Kripto dan “Dunia Baru” Peradaban Manusia

Laduni.ID, Jakarta – Ngomong-ngomong tentang Kripto (Crypto Currency), PWNU Jawa Timur sudah jelas menyatakan haram untuk alat transaksi. MUI Pusat menerbitkan fatwa bahwa kripto sebagai mata uang adalah haram, juga tidak sah sebagai aset yang diperjualbelikan. Namun MUI masih memberikan “exit fatwa”, yaitu bila Kripto memiliki underlying aset maka boleh dan sah diperjualbelikan.

Kawan,
Kripto ini hasil teknologi yang berbasis pada block-chain, sebuah istilah yang memerlukan pemahaman dan praktik yang mendalam. Sementara block-chain adalah basis teknologi desentralisasi yang menjadi trend pengembangan teknologi saat ini dan masa depan. Coba tengok dan simak video atau artikel perkembangan teknologi ke depan yang banyak berbasis pada virtual-reality, sebuah “dunia baru” yang akan dibangun oleh banyak pengembang besar yang saling terhubung-dan-saling-memahami-serta-menyesuaikan (interprobility), sehingga bangunan “dunia baru” itu jelas menjadi sebuah dunia yang tanpa batas, karena berasal dari manifestasi angan dan kreasi jutaan orang yang akan semakin dimudahkan dalam turut membangun “dunia baru” tersebut.

Baca juga: Ijtima Ulama VII MUI Sepakati 12 Poin Bahasan Aktual

Katakanlah Facebook yang sudah resmi merilis Metaverse, yang ternyata sudah banyak pengembang lainnya yang membangun teknologi ini sebelumnya, seperti NVidia, Pixel, Robobox, masih banyak lagi yang berasal dari pengembang game dan entertainment, eh tidak mau ketinggalan raksasa Microsoft juga sudah menetapkan anggaran besar untuk turut membangun “dunia baru” tersebut. Pengembang teknologi besar lainnya sudah siap turut serta ambil bagian seperti Apple, Tencent, Huawei, Alibaba, Bytedance, Samsung, SK Telecom, raksasa-raksasa teknologi yang kebanyakan mereka sudah punya basis bidang garapan utama dalam teknologi, seperti Samsung, Apple, dan Tencent yang merupakan raksasa di bidang smartphone.

Para pengembang besar ini sudah sepakat menjalankan metode desentralisasi dalam pembangunan “dunia baru” tak terbatas ini, karena dengan syarat inilah menyebabkan dunia itu dapat dibangun oleh siapapun serta memetik manfaat apapun seluas-luasnya. Kita semua bisa belanja dengan mudah di situ, memilih barang seolah kita hadir melihat dari dekat barang yang akan kita beli, bahkan merasakan sensasi empuk-keras barangnya. Bisa beragam kebutuhan, termasuk rapat virtual yang seolah dalam satu ruangan bertemu secara fisik, berolahraga bersama, bermain catur dari belahan dunia yang berbeda dengan sensasi seperti berhadap-hadapan dengan pemain lawan kita. Sebuah “dunia baru” itu dipastikan akan membawa peradaban baru.

Mereka para raksasa teknologi tersebut berebut masuk dalam pengembangan “dunia baru” itu, karena itu menjadi cara baru memperoleh keuntungan besar, laksana pelaut-pelaut awal Eropa yang berebut tanah baru dan menjadikan kaya para pelaut dengan menjadikan wilayah-wilayah baru itu sebagai wilayah di bawah kepemilikannya. Para pemilik “dunia baru” itu dapat menyewakan lahan dan previllege penggunaan lahan secara berbayar, sebuah potensi revenue baru bagi kapitalis besar itu. Dan… yang terpenting adalah para pemilik “dunia baru” itu tentu memiliki kewenangan penuh menentukan peraturan dan kebijakan berada di dalamnya, yang mana tentunya ini akan sangat berimbas pada peradaban manusia yang sudah berhimpit antara dunia nyata (real) dan dunia virtual nyata (virtual reality).

Kawan,
Keyword peradaban baru ini menjadi sangat penting, karena di situ terdapat ekosistem peri kehidupan manusia yang mengandung potensi kebaikan dan risiko keburukan. Bayangkan bila semua user Facebook, Whatsapp, Instagram yang dimiliki oleh Facebook aka brand baru Metaverse, dikumpulkan dalam satu sisi “dunia baru”, lantas member Google, Youtube, dan jejaringnya dikumpulkan di satu sisi lainnya, member pengguna Apple yang memiliki kelas tersendiri berada di sisi dunia lainnya, member Tiktok yang dinamis dan progresis serta tak kalah menariknya juga bergabung di sisi lainnya, jutaan pengguna Samsung yang memiliki “walled garden” aplikasi sendiri bergabung di sisi lainnya, para gamer online lain saling bertempur di lintas dunia game di belahan “dunia baru” itu, sementara di sisi lain kita melihat gerombolan orang sedang bersepeda pagi bersama yang padahal mereka sedang menggenjot sepedanya di rumah masing-masing. Begitu complex dan rumit keterhubungan “dunia baru” itu, mereka bersepakat dalam konsep desentralisasi dan pengakuan sosial terhadap suatu aset secara digital.

Dan… sayangnya mereka dalam keterhubungan rumit “dunia baru” itu sudah bersepakat menggunakan kripto sebagai alat bayarnya. Jadi, ketika seorang kyai muda saya tanyakan, “bagaimana hukumnya berjudi?”
“Jelas haram”, jawabnya.
“Kalau belajar berjudi?”, lanjut tanya saya.
“Ya haram juga dengan mentamsil pada belajar berzina dengan mendekati zina”, jawabnya memberi alasan.
“Ya, kalau zina dan belajarnya dengan cara mendekati zina, pasti haram. Tapi bagaimana hukumnya polisi yang belajar metode berjudi baru untuk kepentingan belajar demi penyelidikan?”, lanjut tanya saya.
Pertanyaan saya ini belum terjawab dengan jelas.

Jadi menurut saya, senyampang ini barang baru, dan sudah ada hukumnya bahwa kripto haram untuk ditransaksikan kecuali kripto tersebut memiliki underlying (jaminan aset), maka alangkah bijaknya bila kita tetap memiliki Kripto untuk kepentingan pengetahuan dan belajar serta bukan bermotif ekonomi mencari keuntungan, sehingga kita mengetahui bagaimana rencana besar para pengembang besar itu membawa dan mengembangkan “dunia baru” tersebut, yang dengannya kita selaku santri dapat memberikan masukan-masukan langkah yang harus ditempuh dalam “dunia baru” tersebut.

Mengapa mengikuti dan memahami pengembangan “dunia baru” itu menjadi penting, ya karena itu amanah kita semua sebagai manusia yang menjadi khalifah di muka bumi (pergaulan dan tata nilai dunia), yang sudah selayaknya selaku santri turut mengajak kepada kebaikan di sekelilingnya.

“Dunia baru” dengan peradaban barunya jelas-jelas mengandung dua sisi mata pisau yaitu kebaikan dan keburukan, pasti dan pasti. Di tengah kampanye manfaatnya metaverse dengan kemudahan dan keasyikan “dunia baru” dalam beraktifitas, tentu sudah jelas akan muncul kemaksiatan dan kerusakan di dalamnya, sebagai contoh bagaimana nantinya kejahatan prostitusi secara virtual reality yang pasti akan turut berkiprah di situ, apalagi dikombinasikan dengan pengembangan teknologi robot sex yang sudah banyak dijual belakangan ini secara terbuka. Bagaimana sisi agama dapat berkiprah di situ?

Saya teringat ketika di awal kemunculan internet di Indonesia, kebetulan saya menjadi salah satu karyawan Telkom yang turut membidani munculnya produk Telkomnet Instan dengan nomor 080989999 yang fenomenal itu. Bagaimana dulu Telkom selaku pioner berusaha memperoleh dukungan dari agamawan khususnya dari kalangan ulama? Ya kita gerilya satu per satu sosialisasi ke pesantren besar, tahun 2000 an itu kita keliling ke pesantren besar di Jawa Timur, seperti di pesantren Guluk-Guluk Sumenep, di Syafiiyah Salafiyah Situbondo dengan Ra Fawaid yang memberikan sambutan, di aula besar pesantren Lirboyo, di pesantren Nurul Jadid yang Gus mudanya progresif dengan perintah langsung membangun jejaringnya di lingkup pesantren waktu itu, di pesantren Tebuireng, dan masih banyak lagi pesantren lainnya. Bagaimana awalnya internet? Banyak para ulama yang antipati pada waktu itu, karena beranggapan di internet banyak perbuatan dan menemukan kemaksiatan.

Di kalangan pesantren, kepada ulama sepuh, kami sampaikan guyonan, bahwa internet ini menjadi jalan pintas untuk berkomunikasi jarak jauh dengan cepat, tentu kami sodorkan layanan email pada waktu itu. Dibandingkan dengan cara-cara pendekatan spiritual telepati untuk bicara yang memerlukan syarat-syarat berat bagi khalayak umum, tentu pilihan internet sangat tepat, dibanding berpuasa dan beriyadlah berbulan-bulan untuk berkomunikasi jarak jauh tanpa alat. Namun, ya juga sih, sebagian pengajar sosialisasi internet itu, kadang suka iseng, khususnya ketika mengajar pegawai pemerintahan yang sudah senior (baca: tua), susah banget untuk bisa masuk pemahaman mereka, apalagi diajari email yang terkesan rumit. Maka, pengajar yang iseng itu kadang membisikkan kepada yang susah banget, antipati, dan males menerima hal baru itu dengan bisikan, “di internet ini, bapak bisa mencari foto artis cantik…”, mak gregah timbul motivasi belajar yang dengan cepat diarahkan kembali belajar menggunakan email.

Dan tatkala internet sudah jadi bagian kehidupan masyarakat, maka timbulah kejahatan hoax yang sangat mengacaukan dan berpotensi pada kehancuran tata kehidupan suatu bangsa, dengan merujuk ke Jazirah Arab dan Arab Spring nya yang banyak digerakkan oleh hoax di internet. Kita pun keliling lagi menggugah para ulama untuk memberikan dhawuh kepada santri untuk mengibarkan kebaikan di internet, kita keliling kembali ke pesantren yang dimulai di acara Munas NU di pesantren Kalibeber Wonosobo 2014, lanjut ke pesantren Raudlatul Thalibin Leteh Rembang, lanjut ke pesantren API Magelang, pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo dengan Ra Azaim nya yang berwibawa, ke pesantren Nurul Jadid yang sudah berkembang pesat, ke pesantren Tuan Guru Turmudzi di NTB, pesantren Kempek Cirebon, pesantren Miftahussunnah Surabaya, dengan agenda sama yaitu kita sampaikan bahaya hoax yang menjadi metode pemecah belah bangsa. Tentunya usaha ini juga dilakukan oleh banyak komunitas dan tokoh penggerak lainnya untuk sebuah tujuan yang kurang lebih sama.

Berikutnya dengan semaraknya dakwah di media video, seperti Youtube, maka pun gelora pengembangan studio mini di banyak pesantren untuk tampil mewarnai kancah video dengan content dakwah tentu menjadi tanggung jawab bersama. Dan sepertinya alhamdulillah kita sampai dengan saat ini masih merasakan kenyamanan dalam berkehidupan berbangsa secara aman dan damai.

Begitulah, ketika NU dan tentunya ormas keislaman lainnya bergerak mewarnai peradaban dunia digital terkini sebagai buah internet masa lalu, maka masih banyak bertahan dan terus berkembang para santri dan tokoh penggerak menggerakkan pengajian online para kyai tenarnya untuk mengisi ruang content video, lantas juga mengembangkan portal penyedia artikel keagamaan serta layanan keagamaan lainnya, dan masih banyak peran lainnya di ceruk-ceruk perkembangan teknologi ini.

Lantas ketika NU sudah mengkampanyekan peran global Nahdlatul Ulama yang mana tentunya peran di peradaban global termasuk di dalamnya adalah kepentingan politik, ekonomi, dan sosial, kini tiba-tiba beberapa saat lagi muncul peradaban dunia baru berupa virtual reality, sebagai buah disrupsi teknologi yang terus dan terus berkembang. Maka, mau tidak mau, santri dan para penggerak ajaran para ulama harus masuk dalam semesta “dunia baru” tersebut, tentu dengan pertimbangan risiko yang terukur untuk sebuah tujuan yang sama, yaitu kurang lebih turut menyebarkan kebaikan dan mencegah adanya kemungkaran sebagaimana dhawuh para ulama yang selalu kita ugemi dan takdzimi.

Semoga kita semua diberikan kekuatan dan keselamatan oleh Allah SWT.

Semoga bermanfaat.

_________________________
Hari Usmayadi (Cak Usma)
Penulis adalah Ketua LTN PBNU, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Founder Laduni.ID

https://www.laduni.id/post/read/73564/kripto-dan-dunia-baru-peradaban-manusia.html