Mahmoud Darwish adalah salah seorang penyair terkemuka dalam sejarah sastra Arab modern. Lahir pada tahun 1941 di desa Al-Birwa, Palestina, Darwish tumbuh di tengah konflik yang intens antara bangsa Palestina dan Israel. Kehidupan pribadi dan karyanya sebagai penyair merentang perjalanan panjang dalam menggambarkan cinta, terutama dalam konteks ketidakpastian perjuangan politik yang telah lama menggiring kehidupan rakyat Palestina.
Darwish memulai karir sastranya sebagai wartawan di surat kabar Al-Fajr di Yerusalem pada usia 19 tahun. Dia kemudian melanjutkan untuk menjadi penyair dan penulis terkenal. Karya-karya Darwish telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa dan telah memenangkan berbagai penghargaan sastra internasional. Dia adalah salah satu penyair Arab terkenal di dunia.
Selain menjadi penyair terkenal, Darwish juga memiliki pengalaman dalam diplomasi. Ia pernah menjadi anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Duta Besar Palestina untuk UNESCO. Karenanya, Darwish sering dianggap sebagai ikon perjuangan Palestina dan seni sastra Arab. Dia mewakili suara orang Palestina yang terpinggirkan dan menjadikan perasaan cinta sebagai elemen utama dalam karyanya.
Pemahaman Darwish tentang cinta bukanlah seperti cinta pada umumnya. Ia menciptakan puisi yang merayakan cinta sebagai manifestasi paling suci dari hak asasi manusia, yang tidak bisa dikendalikan oleh penindasan atau penjajahan. Dalam puisinya, cinta menjadi simbol perlawanan dan keberanian terhadap penindasan. Dia menggambarkan cinta sebagai semacam liberalisasi, sebuah alat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Sebagai seorang penyair Palestina, Darwish tidak pernah bisa melepaskan diri dari pengaruh politik yang mempengaruhi kehidupan dan gaya sastranya. Pada tahun 1948, saat dia masih seorang anak, peristiwa Nakba atau “bencana besar” terjadi, di mana ratusan ribu orang Palestina terusir dari tanah air mereka oleh konflik Israel-Palestina. Pengalaman ini membentuk pemahaman Darwish tentang cinta dan perjuangan.
Dalam puisinya, Darwish sering mengaitkan cinta dengan tanah airnya yang tercinta. Ia menyampaikan rasa cintanya kepada Palestina dengan kata-kata yang penuh kelembutan, seakan-akan tanah air itu adalah seorang kekasih yang terpisah darinya. Bagi Darwish, puisinya kepada tanah air Palestina adalah bentuk pemberontakan terhadap penjajahan dan penindasan.
Salah satu puisi terkenal Darwish yang berjudul “وطن” atau “Tanah Air” seakan-akan telah menjadi sebuah unofficial hymn bagi perjuangan rakyat Palestina. Dalam puisi ini, ia mencurahkan cintanya kepada tanah airnya dengan kata-kata yang sangat mendalam, berikut sedikit potongan dari puisi tersebut:
علقوني على جدائل نخلة
واشنقوني.. فلن أخون النخله
هذه الأرض لي.. وكنت قديماً
أحلب النوق راضياً وموله
وطني ليس حزمة من حكايا
ليس ذكرى، وليس حقل أهله
ليس ضوءاً على سوالف فلّة
“Gantung saja diriku di antara ranting pohon kurma itu, gantung saja… Aku tetap takkan mengkhianatinya! Tanah ini milikku, di mana dahulu dengan setia aku mengurus sapi-sapi itu. Tanahku bukan hanya sekelumit cerita, bukan juga kenangan semata, apalagi tempat bagi percakapan yang sia-sia.”
Baginya, cinta kepada tanah air adalah cinta yang membebaskan, cinta yang menolak tindakan penjajahan dan menuntut hak asasi manusia yang adil. Puisinya menciptakan citra tanah air sebagai entitas yang hidup dan bernyawa, sebagai tempat di mana cinta dan perjuangan bersemi.
Namun, cinta dalam puisi Darwish tidak terbatas pada tanah air. Ia juga menjelajahi ruang cinta personal, yang sering kali ditemukan dalam konteks sebuah kerinduan. Ia menggunakan kata-kata yang indah dan bermakna untuk menggambarkan perasaan cinta dan kerinduannya terhadap orang yang dicintainya. Dalam puisi-puisinya, kisah cinta pribadi dan cinta kepada tanah air seringkali bersatu dalam sebuah narasi yang kuat.
Kisah cinta antara Mahmoud Darwish dan seorang wanita Yahudi bernama Tamar atau sering disamarkan dengan nama Rita, seperti yang sering ia kutip dalam puisi-puisinya adalah kisah cinta yang mencerminkan dilema pribadi dan politik yang rumit diantara mereka.
Dalam puisi-puisinya, Darwish sering menyamarkan identitas Tamar dengan sebutan “Rita.” Dia melakukannya untuk melindungi privasi dan keselamatan Tamar, mengingat konteks politik yang sangat sensitif antara Palestina dan Israel. Ini juga mencerminkan realitas politik di mana hubungan antara Palestina dan Israel sering kali diwarnai oleh konflik dan ketegangan.
Hubungan mereka dihantui oleh dilema yang tidak berujung. Darwish adalah seorang penyair Palestina yang militan dan aktivis hak asasi manusia, sementara Tamar adalah seorang wanita Yahudi yang berasal dari Israel. Mereka berada di dua sisi konflik politik yang kompleks.
Dilema cinta mereka mencerminkan gagasan Darwish tentang “liberasi cinta.” Cinta mereka melintasi batasan budaya dan politik yang rumit. Bagi Darwish, cinta adalah manifestasi hak asasi manusia yang paling suci dan tidak bisa dikendalikan oleh penindasan atau penjajahan. Hubungan mereka menjadi simbol pembebasan cinta dari belenggu konflik politik.
Kisah cinta mereka mencerminkan konsep Darwish tentang bahwa cinta dapat menjadi kekuatan pembebasan, tetapi juga dapat memunculkan dilema moral dan politik yang sangat kompleks. Mereka harus berhadapan dengan realitas politik yang tidak ada jalan keluar yang mudah. Ini juga menunjukkan bahwa dalam situasi konflik, cinta sering kali menjadi korban dari politik dan perang.
Dalam banyak aspek, Darwish telah mengubah pemahaman cinta dalam konteks perjuangan. Ia telah menginspirasi banyak orang dengan pemikirannya tentang cinta sebagai kekuatan pembebasan dan sebagai alat untuk mengungkapkan perlawanan terhadap penindasan. Melalui karya-karyanya, Darwish telah membawa liberalisasi cinta dalam lingkup yang lebih luas, membuktikan bahwa cinta adalah alat yang kuat untuk merayakan dan mempertahankan hak asasi manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, karya Mahmoud Darwish terus mengilhami penyair dan penulis di seluruh dunia. Ia adalah suara yang mendalami kompleksitas kehidupan, cinta, dan perjuangan dalam konteks politik yang sarat konflik. Darwish telah membantu membentuk pemahaman cinta sebagai elemen pemberontakan, dan pesannya terus relevan dalam upaya untuk meraih keadilan dan perdamaian di dunia yang terus berubah.
Mahmoud Darwish meninggal dunia pada tanggal 9 Agustus 2008 di Houston, Texas, AS, saat menjalani perawatan medis untuk penyakit jantung. Kematiannya disusul dengan berduka yang mendalam di seluruh dunia, dan ribuan orang hadir dalam pemakamannya di Ramallah, Palestina.
Meskipun tidak lagi di antara kita, warisan dan pemikiran Mahmoud Darwish tetap hidup melalui karyanya yang kuat dan pengaruhnya untuk meneruskan perjuangan rakyat Palestina.
Baca Juga
https://alif.id/read/adn/mahmoud-darwish-dan-liberasi-cinta-b249377p/