Kumandang Azan di Negeri India

Film “Mulk” diproduksi dengan latar belakang isu yang santer di harian-harian nasional India beberapa tahun terakhir, khususnya perihal intoleransi kehidupan beragama. Di tengah hingar-bingar kontestasi pemilu, akan terasa intoleransi dan kecemberuuan sosial yang kian merebak. Kelompok ultrakonservatif di India akan bangkit menyuarakan isu-isu agama, yang didominasi masyarakat mayoritas Hindu, atas kelompok minoritas muslim.

Dengan memainkan isu-isu primordial itu, mereka menyedot perhatian dan suara publik. Isu agama akan mudah dijadikan bola panas yang menggelinding (lebih tepatnya: digelindingkan) sebagai narasi primordial untuk memecah-belah kaum beragama. Itulah yang seringkali dimainkan oleh para politisi dan penguasa, padahal ketika bola api itu sudah berkobar di mana-mana, akan sulit bagi siapapun  untuk memadamkannya.

Ada salah satu partai terkuat di India, Bharatiya Janata Party (BJP) yang dipimpin Narendra Modi yang didukung kalangan Hindu konservatif yang gemar menggelindingkan bola-bola panas tersebut. Ada pola-pola yang sama dimainkan oleh kaum fanatikus di Indonesia, yang juga sering memainkan isu-isu PKI, kafir, sesat dan seterusnya. Demikian pula dengan dominasi Kristen di negeri-negeri seperti Prancis, Brasil maupun Amerika Serikat.

Coba bayangkan, di suatu negeri yang memproklamirkan dirinya “teladan demokrasi”, tampak juga figur semacam Donald Trump yang mirip Narendra Modi (di India), sama-sama mengipasi kebangkitan konservatifisme agama, bagaikan kepala-kepala suku pedalaman yang masih gemar menyembah berhala.

Nasionalisme Hindu di India maupun Evangilisme di Amerika turut mengipasi emosi rakyat jelata dengan memainkan narasi-narasi yang cenderung mendiskreditkan kaum minoritas di negerinya, yang notabene adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Salah satu tokoh utama dalam film “Mulk” adalah seorang wanita bernama Aarti Mohammed, yang berjuang membela mertuanya yang dituduh teroris, hingga ia pun berkomentar, bahwa permainan narasi oleh ulah politisi akan merembet ke persoalan kesenjangan ekonomi yang bermula dari maraknya segregasi antar pemeluk agama. Jadi, apa yang diperjuangkan kaum politikus itu lebih pada upaya menghancurkan peradaban bangsa, ketimbang memberikan solusi dan jalan keluar dari kesulitan.

Baca juga:  Hubungan Baru NU dan Pemerintahan Jokowi

Ketika kabar konflik di India meledak di dunia maya, berikut menyebarnya foto, video dan beragam update status, dengan sendirinya turut memicu suasana yang mendidihkan emosi kaum mayoritas di Indonesia. Masyarakat kita – yang kebanyakan tak sadar dirinya kelas konservatif – ikut sibuk mengupdate status di kanal-kanal media daring. Dengan memainkan gambar-gambar yang direproduksi guna menyebarkan rasa kebencian dengan framing ketertindasan kelompok muslim, sekaligus menanamkan ketakutan posisi Islam yang semakin terancam.

Sehubungan dengan itu, ikut pula ditampilkan beragam konflik di Uighur, Rohingya hingga Palestina sebagai representasi diskriminasi yang dialami kaum muslimin sedunia. Hal tersebut mampu memberikan stimulus sambil memanas-manasi emosi yang sudah terlanjur mendidih, akibat berbagai peristiwa politik identitas dan populisme yang terjadi beberapa dekade terakhir.

Saya masih ingat ungkapan yang menarik dari penulis novel Pikiran Orang Indonesia, setelah acara bedah bukunya di pesantren La Tansa, Rangkasbitung, Banten: “Sekarang ini semua orang sibuk melakukan apa saja untuk menghasilkan uang, sehingga jarang orang yang mau bekerja untuk memajukan budaya dan peradaban Indonesia, karena pekerjaan itu dianggap tak menghasilkan pundi-pundi dolar.”

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa imaji yang paling berharga untuk memajukan peradaban, seakan telah dikesampingkan. Karena, setiap orang merasa dirinya hebat dan keren jika sanggup menonjolkan diri sambil menonjok pihak lain yang dianggap rivalnya. Sehingga, narasi agama cenderung disalahgunakan sepihak oleh orang yang ingin mengambil keuntungan jalan pintas.

Baca juga:  Pemetik Puisi (21): Salam Disingkat

Retorika kekerasan pada yang minoritas (liyan) akhirnya dianggap perbuatan suci dan mulia, apalagi jika dibumbui dengan tetek-bengek penyedap dalil-dalil agama. Apa yang terjadi di India, seperti tergambar dalam film “Mulk” sebenarnya memiliki substansi yang sama dengan kondisi keindonesiaan kita. Segala-macam informasi di media sosial terkait aksi ekstrimisme dari satu golongan, akhirnya menjadi dalil baru terhadap stigma umum pada kelompok tersebut. Persebaran stigma menjadi lebih cepat dan luas dengan bantuan platfrom tersebut, terlebih pertumbuhannya malah bisa direproduksi sesuai konteks dan dinamika di mana pesan tersebut diedarkan.

Ekstrimisme oleh kalangan muslim di Timur Tengah, justru melahirkan sikap resisten yang marak di seluruh India. Sebaliknya, penindasan kelompok muslim di Uighur juga membakar rasa curiga masyarakat muslim di Indonesia terhadap kelompok Tionghoa. Dua contoh ini hanya sebagian kecil saja yang menuntut kepekaan dan kepedulian masyarakat akan pentingnya nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang beradab.

Problematika stigma – menurut filosof India, Amartya Sen – adalah pangkal utama yang memicu maraknya diskriminasi di India. Karena itu, dikotomi agama dan identitas bangsa harus dipahami dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Kelompok masyarakat adat yang sekarang masih berjuang mendapatkan hak-haknya, harus segera diselesaikan oleh semua stake holder. Dari titik ini adalah langkah mulia untuk mewujudkan gagasan identitas sosial sebagai warga negara Indonesia, yang mulai menggeser dari imaji soal identitas pribadi, kemudian diruntut untuk berbagi identitas dengan pihak lain.

Baca juga:  Binatang Menjelma Karya Sastra

Aarti dalam film “Mulk” adalah seorang penganut Hindu, yang menikah dengan Aftab Mohammed yang menganut Islam. Aarti yang hadir dalam pengadilan sebagai pembela, berjuang keras menghadapi tuntutan jaksa yang – tanpa dasar – menuduh mertuanya adalah seorang teroris. Narasi yang dibangun oleh jaksa dalam persidangan adalah kelompok Islam telah mengkhianati “kebaikan” dari kalangan Hindu, yang telah menyambut dan membolehkan mereka tinggal di negeri India.

Dari asumsi tersebut, berbagai praduga tak bersalah, kemudian disematkan dengan memanfaatkan beragam isu untuk memframing pandangan buruk orang Hindu terhadap kelompok Islam. Salah satu contohnya adalah nama Bilal, yakni saudara dari bapak mertua Aarti, yang dikait-kaitkan dengan Bilal seorang sahabat Nabi Muhammad yang mahir mengumandangkan suara azan.

Apa yang dinyatakan jaksa penuntut, tak lain sebagai framing atas pemahaman baru mengenai umat Islam yang dianggap mempropagandakan ajarannya, sehingga bermuara pada rasa kebencian mayoritas pemeluk Hindu terhadap minoritas muslim di India. (*)

https://alif.id/read/chs/kumandang-azan-di-negeri-india-b242345p/