (salah satu tokoh yang dimakamkan di komplek pemakaman Mahligai), yang konon wafat pada tahun 13 Safar 48 H, tepatnya saat berumur 102 tahun. Sejauh pembacaanku, informasi lebih lanjut mengenai sang Syekh bahkan belum diketahui sampai sekarang.
Minimnya informasi mengenai kota kecil ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat luas, bahkan seorang Clauide Guillot sebagai Direktur penelitian dari buku yang disuntingnya di muka, menyatakan bahwa sejarah mengenai tempat yang bahkan sudah kondang sejak lama itu benar-benar gelap. Faktor lain yang memengaruhi informasi yang mestinya sudah kita konsumsi kini ialah, tidak adanya pemugaran informasi soal sejarah-masuknya islam ke-Barus. Lebih-lebih pada buku sejarah yang dipakai oleh siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Padahal, makam Syekh Rukunuddin bahkan sudah ditemukan sejak 1963 oleh para peneliti. Walau sebenarnya, 2017 lalu, presiden RI, Joko Widodo sudah meresmikan Pelabuhan Barus sebagai Titik Nol Islam di Nusantara. Hanya saja, aku rasa, pengenalan Barus ke publik berhenti sampai di situ saja.
Kini, sebagian temuan sejarah di Barus tak lebih dari sekedar tempat wisata yang mengundang pelancong. Ironinya lagi, banyak dari infromasi yang disampaikan beberapa juru kunci dari beberapa tempat dapat diakses oleh publik di internet. Padahal, dengan memanfaatkan juru kunci sebagai langkah pertama untuk mendemostrasikan Barus ke khalayak ramai ialah ide yang cukup bagus. Sudah sepantasnya, sebagai juru kunci, mesti melakukan pembacaan yang lebih jauh dengan data-data penelitian yang sudah ada.Supaya pengunjung tak hanya mendapat dongeng-dongeng ambigu masa lalu. Selain para juru kunci dapat menyajikan informasi dan kisah yang lebih variatif, pengunjung juga dapat merenunginya dan menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga.
https://alif.id/read/hah/kota-barus-fragmen-yang-hilang-dari-sejarah-kita-b247597p/