Madrasah (4): Tantangan Ideologis dan Kurikulum Moderasi

Sejak dikabarkan lembaga pendidikan tersusupi paham radikal dan bahkan sebagian Aparatur Negeri Sipilnya (ASN) dinyatakan berafiliasi dengan terorisme, ini menjadi tantangan ideologis Madrasah tersendiri. Bagaimana mungkin lembaga pendidikan yang diandaikan menjadi pusat pengajaran yang bakal mengentaskan manusia dari jurang kegelapan dan ekstremisme, tetapi malah jadi pangasong paham ekstrem yang menjadikan peradaban manusianya gelap tak berarti.

Di sini perlu disibak bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Toto Soharto, peneliti pendidikan Islam di Indonesia menyebut bahwa hal tersebut bisa terjadi karena akibat kontestasi politik arus global yang bergulat pada ideologi ekstrem dengan bersumber dari jaringan Islam transnasional. Sehingga, mau tidak mau, pendidikan di Indonesia, termasuk Madrasah ikut terlibat menanamkan ideologi tersebut secara sadar.

Kedua, karena adanya kurikulum tersembunyi. Ini sengaja dipasokkan oleh tenaga pengajar atau institusi pendidikan itu sendiri dari kelanjutan ideologi di atas. Praktik ini kemudian ditarik masuk ke dalam alam bawah sadar siswa dan dijadikan sebagai legetimasi untuk memusuhi negara atau orang/institusi yang berbeda.

Ketiga, produk ideologi ekstrem ini dipolitisasi sedemikian rupa dengan keadaan sekitar yang mana masalah-masalah keumatan dijadikan contoh bahwa ideologi ekstrem adalah kunci jawaban dari masalah-masalah tersebut. Maka itu, produk ideologi ini merasa penting untuk menarik diri dengan mengusung jargon “islamisasi madrasah Indonesia”.

Baca juga:  Pemetik Puisi (28): Kirdjomuljo

Kondisi demikian masih bersemayam dalam praktik di sekolah-sekolah swasta kebanyakan. Sehingga, yang terjadi di banyak sekolah, siswa-siswinya berubah, baik dalam praktik kehidupan sosial, ataupun dalam praktik keagamaan. Misalnya, anak didik biasanya bersikap ingklusif, menjadi kehidupannya sangat eksklusif. Siswa-siswa yang awalnya welcome saja terhadap tradisi yang telah mengakar di rumah masing-masing, menjadi pembenci pada tradisi tersebut. Bahkan anak yang dulunya suka menjadi peserta paskibraka, kini menjadi orang nomor satu yang sangat membenci peragaan pengibaran bendera Merah Putih, karena bagi dia teranggap haram.

Dinamika tersebut menjadi bukti bahwa pendidikan telah dijadikan sebagai pintu untuk menyebarkan ideologi ekstrem. Namun untuk mengentaskan ideologi demikian dibutuhkan peraturan baru, atau paling tidak kurikulum moderasi, dan guru yang terampil moderat. Sehingga, jika dulunya pendidikan jadi pintu masuk penyebaran paham radikal, kini ia menjadi pintu pembuka dalam pengaman sosial dan bahkan menjadi solusi dari kehidupan sosial umat manusia.

Guru-guru yang terampil-moderat dan memiliki pemahaman keagamaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia inilah yang bakal mongkounter atau memberi materi tandingan dalam dinamika belajar-mengajar di Madrasah.

Dengan kurikulum moderat menjadikan anak didik bisa bersikap moderat. Bukan hanya pada tataran praktis keagamaan, tetapi juga pada ranah sosial kemasyarakatan. Hingga, akhirnya, anak-anak didik kita nantinya menjadi insan-insan yang terbuka, inklusif, merdeka, cerdas-mencerdaskan, dan berakhlak mulia.

Baca juga:  Tiga Tujuan Makro Pendidikan Islam Menurut Kiai Tholhah Hasan

Pendeknya, kurikulum di madrasah penting memiliki guru, kurikulum, dan struktur organisasi yang sesuai dengan keindonesiaan dan bagi dunia murid. Dengan kata lain, di sana, harus ada modul yang memuat sumber ajar yang kaya metode dan kaya strategi akan membentuk kepribadian siswa yang baik dan bisa memenuhi kebutuhan siswa, dan juga bangsa.

Kurikulum dan guru ini nantinya yang bisa merumuskan atau mempertimbangkan tujuan pendidikan Islam atau madrasah ke depan. Kurikulum dan guru ini yang bisa menginternalisasi ajaran-ajaran moderat lewat ragam metode dan berbagai strategi cerdas.

Paling tidak, kurikulum dan guru menawarakn ide dan topik sebagai langkah awal bagaimana cara membangun karakter yang moderat, pengenalan kebangsaan, berlaku adil kepada sesama, menjadi budaya kreatif, inovatif, mandiri, membangun persaudaraan umat, melestarikan kebudayaan Nusantara, dan bagaimana bersikap santun kepada semua orang. Internalisasi ajaran atau norma-norma keagamaan dan keindonesiaan yang moderat di dalam kurikulum menjadi acuan untuk membentuk karakter peserta didik. Karena itu, madrasah wajib meningkatkan mutu kurikulum yang mampu beradabtasi dengan perubahan dan gempuran zaman.

Selanjutnya, tujuan peningkatan mutu kurikulum ini, untuk mengintegrasikan pelajaran agama dan sains. Seorang anak sangat perlu pengenalan ilmu agama dan sains. Agar dapat belajar agama dengan benar dan tidak menjadi radikal-ekstrem. Implementasi dari model ajaran integrasi Islam dan sains di atas, peserta didik dapat belajar agama seperti rukun iman dan rukun Islam, belajar matematika, dan belajar lingkungan melalui metode bermain, bernyanyi, dan diskusi.

Baca juga:  Negara yang Menjauh dari Ulama: Catatan Disahkannya UU Cipta Kerja

Dengan demikian, maka madrasah bisa menciptakan budaya yang berbudaya jujur (shidqu), budaya saling percaya (amanah), budaya komunikasi (tabligh), dan berbudaya kecerdasan (fathanah). Dengan sikap karasulan ini, sebagaimana yang dikatakan Bapak Umar, bisa menciptakan budaya mutu madrasah yang tertib dan baik, yang tumpuan dan poros utama dalam menggerakkan seluruh kegiatan akademik maupun non-akademik, di dalam maupun di luar madrasah.

Jika di atas dapat dilakukan, maka Madrasah akan menjadi semaian tempat belajar yang dapat mendewasakan anak didik berkarakter cerdas, berbudaya, berakhlak, dan bermartabat. Kuncinya, yakni pengelolaan madrasah secara moderat dan adil. Dengan cara ini, insyaallah anak didik memiliki keunggulan dalam semua hal, baik unggul dalam ilmu pengetahuan, ilmu dalam perikemanusiaan, dan religiositas kepada Tuhan seluruh alam. Amin.

https://alif.id/read/awi/madrasah-4-tantangan-ideologis-dan-kurikulum-moderasi-b243772p/