Makam Kuno Mbah Canthing Nganjuk, Jejak Laskar Pangeran Diponegoro

Nganjuk, NU Online Jatim

Mbah Canthing bernama asli Tumenggung Sri Moyo Kusumo, salah satu tokoh yang babat alas di Desa Mlorah, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Makam kunonya berada di ujung jalan Pangeran Diponegoro tepatnya di RT 04 RW 01. Warga lebih mengenalnya dengan daerah pojok’an. Ini karena lokasinya yang berada persis di pojok Desa Mlorah, barat makam sudah termasuk wilayah Dusun Jati, Desa Jatirejo, utaranya terhampar persawahan luas.

Makam kuno ini sudah dipagari keliling, bahkan batu nisannya sudah tidak ditemukan. Di timur makam dibangun joglo ukuran 5×6 meter. Diperuntukkan para peziarah yang hendak berdoa. Akses jalan ke lokasi pun sudah di paving.

Nama Desa Mlorah sendiri tidak lepas dari kiprah Mbah Canthing saat melawan Belanda. Setelah menyingkir ke lokasi ini, Mbah Canthing menikah dengan Mbah Sawi dari Bojonegoro. Pernikahan ini berhasil memiliki empat anak, yaitu Ngalinem, Marijan, Madinem dan Simah.

Keturunan Mbah Canthing sekarang banyak yang tinggal di desa Mlorah. Rata-rata sudah berada pada generasi keempat dan kelima. Lokasi tinggalnya tidak berkumpul pada satu kawasan. Namun menyebar di beberapa tempat di Desa Mlorah, bahkan di beberapa dusun sekitar.

Mbah Canthing adalah penghulu di Kerajaan Mataram Islam. Sebelum meletus Perang Diponegoro (1825-1830), tugas utamanya adalah menikahkan warga di kerajaan Islam itu. Saat meletus perang, dirinya bergabung dalam Laskar Diponegoro. Namun setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sulawesi, Mbah Canthing bersama ketiga temannya melanjutkan kiprah ke wilayah Jawa Timur.

Dahulu lokasi ini diakui warga sekitar sangat angker, meski di siang hari. Ini karena makam Mbah Canthing dikelilingi pekarangan kosong dan bambu lebat, tidak jarang lokasi ini disalahgunakan hal-hal negatif, terutama terkait perjudian. Kini di sekitar lokasi didirikan banyak bangunan. Di barat makam, ada bangunan dua lantai menghadap ke timur. Setiap lantai terdiri dari tiga ruang. Didepannya berdiri gazebo untuk mengaji anak-anak.

Setelah Maghrib, juga digunakan mengaji santri putri, sedangkan yang putra di mushala. Lokasinya di selatan makam. Dulu belum ada bangunan lain antara makam dengan mushala. Pengelolaan kegiatan berada di Yayasan Nahdhotul Muta’allimin. Pengasuhnya adalah Kiai Riyanto, sosok asli warga Desa Mlorah ini lama menimba ilmu di Pesantren Sewulan Madiun. Dari Kiai Riyanto, banyak cerita tentang sosok Mbah Canthing.

Kiai enam cucu ini menambahkan, kegiatan di lokasi ini diakui bisa menghapus aktivitas negatif pada masa sebelumnya. Meski harus secara perlahan dan membutuhkan waktu lama. “Kalau malam Jum’at, di mushala sini rutin istighatsah, tahlil dan pengajian,” ujarnya, Kamis (07/11/2024).  

Setiap malam Jum’at Kliwon, lanjutnya, ada pengajian dan jamaah yang berdatangan banyak dari luar desa. Bahkan ada yang dari luar kecamatan, seperti Berbek. Sukomoro, Loceret, Gondang dan Ngluyu. Penceramahnya Kiai Abdul Azis Syukur, katib syuriah MWCNU Rejoso. Jamaah yang hadir sekitar 200 orang.

Pengajian bagi anak-anak digelar sore hari dan setelah Maghrib. Metodenya memakai Ummi, santri yang sore sekitar 80 anak lebih, yang setelah Maghrib tidak kurang 30 anak, baik putra maupun putri. Di tanya keinginan ke depan, Kiai Riyanto berharap lembaga yang dikelola bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat. Sesuai tujuan awal para pewakaf tanahnya, meskipun ada beberapa tanah yang dibeli.

Di konfirmasi secara terpisah, Dosen sejarah Islam STAI Darussalam Krempyang Nganjuk, Mukani menjelaskan saat Perang Diponegoro meletus, banyak kalangan mendukung. Tepatnya sebanyak 108 kiai, 31 haji, 15 syaikh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kiai guru yang ikut ke dalam laskar Pangeran Diponegoro. Itu sesuai data dari Peter BR Carey.

“Saya meyakini Mbah Canthing adalah salah satu di antara angka itu. Dia memilih jalur Mancanegara Wetan yang menyebar ke daerah Jawa Timur bersama teman-temannya,” ungkapnya.

Menurutnya, pola yang digunakan mereka yakni hijrah secara berkelompok. Pada beberapa lokasi singgah, terkadang salah satu anggota rombongan memilih untuk tetap tinggal dengan tujuan membuka lahan yang baru dalam berdakwah (Jawa: babat alas). Sedangkan rombongan lainnya meneruskan perjalanan.

​​​​​​​Diketahui, kajian tentang peran Mbah Canthing di Nganjuk sudah dipresentasikan dalam Lokakarya lnternasional Penelitian lslam Nusantara di Universitas Yudharta Pasuruan tahun 2019. “Semoga ke depan makin banyak penelitian tentang peran tokoh-tokoh lslam di Kota Angin yang dibukukan, sehingga generasi penerus bangsa banyak mengerti dan memahami peran para tokoh dalam penyebaran agama Islam,” harapnya.


https://jatim.nu.or.id/rehat/makam-kuno-mbah-canthing-nganjuk-jejak-laskar-pangeran-diponegoro-S9K8v