Oleh Ahmad Rusdiana, Guru Besar Bidang Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sukaria merayakan hari kemenangan Idul fitri 1443 masih terasa sampai hari ini ditandai dengan kemacetan kendaraan arus balik diberbagai penjuru tanah air. Tempat rekreari dipadati para pengujung hampir kehabisan tiket. Hal itu wajar dan maklum selama dua tahun lebaran tidak bisa mudik. Di balik itu, ada hal yang tidak kalah pentingnya terutama bagi insan pendidik yang hampir terlupakan, bahwa Hari, Senin (2/5/2022), merupakan ”Hari Pendidikan Nasional”. Tokoh pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, memiliki sejumlah pandangan dalam memaknai pendidikan. Pendiri Taman Siswa ini lahir dari kalangan ningrat di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 silam dengan nama R. M. Suwardi Suryaningrat. Ia mulai mencurahkan pikirannya pada pendidikan pasca diasingkan ke Negeri Belanda karena kritiknya yang berjudul Als Ik een Nederlander was (seandainya aku orang Belanda).
Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan, bahwa; “Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.” (Buku peringatan Taman Siswa tahun ke-30, 1956). Maksud dari pernyataan Ki Hajar Dewantara tersebut dengan jelas menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari proses pendidikan, yakni agar anak-anak mampu berpikir sendiri. Dengan demikian, para siswa menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak.
Menurutnya, tolok ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika anak mampu mengenali tantangan yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya. Disebutkan dalam buku Pengantar Pendidikan Era Globalisasi yang ditulis oleh Hamid Darmadi (2019), Ki Hajar Dewantara mengedepankan tiga ajaran (fatwa) tentang pendidikan, yakni tetep, antep dan mantep; ngandel, kandel, kendel dan bandel; neng, ning, nung, dan nang. Selanjutnya Haryati dalam buku Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (2019), menyatakan bahwa, “pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dimaksudkan agar peserta didik kelak sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Konsep tersebut diejawantahkan dalam sejumlah pandangannya mengenai dasar-dasar pendidikan. Di antaranya kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, kemanusiaan, kekeluargaan, budi pekerti, dan keseimbangan”. Maksudnya adalah:
Pertama: Kemerdekaan
Ki Hajar Dewantara menempatkan aspek kemerdekaan sebagai landasan pokok dan menjadi syarat mutlak dalam melakukan pendidikan. Kemerdekaan dalam hal ini mencakup pemberian keleluasaan dan kesempatan penuh kepada peserta didik untuk berproses dalam mengembangkan potensinya masing-masing.
Kedua: Kodrat Alam
Dalam upaya mencapai cita-cita pendidikan, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa perlu menerapkan pendidikan yang berlandaskan pada kodrat alam. Konsep ini mengandung makna yang luas menyangkut potensi pribadi dan sifat dasar manusia. Konsep kodrat ini sering dikenal dengan sebutan trisakti jiwa, yakni cipta, rasa, dan karsa.
Ketiga: Kebudayaan
Pelopor pendidikan Tanah Air ini juga menekankan aspek kebudayaan sebagai dasar pendidikan. Menurutnya, kebudayaan bersifat terbuka sebagai upaya menuju kemajuan adab, meninggikan kebudayaan, dan meninggikan derajat manusia Indonesia.
Keempat: Kebangsaan
Pendidikan juga harus menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Hal ini dikhawatirkan apabila tidak berlandaskan pada hal tersebut, tidak menutup kemungkinan generasi Indonesia tidak akan mengenal bahkan keluar dari sifat bangsanya sendiri.
Kelima: Kemanusiaan
Ki Hajar Dewantara juga menitikberatkan kemanusiaan sebagai dasar pendidikan. Menurutnya, setiap manusia adalah makhluk edukatif yang bisa saling mendidik. Maksud dasar kemanusiaan ini adalah usaha yang bertujuan memberi bimbingan dan pembinaan dalam perkembangan setiap individu.
Keenam: Kekeluargaan
Sistem kekeluargaan dalam proses pendidikan dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat saling mencintai, tidak menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, terjalin kerjasama, dan memunculkan sikap toleransi.
Ketujuh: Budi Pekerti
Ciri khas dalam pengemangan sistem pendidikan Indonesia adalah budi pekerti. Aspek ini merupakan modal utama untuk mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat, yakni dengan membawa kebermanfaatan.
Kedelapan: Keseimbangan
Pemikiran tentang keseimbangan ini muncul buah dari kritik Ki Hajar Dewantara terhadap pelaksanaan pendidikan di negara-negara Barat yang lebih mengedepankan intelektual dan menjadikan manusia sebagai ‘mesin’. Menurutnya, sistem pendidikan harus berjalan seimbang, yakni maju dan manusiawi serta selaras dengan falsafah dan kepribadian bangsa. Wallahu A’lam Bishowab.
Penulis:
Ahmad Rusdiana, Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti PerguruanTinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengem-bangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri/Ketua Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten. Ciamis.
Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui: (1) http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. (2) https://www.google.com/search?q=buku+ a.rusdiana+ shopee& source (3) https://play.google.com/ store/books/author?id.