Kridhagrahita dan Deradikalisasi

Lepas nalar jagad jembar

Nalar cendhak jagad rupak

–Kridhagrahita

 Dapatkah seseorang beragama tanpa agama, atau lebih tepatnya, hidup seperti laiknya tuntutan dalam agama meskipun tak pernah memakai ajaran yang dianggap sebagai ajaran agama? Dan mestikah orang yang beragama hidup sebagaimana tuntutan dalam agama?

Radikalisme dan terorisme ternyata adalah fenomena yang berkaitan dengan dua pertanyaan itu. R.Ng. Soekinohartono (pendiri Sumarah), Ki Kusumawicitra (pendiri Harda Pusara), dan R. Soenarto Mertowardoyo (pendiri Pangestu), adalah beberapa orang yang dikenal sebagai para penghayat, namun tak ada satu pun data, baik mereka maupun para muridnya, menjadi orang-orang yang suka memfitnah, merendahkan, intoleran, mudah mengkafirkan atau bahkan membunuh orang yang tak sepaham dan sekeyakinan dengan mereka.

Dalam khazanah kebudayaan Jawa terdapat beberapa kepustakaan, baik secara terang-terangan maupun samar, yang merupakan kontra narasi radikalisme keagamaan dan yang menjurus pada apa yang kini dikenal sebagai praktik moderasi hidup yang otomatis pula adalah praktik moderasi beragama. Pada masa pra dan pasca kemerdekaan, kesusastraan Jawa telah melahirkan beberapa pemikir sekaligus praktisi kebudayaan yang berkualitas internasional.

Di samping Ki Ageng Suryamentaram dan R. Soenarto Mertowardoyo, dimana di dunia akademik keduanya dianggap sebagai perintis psikologi Nusantara (indigenous psychology) yang mampu sejajar dengan pemikir-pemikir psikologi Barat, R. Soedjanaredja adalah salah satu pemikir yang sedemikian detailnya dalam mengupas dan memetakan kejiwaan manusia.

Baca juga:  Ekstrimisitas Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara  

Tentang Soejanaredja, orang hanya mengenal bahwa ia adalah seorang penganut kawruh Ki Kusumawicitra yang konon pernah berkontak dengan R. Soekemi, ayahanda Bung Karno, dan kemudian membabarkan kawruh Harda Pusara di Purworejo. Di lihat dari segi produktifitas dalam berkarya, Soejanaredja cukup banyak melahirkan karya yang begitu akrab di kalangan pengkaji kebudayaan dan spiritualitas Jawa. Serat Kacawirangi, Serat Jatimurti, Serat Wedhatama Winardi, Serat Madurasa, dan Serat Kridhagrahita, adalah beberapa karyanya yang dalam tinjauan filsafat dan psikologi cukup memiliki bobot ilmiah.

Kridhagrahita pada dasarnya adalah pembabaran tentang bagaimana hidup dalam keserasian, baik keserasian dengan diri sendiri, orang lainnya, alam maupun Tuhan. Sebagaimana pandangan umum kebudayaan Jawa, yang bahkan pula agama, tentang idealitas kehidupan yang mengerucut pada keserasian. Bukankah terciptanya berbagai norma, aturan, perundang-undangan, baik dengan nuansa keagamaan maupun sekular, adalah dalam rangka mencapai keserasian itu? Dan bukankah apa yang dikategorikan sebagai mala dan juga petaka ataupun segala sesuatu yang dianggap negatif merupakan buah dari tiadanya keserasian?

Kridha yang berarti olah dan grahita yang berarti akal-budi adalah sebuah metode untuk lebih mengerti kehidupan dengan segala warna-warninya. Karena itulah piranti yang mesti digunakan adalah akal-budi yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari nalar dimana aktifitasnya lazim disebut sebagai kontemplasi.

Baca juga:  Ronggawarsita dan Secarik Catatan Tentang Susu yang Menyembul Keluar

Dalam pandangan Soejanaredja, alam dan zaman itu tak pernah tunggal (alam lan jaman rupa-rupa), maka pedoman dan pranatanya juga berbeda-beda (angger lan pranatan beda-beda). Kesadaran akan adanya keragaman dalam kehidupan ini, dalam terang Soejanaredja, tak sekedar menyangkut perbedaan di luar diri manusia belaka. Dalam masing-masing diri manusia ternyata juga tak pernah tunggal, baik tubuh maupun jiwanya. Pengandaiannya kemudian, seandainya manusia dapat mengolah keberagaman yang ada pada dirinya, maka dengan sendirinya ia akan dapat menyikapi keberagaman di dunia ini.

Untuk dapat mencapai ideal keserasian yang membuahkan keselamatan tersebut, menurut Soedjanaredja, perlu dipahami tentang adanya dua hukum yang tak mungkin terbantahkan: hukum alam dan hukum Allah (khukumullah). Hukum alam adalah seumpamanya api yang lazimnya panas dan es yang lazimnya dingin. Sementara khukumullah adalah seperti halnya tubuh yang memiliki kebutuhan, angger dan pranatan yang tak sama dengan jiwa.

Mala dan petaka, dengan demikian, adalah hal yang disebabkan oleh keengganan atau ketakmampuan untuk selaras dengan hukum-hukum tersebut. Atau dengan kata lain, fenomena radikalisme dan terorisme, adalah sebuah kesilapan dalam memandang dan memahami kehidupan dimana alam dan zaman itu dianggap satu belaka, yang karenanya pedoman dan pranatanya mestilah sama. Untuk tak menyalahi hukum-hukum tersebut, atau secara khusus untuk tak beragama secara tunagrahita yang melahirkan fenomena radikalisme dan terorisme, maka Kridhagrahita memberikan sesanti: nalar lepas jagat meluas, nalar sempit jagat menghimpit.

Baca juga:  Tentang Pepatah Kebo Nyusu Gudel dan Kasepuhan dalam Jawa

https://alif.id/read/hs/kridhagrahita-dan-deradikalisasi-b246922p/