Makna Simbolisme Imanen Kisah Panji dan Upaya Memilih Makna

Diantara kekayaan budaya Nusantara, kisah Panji telah diakui UNESCO sebagai Memory of The World pada 31 Oktober 2017. Panji adalah kisah asli Jawa Timur, bukan cerita adaptasi India seperti Ramayana dan Mahabharata. Sebagai wacana kebudayaan, sejak pertama muncul dan berkembang pesat setidaknya pada masa kerajaan Majapahit (abad XIII), cerita ini sudah berumur delapan abad!

Sebagai dokumen kultural, teks-teks Panji menguraikan sumber pengetahuan tentang kebudayaan dan pola-pola aktivitas yang mengatur kehidupan. Ia bukan cuma meninggalkan artefak relief pada lebih dari 20 candi di Jawa Timur (menurut penelitian arkeolog Jerman Lydia Kieven), atau seni pertunjukan seperti wayang beber, topeng, wayang gedhog, hingga wayang krucil, folklor dan masih banyak lagi.

Sejumlah ahli menyebutkan, dipandang dari perspektif sejarah, cerita Panji adalah metafora atas peristiwa politik yang betul-betul terjadi pada masa pemerintahan Airlangga, yakni terpecahnya kerajaan Kadiri menjadi Jenggala dan Daha. Ia menyediakan refleksi simbolik aspek sejarah, arkeologi, filsafat, hingga politik.

Panji menjadi aktualisasi untuk menciptakan modus-modus dalam menghadapi persoalan kehidupan yang kompleks. Dalam tiap kisahnya, tidak sekedar perjalanan dan pengembaraan Panji Inu Kertapati mencari Sekartaji, namun membuka pemahaman akan bagaimana suatu pengalaman hidup harus dimaknai dan dikontekstualkan dengan diri sendiri sebagai sebuah refleksi.

Fungsi Religius

Lydia Kieven menambahkan di balik artefak-artefak candi yang menggambarkan cerita Panji, kita dibawa masuk dalam pemahaman tentang spritualisme yang agung. Hal ini dituliskannya dalam buku Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15 (KPG, 2014).

Dalam resensi buku tersebut yang dimuat Harian Kompas (2/8/2015) saya menyimpulkan bahwa Lydia Kieven berhasil meneliti “figur bertopi” – yang menampilkan rakyat biasa, pelayan, prajurit, bangsawan dan Pangeran Panji – sebagai tokoh unik yang menggambarkan cerita lokal. “Figur bertopi” merupakan contoh yang menonjol dari kreatifitas zaman Majapahit dalam konsep baru terhadap seni, sastra, dan agama, yang lepas dari pengaruh India. Lebih dari itu, arti simbolis figur bertopi ini sebenarnya membawa pengertian baru akan fungsi religius candi-candi di Jawa Timur yang bermuara pada pemahaman akan Tantra dalam agama Hindu-Budha.

Inilah sumbangan pemahaman yang penting akan kekayaan pencapaian budaya bangsa. Berdasar analisis ikonografis, kita dapat – dengan mempertimbangkan konteks seni, agama, mitologi, sejarah dan politik yang lebih luas – menarik kesimpulan tentang makna simbolis relief.

Figur bertopi yang hanya muncul di candi-candi jaman Majapahit menjadi respon kreatif kreatornya terhadap iklim budaya pada masanya. Ia bukan unsur kecil, tapi memiliki makna dan fungsi penting, yang menjadi bagian dari proses kreatif tentang perkembangan baru dalam agama, budaya, masyarakat dan politik Jawa periode Majapahit. Bahwa pemilihan, penataan dan penempatan figur bertopi dalam tata ruang candi membentuk pesan tertentu di dalam fungsi candi, baik sebagai bangunan religius, praktik keagamaan maupun fungsi politik pada masa tertentu.

Di candi Sonokelir misalnya, figur bertopi merepresentasikan tokoh setengah-manusia setengah-dewa. Ia melambangkan tokoh perantara sebagai semacam “pemandu agama” antara dunia manusiawi peziarah dan dunia dewata candi dalam konteks simbolisme religius doktrin Tantra berupa kemanunggalan individu dengan Ilahi, yang dicapai dalam pengalaman manunggalnya Siwa dan Sakti.

Di candi Kendalisodo dan Panataran, terdapat banyak adegan menggambarkan Panji duduk dengan sangat mesra dan erotis bersama kekasihnya Candrakirana. Ada juga banyak adegan Panji atau kekasihnya sedang menyeberang air. Dalam mitologi Hindu dan Budha, penyeberangan air adalah simbol untuk maju dari satu tingkat pengetahuan kebijaksanaan ke tingkat lebih tinggi, sehingga akhirnya dapat mencapai wahyu. Tafsir itu didukung oleh banyak adegan dalam relief yang menggambarkan Panji bersama seorang pertapa, rshi, dan mendapat pengajaran ngelmu. Kombinasi unsur Tantra dengan unsur pengajaran religius dalam gambar relief ini berfungsi untuk menyampaikan pengajaran Tantra kepada para peziarah agar mereka siap untuk pelakuan ritual pada bagian sakral di candi (Kieven dalam Nurcahyo (ed.), 2009). Panji sebagai figur bertopi melampaui makna simbolis imanennya.

Ekspor Kultural

Dalam konteks berbeda, Panji mengatasi dimensi politik kebangsaan-kenegaraan. Kisah Panji hidup “mengelana” ke seluruh daerah Nusantara, hingga ke Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Di Sumatera dikenal cerita berbahasa Melayu Panji Angreni, Hikayat Raja Kuripan, Hikayat Rangga Rari dan sebagainya. Catatan lain menyebut di Thailand terdapat cerita Panji berjudul Dalang (Inau Yay) dan Inau (Inau Lek). Di Myanmar terdapat pula cerita Panji berjudul Ienaungzat serta masih banyak lagi kesamaan cerita Panji lainnya (Ardus M. Sawega, 2014). Panji adalah ikon diplomasi budaya dan ekspor kultural bangsa Indonesia.

Tak syak bila Kadiri, Majapahit atau Jawa, di “masa kejayaan Panji” dahulu, bisa disebut sebagai “mercusuar kebudayaan”. Bukan tidak mungkin dari budaya Panji yang meluas memiliki peran kuat yang menginspirasi terbangunnya peradaban Jawa (Nusantara) di masa lalu.

Nilai-nilai dalam cerita Panji yang begitu kompleks dengan berbagai varian nama tokoh sesuai episode pengembaraannya, bahkan masih relevan di masa kini. Ande-ande Lumut, salah satu bagian cerita Panji, memuat ide konservasi alam dan lingkungan, lewat tema pengairan, pertanian dan kehidupan fauna.

Refleksi

Penggunaan topeng dalam bentuk pertunjukannya, juga bermakna. Selama ini kita mengenal topeng sebagai benda yang dipakai untuk menutup wajah; kedok, kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya. Topeng menyembunyikan “wajah asli” untuk mengubah atau membentuk karakteristik yang baru agar tidak sesegera mungkin diketahui oleh orang lain.

Kini, dalam konteks Indonesia yang sedang menghadapi proses seleksi pemimpin dan wakil rakyat, kita menjadi paham modus seragam dari para politikus yang sengaja membuat wajah baru dengan tampil sempurna. Semua dilakukan untuk mendulang suara demi kekuasaan.

Namun banyak politikus terjerat hukum menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan dalam bentuk korupsi dan kejahatan krah putih lainnya. Inilah wajah (para politikus) Indonesia yang bertopeng, tampak halus di luar namun “bobrok” di dalam, sebuah persoalan sosial yang meminggirkan nilai-nilai kepentingan umum, kesejahteraan bersama dan kebangsaan.

Di sisi lain, kisah pengembaraan Panji mensyaratkan sebuah pengalaman langsung terlibat permasalahan riil dalam kehidupan (rakyatnya). Dengannya ia memperoleh kedewasaan bertindak dan menemu solusi tepat bagi permasalahan yang dihadapi. Dalam konteks politik kepemimpinan Indonesia, hal ini penting untuk menjadi refleksi dan pelajaran penting untuk diterapkan.

Cerita Timun Mas, menurut Nurcahyo (2014), dalam versi Jawa Tengah, varian ini mengisahkan raksasa jahat yang berhasil ditenggelamkan dalam lautan lumpur hasil lemparan terasi (belacan) Timun Mas. Dongeng ini menjadi basis ide kreatif penciptaan karya seni rupa dan performance art dalam peringatan bencana lumpur Lapindo yang masih menjadi problem hingga kini. Timun Mas sebagai kisah menjadi dasar tema “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”. Panji menjadi sarana reflektif yang responsif atas berbagai fenomena kehidupan, sebagai living heritage yang dipahami, dimanifestasikan dan ditransformasikan secara kontekstual.

Identitas

Khasanah budaya cerita Panji memiliki kemanfaatan ideologi, edukasi dan ekonomi. Kemanfaatan ideologis berfungsi untuk membangun rasa kebanggaan budaya yang pada akhirnya ke arah kebanggaan nasional sebagai bangsa. Fungsi edukatif dalam kekayaan budaya bangsa ini akan mendidik bangsa itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan; sedangkan fungsi ekonomis seni pertunjukan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dalam konteks pariwisata (Timbul Haryono, 2014).

Dengannya, elan vital yang terdapat dalam setiap aspek budaya Panji dapat berkontribusi pada identitas regional dan transregional di “trans-Asia”/kebudayan ASEAN. Seperti penyelenggaraan ASEAN Panji Festival yang berlangsung dari 7 Oktober hingga 28 Oktober 2023, di kota Yogyakarta, Kediri, Malang, Surabaya, Pasuruan dan Solo. Festival yang diikuti oleh 9 negara peserta ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, yang menampilkan ragam ekspresi berdasar kisah Panji yang dimiliki bersama oleh negara anggota ASEAN.

Seturut logika Armes (1987), membicarakan Panji berarti berbicara tentang identitas dan bagaimana karya seni menjadikan dirinya sebagai artefak imajinasi komunal. Panji menjadi sebuah produk kebudayaan yang membentuk dan merepresentasikan identitas komunal. Bahkan Panji mengandaikan gagasan tentang ekspresi budaya yang mewakili keunikan atau ciri khas sebuah bangsa.

Inilah representasi budaya, cara di mana kita dapat mengkonstruksikan identitas, memilih media untuk menceritakan diri dan kehidupan kita agar identitas dan makna yang kita inginkan terbentuk (Junaidi, 2006). Tidak hanya secara personal, tapi juga dalam konsepsi spiritualitas yang lebih luas, Panji, dalam hal ini, adalah upaya untuk memilih makna.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/purnawan-andra/makna-simbolisme-imanen-kisah-panji-dan-upaya-memilih-makna-b248454p/