Dalam khazanah tasawuf Jawa menyebut pertemuan seseorang dengan dirinya yang sudah dimakamkan adalah dengan nama: tunggak semi. Kita diperjalankan bisa ke makam A atau makam B tanpa disengaja, sekadar sifatnya mengalir dan lumaku saja. Meskipun istilah tunggak semi juga sama pada primbon petungan weton hari yang artinya mudah mendapatkan keberuntungan.
Seringkali kita menemukan makam para waliyullah atau tokoh pendahulu dengan kesamaan asma atau nama, sebenarnya seperti itu adalah makam yang berbeda-berbeda tetapi dengan nama yang sama. Dalam arti bentuk nama yang dimaksud sebagai wujud tafa’ulan nama atau ngalap berkah (tabarukan) dengan nama pendahulunya. Entah memang masih nyambung dari jalur nasab maupun sanad, trah keilmuan. Pun bisa pula kita untuk memaknai termasuk orang atau tokoh yang masih hidup juga.
Atau pula itu memang satu orang dengan makam yang banyak, sebagaimana kelakar para peziarah bahwa ciri seorang wali yaitu ditandai dengan makamnya yang banyak dan tersebar dimana-mana.
Maka dari itu jika kita mengambil bahasa dari penulis buku Nisan Hanyakrakusuman (2021), Yaser Arafat membacanya harus pakai nalar kiblat papat. Jadi kalau di bagian timur ada makam Maulana Maghribi, maka makam dengan nama yang sama pasti ada di barat. Begitu juga kalau ada makam Sunan Pandanaran misalnya di selatan maka di utara juga pasti ada. Kalau mengambil contoh di Wonosobo pun juga ada, misalnya Kiai Walik dengan macam versi cerita.
Apabila di selatan ada, tetapi di utara tidak ada bukan berarti tidak ada, boleh jadi dan seringkali yang di utara itu memakai nama yang berbeda, tetapi makna nama itu sama dengan nama yang di selatan, Nah, ini bisa disebut dengan sinonim, atau dasanama untuk istilah Jawa, nantinya semakin banyak makam seorang tokoh, semakin bertalian dengan sejarah tokoh tersebut di dalam sejarah dan kebudayaan masyarakatnya.
Makam, pasarean, kijing, nisan, kuburan mengajarkan penulis untuk menghentikan diri dari pendengaran riwayat-riwayat ganjil yang beredar luas sampai sekarang. Bagaimana mungkin ketika bersimpuh merapalkan kalimat-kalimat suci di depan maqbaroh seorang ulama pelaku jalan suci atau suluk namun benak pikiran penulis masih menganggap atau menge-cap sebagai ‘hitam’ berdasarkan pengetahuan sejarah tentangnya yang didengar ke telinga oleh bangku sekolah? Seorang tokoh dianggap hitam karena memang penghitaman itu diciptakan diwacanakan dan terus menerus dilestarikan lewat pengajaran sejarah.
Kembali mengenai nama, lebih penting kita dengan mengingat dan menjaga nisan dan kijingnya, sebab dari sini berlimpah petunjuk yang dapat digali. Kita bisa menyelami dari segi geneologi maupun epistemologi atau sanad kelimuan ketika memandang banyaknya kesamaan nama makam yang tersebar tinggal kita klasifikasikan dan analisa yang dipindai dari nisan, kijing dan sebagainya.
Pemilik sanad keilmuan beserta trah nasab katakanlah Demak, Majapahitan, sampai Diponegaran, misalnya nantinya akan dimakamkan dengan nisan sebagaimana corak nisan pepundennya atau leluhurnya, jika tidak maka ada tanda lain.
Tetapi jika nantinya nisan atau tetenger tadi menghilang atau diganti dengan nisan yang baru maka cara kita membaca informasi bisa ditempuh dengan beberapa langkah, entah dari cerita yang beredar di masyarakat, atau dari tumbuhan, pohon yang meliputi sekitar makam, dan tentu masih ada beberapa metode lainnya. Wallahu a’lam bisshowab.
https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/makam-dan-tunggak-semi-b244244p/