Lagu Kebangsaan, Nasionalisme, dan Sunnah Nabi

Beberapa tahun belakangan, kiranya slogan hubb al-wathan min al-iman mulai menjadi trending topic di kalangan umat Islam Indonesia. Bagaimana tidak, ungkapan yang dicetuskan oleh KH.  Hasyim Asy’ari (pendiri NU) tersebut sempat dipertanyakan keabsahannya karena membawa bawa kata “iman” di dalamnya. Seperti halnya yang lain, waktu itu sayapun belum tahu mana dalil  yang menjadi dasar ungkapan tersebut.

Saya menemukan jawabannya dari Kiai saya, Kiai Muhammad Musthofa Aqiel. Waktu itu, saat  acara haul beliau menjelaskannya. Bapak Muh (begitulah kami memanggil beliau) menjelaskan  dalil ungkapan “Hubb al-Wathan min al-Iman” itu termasuk sunnah Nabi.

Beliau merujuk pada dua hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad  yang menceritakan saat Nabi akan meninggalkan kota Makkah dan saat sampai di Madinah.

Dari Abdillah bin ‘Addi bin al-Hamra’ bahwa ia mendengar Nabi bersabda sedang Nabi berdiri  di Kharwah, Pasar Makkah: “Demi Allah, engkau (Makkah) adalah sebaik-baik tanah milik Allah  dan yang paling dicintai oleh Allah, Kalau saja aku tidak dikeluarkan (diusir) darimu aku tidak  akan pergi.”

Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, tepatnya hadist no 1889 Kitab Fadhail al Madinah (keutamaan Madinah). Hadist ini cukup panjang, juga saya sudah menyebutkannya pada  tulisan sebelumnya, yang inti kutipannya Nabi berdoa, kalimatnya seperti ini:

Baca juga:  Gerhana dalam Peradaban, Sains, dan Agama

Ya Allah berilah rasa cinta kepada kami untuk Madinah sama seperti rasa cinta kami terhadap  Makkah bahkan lebih, berilah kesehatan untuk penduduknya, barokah pada setiap Sha’ dan  mudnya (ukuran/takaran makanan) dan pindahlah penyakitnya ke daerah Juhfah. 

Dengan suara yang lantang serta tegas beliau, Kiai Musthofa menjelaskan lewat makna yang  terkandung dari kedua hadis tersebut. Kira-kira intinya seperti ini, Nabi Muhammad ketika akan  meninggalkan Mekah mengatakan rasa cintanya terhadap kota Mekah, dengan kata-kata (kalau  saja aku tidak diusir aku tidak akan keluar/pergi), ini menunjukan rasa cinta Nabi terhadap tanah  airnya, tanah kelahiran nabi. Mekah Mukarromah.

Dan ketika Nabi sampai di kota Madinah, Nabi berdoa supaya diberi rasa cinta terhadap kota  Madinah sama seperti halnya rasa cintanya terhadap Mekah, bahkan Nabi meminta untuk  diberikan rasa cintanya kepada Madinah melebihi cintanya terhadap Makkah (ini juga menunjukan  bahwa Nabi mencoba mencintai tanah airnya yang baru).

Kedua hadis ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad mempunyai nasionalisme yang tinggi  terhadap tanah yang menjadi tempat kelahiran dan juga kota di mana beliau tumbuh.. Bahkan  ketika di Mekah, tatkala beliau disakiti, Nabi tetap diam. Tapi setelah Nabi pindah ke Madinah,  Nabi melawan jika ada yang menyerang. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad tidak ingin  melakukan pemberontakan terhadap pemerintah (pada saat di Mekah), serta bukti bahwa Nabi juga  mempertahankan tanah air (pada saat sudah di Madinah), tegas Kiai Musthofa.

Baca juga:  Sistem Politik Islam dan Demokrasi

Penjelasan yang ringkas ini menurut saya, dan cukup pula menjadi dasar argumen ungkapan “hubb  al-wathan min al-iman”, atau cinta tanah air sebagian dari Iman. Dan hal ini menjadi dalil bahwa  rasa nasionalisme terhadap tanah air itu termasuk sunah Nabi. Bagaimana tidak, toh Nabi juga melakukannya.

Lalu apa hubungannya dengan Musik? Ini akan menjadi bagian saya. Kembali membahas musik,  maka saya juga akan kembali pada kata-kata Al-Ghazali bahwa, “Allah memiliki sirr (rahasia)  terhadap kolaborasi serta tatanan suara terhadap ruh/jiwa.”

Jika lagu yang sebegitu banyaknya dihukumi sesuai dengan isi serta efek yang timbul ketika  mendengarkannya. Lantas bagaimana menghukumi lagu kebangsaan sebagai salah satu yang dapat  menumbuhkan rasa dan sifat nasionalisme?.

Bagi setiap negara, lagu kebangsaan adalah sebuah hal yang maklum dan bahkan harus ada. Lagu kebangsaan menunjukan kekompakkan warga serta kesatuan sebuah bangsa. Termasuk Indonesia,  dengan lagu nasionalnya yakni “Indonesia Raya”. Lagu ini diciptakan oleh Wage Rudolf  Supratman (1903-1938 M), seorang tokoh dan pahlawan Nasional, yang kemudian tanggal  lahirnya (09 Maret) ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional.

Termasuk pula, lagu-lagu lain yang mengandung nilai nilai nasionalisme seperti lagu “Bagimu  Negeri” milik Kusbini (1910-1991 M) atau lagu “Tanah Airku” milik Saridjah Niung (1908-1993  M) atau lebih dikenal dengan Ibu Sud. Lagu-lagu tersebut sangat penting dilestarikan serta  ditumbuhkan kandungan maknanya, terutama bagi pemudanya.

Baca juga:  Kita dan Tragedi 65 (6): Gestapu dan Arwah Para Jenderal

Menurut saya jika menumbuhkan rasa nasionalisme (cinta tanah air) dianggap mengikuti sunah  Nabi Muhammad, maka mendengarkan lagu yang dapat menjadi perantara tumbuhnya rasa  nasionalisme itu pun juga dihukumi sama. Dalam Ushul Fiqh, kaidah Lil wasail hukmu-l maqasid, perantara dihukumi sama dengan yang dituju menjadi relevan digunakan. Dalam artian  jika mengaitkan pada pembahasan, maka mendendangkan atau mendengar lagu yang isinya  mengandung spirit nasionalisme menjadi sunah dikarenakan mengikuti tujuan utamanya yaitu  cinta tanah air.

https://alif.id/read/aju/lagu-kebangsaan-nasionalisme-dan-sunnah-nabi-b242803p/