Beberapa waktu lalu, telinga kita dipenuhi bunyi-bunyian sumbang seputar “roti” lalu “pesawat”. Diduga, kedua kata itu mengandung makna “flexing”, “gratifikasi”, dan “dinasti.” Publik terus bersuara tentang kesenjangan sosial yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya. Salah satu kritik yang terekam adalah sebuah kertas bertuliskan: “Mba Er, rotimu yang 400rb itu, gaji guru honorer sebulan!!!”. Kesederhanaan dan rasa empati menjadi barang langka dalam tubuh petinggi negara.
Saat telinga dan mata masih terasa panas memandang pesawat dan roti, Selasa, (3/9/2024) Paus Fransiskus memberi rasa sejuk bagi siapapun yang menatap. Dalam misi perjalanan Apostolik di Asia-Pasifik, Pope tiba di Indonesia tidak dengan jet pribadi seharga pembangunan belasan gedung sekolah, tapi hanya dengan pesawat komersil.
Pesawat itu, seolah tidak lagi hanya bermakna alat transportasi tetapi juga alat diplomasi untuk menyampaikan pesan soal kesederhanaan juga persamaan manusia dihadapan godaan jabatan dan kekayaan.
Lalu, pemimpin umat Katolik dunia itu memilih untuk menginap di kedutaan Vatikan dari pada hotel mewah dengan fasilitas president suites. Tempo (3/9/2024) mengabarkan bahwa Paus Fransiskus juga menolak menggunakan mobil kepresidenan merek Mercedes-Benz, beliau menghendaki cukup hanya disediakan mobil Kijang Inova saja. Sikap yang telah lama dirindukan bumi pertiwi.
Kehadiran Pope ke tanah yang disebut-sebut sebagai Heaven of Earth seperti angin segar yang dirindukan banyak kepala, setelah beberapa waktu lalu, kondisi Indonesia seperti Hell of Earth. Bagi jutaan mata yang memandang, sikap yang ditunjukkan Pope seperti bentuk keberpihakannya pada masalah kemiskinan selain pada misi perdamaian. Sejak kehadiran beliau, kita kembali disadarkan pada yang sederhana, papa, dan termarjinalkan.
Paus Fransiskus dikenal sebagai tokoh yang memiliki perhatian besar bagi kaum miskin dan terpinggirkan. Ia pernah mengatakan bahwa pilihannya pada nama Fransiskus memuat alasan ingin meneladani Santo Fransiskus Assisi. Tokoh yang hidup dengan spiritualitas kemiskinan dan membawa makna kemiskinan ke dalam gereja.
Perhatian penuh kasih dengan spiritualitas kemiskinan adalah gagasan yang berusaha untuk dibumikan bagi seluruh umat. R. Nova Gora dalam Solo Pos (5/9/2024) bertajuk Spiritualitas Kemiskinan menjelaskan gagasan itu sebagai kasih yang berupa perhatian terhadap kaum miskin tanpa bermaksud mengeksploitasi. Dengan kasih, kaum miskin dapat dihargai sebagai yang sangat bernilai. Semangat kasih itulah yang membuat perhatian pada kaum miskin berbeda dengan ideologi lain yang mementingkan pamrih.
Mengingat soal keberpihakan pada kaum miskin dan terpinggirkan, kita teringat pada beberapa judul buku: City Of Joy (1985) gubahan Dominique Lapierre dan Tempat Terbaik di Dunia (2018) gubahan Roanne Van Voorst. Dua buku yang merekam kondisi kaum miskin dalam naungan negara. City Of Joy beralamatkan Calcutta, India, sementara Tempat Terbaik di Dunia berkisah soal Jakarta, Indonesia.
City Of Joy (1985) berkisah kemiskinan dalam desa maupun kota. Hasari Pal, petani desa yang bermimpi untuk menyambung harapan dengan bermigrasi ke Calcutta harus menelan realitas pahit. Yang ditemuinya adalah kemiskinan di perkotaan dengan daerah kumuh yang penuh, sesak, kurang fasilitas sanitasi, dan kelangkaan kesempatan.
Namun, buku itu tidak lantas hanya memaparkan kengerian dari kondisi kekurangan yang dialami masyarakat, tetapi juga pemahaman arti kasih sayang yang lebih besar bagi yang terpinggirkan. City Of Joy membuka mata dunia untuk menengok kedalaman penderitaan manusia dan kekuatan transenden dari cinta, kebaikan, dan solidaritas. Kalimat yang menarik untuk diingat: “Bukan berapa banyak kita memberi, tapi berapa banyak cinta yang kita berikan.”
Memberi dan mencintai adalah dua kata berbeda yang kerap dimirip-miripkan. Kita bisa memberikan setumpuk beras dan bantuan uang tunai pada kamu miskin, tapi belum tentu pemberian itu mengandung cinta. Ribuan foto calon dan para pejabat menyalami kaum miskin memenuhi media sosial, namun apakah disertai cinta kasih? Perhatian penuh? Dan upaya mendengarkan mereka dengan sungguh-sungguh?
Memberi tanpa cinta kasih hanya beralamat pada eksploitasi terselubung untuk membranding diri sendiri, entah demi kepentingan politik atau pribadi. Sementara, keikutsertaan cinta kasih pada kaum yang terpinggirkan tidak hanya berhenti pada urusan materil tapi dorongan mental juga semangat untuk hidup bersama-sama.
Tempat Terbaik di Dunia (2018) juga hampir berkisah serupa. Buku ini berisikan pengalaman Antropolog Belanda bernama Roanne van Voorst yang menyelami kehidupan masyarakat bantaran kali di salah satu perkampungan kumuh Jakarta. Buku yang berkisah banyak hal, dari soal ketidakpedulian pemerintah pada rakyat miskin, tatanan sosial di bantaran kali, hingga akses kesehatan yang sulit dijangkau masyarakat. Masalah terakhir, seolah membenarkan sebuah kalimat: Orang miskin dilarang sakit!
Yang dipahami setelah khatam buku adalah, kadangkala kemiskinan tidak serta-merta menjadi kesalahan dari si miskin tetapi disetujui oleh negara secara tidak langsung. Melalui penyediaan pendidikan yang tidak berkualitas, lowongan pekerjaan yang sulit, tingginya biaya hidup, pemberlakukan hukum yang timpang dan sederet instrumen lain, makin mengekalkan kemiskinan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh pemerintah. Kita boleh menyebutnya sebagai kemiskinan yang sistemik.
Barangkali, kita boleh yakin bahwa gagasan cinta kasih bagi kaum terpinggirkan dalam bentuk membersamai dan saling memberi semangat harus tetap diperjuangkan, tapi sebelum melangkah kesana, membedah dan menyadarkan akar kemiskinan yang disengaja dan dipelihara secara terus-menerus juga perlu diupayakan sebagai bentuk cinta kasih dalam bentuk yang lain.
Baca Juga
https://alif.id/read/ylp/kunjungan-paus-fransiskus-dan-nasib-kaum-yang-terpinggirkan-b249808p/