Mahendraparvata: Sinema, Kinestetika, dan Permasalahan Bangsa

Sinema atau film adalah salah satu bentuk penemuan teknologi yang mampu merekam aktivitas manusia dalam bahasa gambar yang bergerak. Menurut Marleau-Ponty (dalam Fauzanafi, 2005), film adalah tindakan melihat (act of viewing), bagaimana melihat dunia seperti yang terlihat. Namun pada saat yang sama, orang harus belajar bagaimana melihat film sebagai suatu kemampuan (faculty) yang mampu menjembatani dua cara melihat dunia, antara satu cara yang berdasar pada pemikiran-representasi dan cara lain yang bersandar pada praktik-pengalaman. Film bukan hanya sebagai representasi, tetapi juga pengalaman dan tindakan melihat.

Kamera memang bisa menjadi penghalang pembuat film untuk bersentuhan langsung dengan fenomena. Akan tetapi, kamera mampu mendukung untuk melihat lebih dekat dan lebih jelas ketimbang mata biasa. Melalui teknik-teknik kamera, pembuat film “menyentuh” apa yang selama ini tidak “tersentuh” oleh mata biasa. Kemampuan inilah yang disebut oleh Walter Benjamin (2005) sebagai tactile eyes (mata yang mampu menyentuh).

Kemampuan kamera untuk mengangkat, merendahkan, menginterupsi, mempercepat, mereduksi dan membesarkan obyek-obyek di sekitarnya mampu mengantarkan pada berbagai hal yang selama ini tidak disadari oleh penglihatan (unconscious optics). Kamera dalam hal ini menjadi bagian dan kepanjangan tubuh si pembuat film untuk “menyentuh” dan “membuka” persepsi baru tentang dunia.

Pluralisme Kreatif

Maka jika obyek yang direkam adalah seni pertunjukan, ia bisa menjadi dokumentasi seni. Pada saat yang sama, pengembangan kajian sinema mengungkap fungsi dan sistem tanda seni dalam ekspresi sinematografis ini, sesungguhnya bisa membuat peragaman studi-studi ilmu budaya. Film bisa menjadi suatu tempat yang mempertemukan pelbagai unsur yang terkadang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sinematografi. Inilah pluralisme yang memunculkan perlintasan, perkawinan atau peleburan ruang dan media (seni).

Kini telah lahir bentuk seni baru akibat peleburan kreatif antara tari dan media sebagai film tari (dancefilm). Tarian yang khusus diperuntukkan bagi kamera tidak terbatasi oleh berbagai hal sebagaimana tarian yang disajikan langsung. Gravitasi dapat disangkal, konsep lambat, cepat, tegak, dan terbalik tidak lagi berlaku, penari dapat berbiak menjadi banyak, dan dapat menghilang dari pandangan. Waktu, ruang, dan gravitasi tidak lagi membelenggu khayal.

Sejarah film tari, menurut Rhoda Grauer, di Amerika Serikat kehadiran film tari baru muncul pada dekade 1960-an. Sebagai salah satu perintis tari modern lewat nama-nama besar seperti Isadora Duncan pada 1920-an, Amerika baru meluncurkan sebuah festival film tari yang dinamai Dance on Camera pada 1971. Namun, eksistensi festival ini baru “diakui” secara internasional pada 1999 (Utari, 2005).

Sebagai genre, film tari (Rhoda Grauer menyebutnya dancevideo) merupakan kreasi lengkap bentuk seni yang mengeksplorasi disiplin baru dan tidak semata-mata kemampuannya dalam mendokumentasikan apapun secara audio visual. Hal ini dapat dilihat dari efek-efek khusus media dan teknik sinematografis untuk koreografi dalam film tari. Untuk membentuk sebuah bentuk sajian (adegan film tari) baru, setiap elemen koreografis harus dipertimbangkan pada fungsi dan kemampuan mereka menjadi sesuatu yang “baru”. Kesemuanya itu dalam rangka memunculkan sebuah kesan dalam film.

Menurut Erin Brannigan, kurator festival film tari ReelDance International Dance on Screen, disatu sisi dancefilm menegaskan eksistensi penari sebagai performer. Penonton mungkin tidak bisa ikut bergerak dengan penari, tetapi mereka bisa melihat dari dekat peluh, ekspresi wajah, tarikan nafas penari dengan lebih tajam dan cermat. Gerak tubuh penari menjadi optimal dengan juga akan mengedepankan penekanan terhadap kinestetika (estetika gerak) yang berujung pada sebuah komunikasi kinestetis.

Langer (1988) menyebutnya sebagai citra dinamis, bahwa apa yang terpancar dari gerak tari lewat tubuh adalah suatu fenomena atau perwujudan dari laku yang secara tepat meyakinkan bagi persepsi audience, tidak melalui materi-materi fisik, maupun elemen-elemen seni pertunjukan (kostum, tata rias, tata cahaya, tata panggung dan lainnya).

(Film) Tari

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) memproduksi film berjudul Mahendraparvata karya dramaturg-skenario sekaligus sutradara Seno Joko Suyono. Dengan latar situs arkeologis di perbukitan Phnom Kulen, Kamboja dan kawasan Borobudur, karya ini mendasarkan pada studi arkeologi prasasti Sdok Kak Thom (974 Saka/1052 Masehi) untuk memetaforakan hubungan Jawa dan Kamboja masa kuno.

Studi arkeologi menjelaskan Jayawarman II selama beberapa lama berada di lingkungan istana Syailendra. Saat itulah raja pertama Kekaisaran Khmer ini diperkirakan sempat menyaksikan proses pembangunan Candi Borobudur, sesuatu yang menautkan koneksi kultural tersebut.

Lewat perjalanan sepasang topeng oleh dua penari Kamboja (Hun Pen dan Chamroeun Dara) serta dua penari Jawa (Darmawan Dadijono dan Sruti Respati), Mahendraparvata menjadi sajian simbol yang membangun makna dengan metafora yang kaya nilai estetik materi historis arkeologi melalui bahasa sinema.

Meski pada dasarnya menggunakan medium tari sebagai ekspresi, ia tidak sekedar dokumentasi, tapi lebih dari itu, yakni sebuah format sinematografi yang dituturkan lewat kreasi dancing bodies, pola musikal, efek audio-visual dan teknologi secara proporsional. Dalam bagian tertentu, filmografinya dapat dipresentasikan sebagai biografi tubuh.

Dalam film ini, seturut Melati Suryodarmo (2022) kerja kamera, arahan fotografi hingga penyuntingan gambar berpengaruh menciptakan alur yang mampu menembus lapisan realitas sekaligus kedalaman emosional atau psikologis.

Koreografi dan film fokus pada tubuh yang bergerak dan hubungannya dengan ruang dan waktu. Keduanya menginterogasi sifat dan kualitas gerakan dan menghasilkan variasi gerakan baru melalui karya dengan tubuh, desain teater, objek, kamera, suntingan, dan efek pascaproduksi, termasuk animasi atau manipulasi teknologi. Gerakan-gerakan inilah yang menciptakan sine-koreografi yang merupakan pertunjukan film dalam (film) tari.

Seperti pada shot close-up langkah kaki penari Kamboja di candi yang mampu mempresentasikan estetika teknik gerak dasar tari, yang bersumber dari relief candi. Begitu juga elemen topeng yang menjadi benang merah film ini. Perjalanan topeng (Panji) yang dilarung di air sungai Kamboja yang jernih dan Kali Elo yang kecoklatan, berhasil menghadirkan imaji artistik yang kontekstual.

Seperti kita tahu cerita Panji tidak semata kisah cinta antara Inu Kertapati dan Candrakirana yang terpisah lalu bersatu kembali. Lebih dari itu, ia menyimpan makna tentang pencarian kesejatian nilai kemanusiaan yang muncul melalui simbol-simbol sosio-kultural di masyarakat. Seperti shot Darmawan menari mengenakan topeng berlatar surya yang bundar, merepresentasikan putaran makna anasir alam yang identik dengan cerita Panji (sebagai matahari) dan Candrakirana (personifikasi bulan) yang dikenal dalam budaya Asia Tenggara.

Dengannya tari menjadi momen katarsis bagi refleksi dengan kemanusiaan: proses pengembaraan mencari jati diri, lewat tubuh dan gerak, sebagai laku spiritual yang meditatif. Gerak tidak dihasilkan dari laku mekanikal ketubuhan manusia, tapi dari “yang reflektif dan transendental” sebagai filosofi, estetika dan spiritualitas.

Juga adegan larungan di tepi Kali Elo membingkai suasana bersetting natural aliran sungai yang kecoklatan: sebuah perjalanan kehidupan dengan segala dinamikanya. Dengannya tari menjadi entitas yang berdiri sendiri sebagai gambar yang berasal dari semesta cerita (diegetic pictures).

Dengannya, tubuh menjadi semacam forum interaksi estetis yang berusaha membangun dan memperluas basis pengembangan gagasan kritis atas dinamika terkini sekaligus mengejar realitas tubuh sebagai kenyataan kosmologis dalam sebuah semesta laku artistik.

Film ini seperti menjadi sebuah katalog pameran arkeologi seni dimana budaya menjadi estetika yang terungkap lewat tamsil dan metafora dalam segala aktivitas kreatif melalui artefak budaya dan simbol-simbol filosofis yang holistik. Ini menjadikannya menarik sebagai cara alternatif untuk menghadirkan narasi pemaknaan dengan lebih luwes dan tidak bertafsir tunggal.

Persoalan

Dengan pilihan ekspresinya, lebih jauh, film ini berhasil menyasar ke berbagai persoalan kontemporer bangsa ini, dan akhirnya merefleksikan persoalan yang lebih universal. Ia mencoba memberi komentar terhadap konflik sosial multi dimensi yang terjadi di negeri ini, terutama terkait pluralisme.

Seperti cerita pembakaran Betlehem van Java tahun 1948 yang dinarasikan lewat tembang oleh Sruti di relung Gereja Bunda Maria Sapta Duka Mendut. Gereja yang dibuat oleh YB Mangunwijaya di atas lokasi biara yang dibakar ini berada tepat di depan vihara Mendut. Juga melalui pemilihan Gereja Ayam, yang sebenarnya merupakan rumah ibadah lintas agama, dengan desain berbentuk merpati (lambang perdamaian).

Dengannya film ini merepresentasikan ekosistem toleransi yang ada di Borobudur sebagai pusat, yang dilingkari umat Muslim (Pondok Pesantren Pabelan), Katolik (Gereja Maria Sapta Duka, Seminari Mertoyudan, Muntilan) sampai Buddha (Vihara Mendut). Isu penting (dan masih menjadi persoalan hingga kini) tersebut hadir dalam film sebagai tapak sejarah arkeologi sosial yang ditelusuri, direfleksi dan dimaknai.

Film ini menjadi menjadi wadah bagi gabungan ide estetik, muatan kisah dan refleksi nilai kehidupan yang ingin disampaikan melalui jejak historis. Ia membuktikan kebudayaan bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang bisa mengatasi persoalan-persoalan kontemporer, mampu berdialog dengan budaya global untuk bisa mengembangkan diri dan meneguhkan eksistensi. Dengan memelihara dan mengolahnya dalam “tafsiran makna” (interpreted meaning) sebagai sebuah kontinuitas yang hadir dengan nafas, artikulasi dan pemaknaan baru tentang narasi (dan permasalahan) kita sebagai sebuah bangsa.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/mahendraparvata-sinema-kinestetika-dan-permasalahan-bangsa-b248497p/