Kritik Internal pada Program Moderasi Beragama

Belakangan ini saya melihat program moderasi beragama ini tampak berhenti di tengah jalan. Program moderasi beragama ini sudah mulai masuk fase stuck. Tidak ada hal lain lagi yang dibicarakan selain masalah intoleransi.

Memang, masalah intoleransi itu penting untuk terus dibicarakan agar persoalan itu bisa ditekan. Sebab, masalah intoleransi ini akan terus hidup selagi masih ada paham ekstrimisme yang tumbuh subur di Indonesia. Namun, apakah hanya itu saja? Padahal, masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia sangat kompleks.

Dalam tulisan pendek ini saya mau tuangkan sedikit keresahan, bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia sangat kompleks. Karena itu perlu mendapat perhatian dari program moderasi beragama ini.

Saya bukan pribadi yang sudah tuntas memahami moderasi beragama, hanya karena saya pernah ikut kegiatan ini sekitar tahun 2022 saja. Namun saya bingung, mengapa kok moderasi beragama sekarang ini tampak berjalan di tempat?

Setelah kunjungan Sri Paus Fransiskus beberapa minggu lalu ke Indonesia, ada dua masalah krusial yang dititipkan kepada kita yaitu; (1) masalah dehumanisasi; dan (2) masalah perubahan iklim. Itu dua masalah yang tengah dihadapi masyarakat global saat ini. Tentu, masalah yang dilontarkan Sri Paus itu merupakan reinterpretasi dari keresahan publik dunia saat ini.

Pada masalah pertama yakni dehumanisasi, ini sudah tentu banyak disoroti program moderasi beragama. Namun, pada masalah kedua yakni perubahan iklim ini tampaknya masih terlupakan atau sengaja dilupakan.

Bagaimana program moderasi beragama menyorotinya? Apakah layak program moderasi beragama ini menyorotinya? Mengapa harus menyorotinya?

Ditengah proses pembangunan yang kian masif di Indonesia seperti industrialisasi, gentrifikasi, dan deforestasi, ini tampaknya telah memberi dampak yang sangat parah bagi kelangsungan hidup bersama. Perampasan ruang hidup dan lain sebagainya adalah persoalan ekologis yang tengah kita hadapi sekarang ini.

Yang paling rentan mengalami dampak dari ketidakadilan pembangunan itu ialah masyarakat pesisir di Indonesia. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, dan masyarakat adat yang paling merasa dampak paling parah.

Sudah banyak riset dan laporan terkait persoalan tersebut. Pada 04 Februari 2024 lalu misalnya, dalam Haul Gus Dur ke-14 di Bogor telah menyoroti hal itu dengan mengangkat tema, “Menjaga Bumi, Memupuk Toleransi, dan Meneladani Etika Demokrasi”. Tema ini sekilas menampilkan keresahan publik terkait masalah iklim yang tengah dihadapi belakangan ini.

Saya pikir, program moderasi beragama harus didengungkan juga ke arah sana. Terutama menyoroti beberapa kasus dimana proses pembangunan ekstraktif rupanya tidak berlandaskan spirit keadilan dan sengaja menyingkirkan kearifan lokal yang telah menjadi roh masyarakat pribumi.

Nilai-nilai kearifan lokal yang telah menjadi roh itu misalnya masyarakat menganggap tanah ulayatnya sebagai ibu bagi mereka, yang telah memberi mereka ruang hidup penuh makna. Nilai-nilai itu disingkirkan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan prinsip “trickle down effect”.

Persoalan yang muncul ialah masyarakat resah, gelisah, tidak bisa berbuat apa-apa, dan juga muncul perasaan solastalgia atas semua yang terjadi. Tentu program moderasi beragama yang salah satu indikatornya ialah meletakkan prinsip akomodasi budaya harus prihatin dan perlu menyoroti persoalan itu.

Akomodasi budaya sebagai pilar dari program moderasi beragama, harus melihat bahwa budaya Indonesia tengah dikebiri melalui pembangunan ekstraktif, lantas bagaimana program moderasi beragama “memaksa” masyarakat untuk mengakomodasi budaya itu lagi? Wong, budaya itu perlahan sudah mulai pudar kok (?).

Apakah akomodasi budaya yang didengungkan program moderasi beragama itu hanya menyoroti budaya-budaya yang fokus pada pengentasan masalah intoleransi saja? Lantas, bagaimana program moderasi beragama menyoroti budaya-budaya yang dapat diakomodasi untuk menjaga kelangsungan hidup bersama, mengatasi krisis iklim, dan sejenisnya ini? Yang sudah menjadi keresahan publik saat ini?

Tulisan ini sekedar memberi kritik internal pada program moderasi beragama yang sudah masuk fase stuck. Saya pikir, program moderasi beragama jangan terlalu terkungkung pada satu persoalan saja. Saya tidak anti program moderasi beragama, saya pikir bahwa program itu sangat bagus dan harus dilanjutkan terus menjadi gerakan ke depannya sebagaimana ditulis oleh Ali Usman dalam opininya di Kompas pada 21 Juni 2024 lalu. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/m-kashai-ramdhani-pelupessy/kritik-internal-pada-program-moderasi-beragama-b249910p/