“Malam Puncak Hiburan”, Potret Kultur Moderasi Pesantren Darussalam Blokagung dalam Menghargai Tradisi dan Budaya Lokal

Malam itu, Minggu 15/3/2020 para santri dan masyarakat sekitaran Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi sudah tidak sabar menunggu kehadiran Didi Kempot. Raja lagu campursari bergelar  The Godfather of Broken Heart itu akan melebur dengan ribuan santri dan “ambyar bareng” di lapangan Pondok Pesantren Darussalam Blokagung dalam rangkaian acara Haul Masyayikh.

Didi Kempot bersama DK Voice penabuh gendang Dory Harsa, dan biolis Sandy Ria Ervina siap tampil menghibur para santri dan masyarakat umum di sekitaran pondok pesantren. Para musisi tanah air tersebut akan tampil all out dalam konser rangkaian haul KH. Mukhtar Syafaat Abdul Gofur ke-30, Nyai Hj Siti Maryam ke-38, dan Nyai Hj Siti Musyarofah ke-21. “Ini merupakan rangkaian acara haul masyayikh yang diselenggarakan setiap tahun. Konser ini sebagai hiburan dan media dakwah pesantren” demikian ungkapan salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, KH. Ahmad Munib Syafa’at.

Blok Agung 4
Didi Kempot dkk dalam rangkaian Acara Haul Masyayikh Pesantren Blokagung. (Foto: dok. Pesantren Darussalam Blokagung)

Menurut Gus Munib, sapaan akrab dari KH. Ahmad Munib Syafa’at, dalam rangkaian acara haul selalu diisi dengan hiburan. Pada haul sebelumnya, pesantren mendatangkan Iwan Fals dan D’ Masiv. “Kali ini kita menghadirkan Didi Kempot dkk. Hiburan ini gratis untuk para santri, alumni, dan masyarakat umum,” jelasnya.

Blok Agung 5
“Malam Puncak Hiburan” di Acara Haul Pesantren Blokagung. (Foto: dok. Pesantren Darussalam Blokagung)

Ilustrasi di atas menggambarkan relasi antara tiga unsur  yakni, pesantren, tradisi, dan masyarakat umum. Ketiga elemen ini melebur menjadi satu titik dalam tradisi orkesan dalam “malam puncak hiburan” yang setiap tahun di adakan sebagai bagian dari media dakwah mengenalkan pesantren ke masyarakat luas.

Ilustrasi di atas menggambarkan relasi antara tiga unsur  yakni, pesantren, tradisi, dan masyarakat umum. Ketiga elemen ini melebur menjadi satu titik dalam tradisi orkesan dalam “malam puncak hiburan” yang setiap tahun di adakan sebagai bagian dari media dakwah mengenalkan pesantren ke masyarakat luas.

Mengedepankan Pendekatan Budaya (Cultural Approach)

Berbicara tradisi sebagai sarana dan media dakwah tentunya terdapat perbedaan antar satu pesantren dengan pesantren lainnya. Perbedaan ini merupakan bagian dari “ijtihad budaya” pesantren dalam merespons situasi dan kondisi sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat.

Tradisi orkesan, musikan atau konser yang diadakan pada “malam puncak hiburan” di Pesantren Darussalam Blokagung tersebut mengingatkan kita pada kekuatan tradisi yang dijadikan media dalam dakwah oleh Walisongo. Untuk mendapatkan simpati masyarakat dalam upaya mengenal Tuhan-Nya, Kanjeng Sunan Kalijaga menciptakan “wayang kulit” sebagai media dalam dakwahnya. Sementara Sunan-Sunan lainnya pun tak mau ketinggalan dengan mencipta “lelagon atau tembang-tembang Jawa” demi menarik masyarakat bawah untuk mengenal Islam.

Pesan lainnya adalah ingin menegaskan bahwa tradisi orkesan merupakan bagian dari kearifan lokal (local wisdom) masyarakat kita. Tradisi ini seyogyanya dilestarikan karena dapat mendorong terciptanya budaya kerukunan, toleransi dan keharmonisan antar umat beragama.

Secara geografis Pesantren Darussalam berada di Dusun Blokagung Desa Karangdoro. Desa Karangdoro sendiri terletak di wilayah Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Desa Karangdoro berbatasan dengan beberapa desa; Utara, berbatasan dengan desa Dasri Kecamatan Tegalsari; Selatan, berbatasan dengan desa Karangmulyo Kecamatan Tegalsari; Timur, berbatasan dengan desa Karangmulyo Kecamatan Tegalsari; dan Barat, berbatasan dengan desa Barurejo Kecamatan Siliragung. Penduduk desa Karangdoro terdiri atas tiga etnis yaitu etnis Jawa, Mentawai dan Madura. Kemajemukan masyarakat Karangdoro tidak mengurai sikap gotong royong dan toleransi dalam kehidupan keseharian mereka.

Heterogenitas masyarakat Desa Karangdoro dapat dilihat dari sisi latar belakang agama maupun kebudayaan. Dimana sebanyak 75% penduduk beragama Islam, 24 % penduduk beragama Hindu dan sisanya penganut agama lain. Tetapi secara faktual, perbedaan agama tersebut tidak memengaruhi relasi sosial di antara mereka. Hal ini dibuktikan dalam membaurnya mereka—meski berbeda agama—dalam even-even besar kebangsaan, seperti Perayaan Hari Kemerdekaan, Hari Jadi Banyuwangi, Perayaan Hari Jadi Desa dan lain-lainnya. Mereka saling mendukung dan gotong royong menjaga kerukunan, keharmonisan, dan persatuan di antara mereka meski berbeda latar sosial pendidikan, budaya dan agamanya.

Kemajemukan desa Karangdoro sepertinya memang merefleksikan dan mewakili situasi dan kondisi faktual Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi dianggap sebagai salah satu ikon kemajemukan yang memberi warna positif bagi terciptanya kultur moderasi. Sebagai sebuah kota pariwisata yang eksotik dan terletak di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi dikenal memiliki ragam budaya dan agama yang majemuk.

Dari segi agama, pluralitas terlihat dari adanya agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di ranah budaya tak kalah majemuknya, misalnya terdapat komunitas masyarakat Osing di Rogojampi dan sekitarnya, komunitas masyarakat Madura di Muncar dan Glenmore, komunitas masyarakat Cina di Jajag dan Genteng, dan komunitas masyarakat Jawa sendiri yang hampir merata di setiap sudut kawasan wilayah Banyuwangi. Kemajemukan ini merupakan katalisator dan pendorong dalam upaya mempromosikan budaya dan kultur Banyuwangi yang toleran dan moderat.

Blok Agung 1
Beberapa Pemuka Agama Saat Hadir dalam Peluncuran Kampung Moderasi. Foto Humas Pemkab Banyuwangi. (Foto: dok. rri.co.id)

Kebinekaan Banyuwangi juga terlihat dari pluralitas sistem pendidikan yang turut serta mengampanyekan budaya toleran dan saling menghargai satu sama lain. Di samping sekolah-sekolah formal, di Banyuwangi juga terdapat berbagai pesantren yang turut andil bagian dalam menyemai pemikiran-pemikiran toleran dan moderat terhadap masyarakat sekitarnya. Sebut saja misalnya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung di Karangdoro Tegalsari, Pondok Modern Gontor 5 di Kaligung Rogojampi, dan Pondok Pesantren Bustanul Makmur di Genteng.

Fenomena masyarakat Karangdoro yang hidup damai dalam keberagaman  mencerminkan potret kultur moderasi di Banyuwangi. Kerukunan dan keharmonisan inilah yang juga nampak saat rangkaian acara Haul Masyayikh Pesantren Blokagung pada 29 Januari 2024 ini. “Masyarakat di sekitaran Pondok tidak seluruhnya Muslim, mereka menyediakan halaman rumahnya sebagai lahan parkir dan tempat duduk para pengunjung acara haul”, demikian penuturan salah seorang panitia haul seksi keparkiran.

Haul Masyayikh Pesantren Blokagung kali rencananya akan menghadirkan Gus Azmi. Dipastikan perhatian masyarakat Banyuwangi akan tersedot ke pesantren Darussalam. Ikhsan Huzali, salah seorang santri yang menjadi panitia inti haul menjelaskan beberapa hal terkait acara tersebut. “Tujuan dari acara tersebut adalah pertama, menjadi hiburan tersendiri bagi santri untuk merehatkan pikiran selama setengah tahun pembelajaran; kedua, poin penting lain bagi pesantren, haul menjadi syiar Islam moderat Pesantren bagi seluruh masyarakat Indonesia; ketiga,  memperkuat ukhuwah islamiah dan persaudaraan terhadap masyarakat sekitar; dan keempat, sudah menjadi tradisi setiap tahunnya”, terangnya secara detail.

Sementara itu dari sisi kepanitian terlihat keragaman dan dukungan semua pihak terkait terkecuali. Kepanitiaan haul melibatkan berbagai pihak di antaranya adalah pihak Kepolisian, Dandim, Babinsa, satpol PP dan masyarakat sekitar tanpa memandang agama dan budaya. Semuanya terlibat dan gotong royong dalam rangka menyukseskan acara tersebut.

Blok Agung 2
Acara Haul Masyayikh Pesantren Blokagung Banyuwangi, Jawa Timur. (Foto: dok. Pesantren DarussalamBlokagung)

Di sini terlihat budaya “nyengkuyung” (mendukung secara bersama-sama), meminjam  bahasa Gus Iqdam, terlihat jelas di masyarakat meskipun mereka berbeda agama dan keyakinan.

Pendekatan budaya (cultural approach) memang menjadi pilihan para Kiai di Nusantara dalam mendakwahkan Islam. KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur atau Mbah Kiai Syafa’at begitu masyarakat menyebutnya, merupakan salah seorang Kiai di Jawa yang konsen dengan pendekatan budaya ini.

Penggunaan pendekatan budaya diafirmasi oleh beberapa santri senior Mbah Kiai Syafa’at. H. Abdul Muthalib, misalnya, salah seorang santri senior beliau merupakan saksi sejarah mengenai hal ini. Menurutnya, masyarakat sekitaran pesantren ketika baru berdiri, mereka sangat akrab dengan kesenian dan budaya daerah seperti jaranan, jangeran, wayang kulit dan lain-lain. Pada awalnya beberapa santri senior kurang apresiatif terhadap budaya lokal yang berbau syirik, animisme dan dinamisme tersebut. “Tetapi dengan kearifannya, Mbah Kyai Syafa’at pelan-pelan dan penuh kesabaran membina masyarakat dengan welas asih dan tepo seliro. Tradisi dan budaya masyarakat tersebut kemudian dirubah secara pelan-pelan dan bertahap sesuai dengan ajaran Islam” terangnya.

Penghargaan yang tinggi terhadap adat dan budaya yang dilakukan oleh Mbah Kiai Syafa’at tersebut sejalan dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengutamakan jalan moderat, toleran dan menghargai budaya lokal masyarakat. Membina masyarakat tak semudah membalikkan telapak tangan. Mendakwahkan Islam di masyarakat tidak dengan memukul, tetapi merangkul. Membimbing masyarakat tidak dengan mencaci, tetapi dengan mencintai dan menyayangi.

Kanjeng Nabi Muhammad Saw telah meneladankan bagaimana pola dakwah yang seharusnya dilakukan di masyarakat. Dalam kitab-kitab hadits—Bukhari dan Muslim—diterangkan ada seorang sahabat bernama Nu’aiman. Dia seorang pemabuk. Tapi anehnya, saat mabuk hanya di hadapan Nabi Saw, tidak di pasar atau di tempat-tempat hiburan lain. Hingga para sahabat lain menghardiknya dan mencacinya. Mendengar perilaku sahabat tersebut Nabi Saw bersabda, “jangan memarahinya karena sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya” (la tal’anuhu fainnahu yuhibbullaha wa rasulahu).

Hadits tersebut menjadi salah satu pegangan Ahlussunnah wal Jamaah dalam mendakwahkan Islam. Nabi Saw meneladankan berdakwah secara bertahap, graduatif dan penuh kesabaran. Pola dakwah ini selanjutnya dilanjutkan oleh para Walisongo di Nusantara seperti diuraikan di atas.

Teladan Moderat Mbah Kiai Syafa’at

Memasuki era modern para Kiai melanjutkan tongkat estafet pola dakwah tersebut. Menyadari urgensi dari adat dan budaya yang telah menyatu dan mendarah daging di masyarakat, Mbah Kyai Syafa’at menjadikannya pintu masuk dalam dakwahnya.

Strategi budaya ini, menurut Hisbulah Huda Sani, salah seorang pegawai KUA Tegalsari Banyuwangi yang juga alumnus santri Darussalam, merupakan kontinuitas dari model dakwah Sunan Kalijaga. Mbah Kiai Syafa’at sangat apresiatif terhadap tradisi dan budaya masyarakat.

Muhammad Fauzinuddin Faiz (2015) menuturkan, hal tersebut dilakukan Mbah Kiai Syafa’at dengan cara mendekati, merangkul dan kemudian secara perlahan-lahan mengubah kebiasaan masyarakat yang kejawen hingga mencapai taraf memahami agama seutuhnya, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Dalam praktiknya, upaya tersebut terlihat dari diamininya tradisi pagelaran jaranan yang diadakan para santri Blokagung saat haflah akhirussanah, serta acara silaturahim ke rumah-rumah orang Hindu ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Selain itu, di daerah sekitar pesantren Blokagung masih sering terdapat budaya wayangan dengan dibubuhi mistik dan gerakan yang mengarah pada perbuatan syirik. Setiap kali ada acara wayangan, sempat beberapa santri datang untuk menghentikannya, namun Mbah Kiai Syafa’at dengan tegas melarang. Bahkan Mbah Kiai Syafa’at mengundang beberapa orang ahli dalam pewayangan untuk mengisi pagelaran di pesantren Blokagung.

Pola dakwah Mbah Kiai Syafa’at tersebut dikuatkan oleh para pengasuh pesantren Darussalam Blokagung saat ini KH. Ahmad Hisyam Syafa’at. Dalam beberapa ceramah dan mauizah hasanah yang disampaikan kepada para santri beliau menceritakan kesabaran, keuletan dan kearifannya dalam berdakwah di masyarakat. “Apa yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at merupakan cerminan dari pandangan para Kiai dalam berdakwah. Pandangan tersebut menyatakan bahwa dalam berdakwah para Kiai selalu menatap umat dengan pandangan kasih sayang (yandzuru ila ummah bi ‘aini al-rahmah)” terang Kiai Hisyam.

Di sini peran Mbah Kiai Syafa’at sangat jelas dalam merangkul masyarakat Blokagung yang masih percaya dengan ajaran nenek moyang. Beliau tetap melestarikan budaya wayang namun dengan diasupi pengajian sebelum pagelaran hingga mengubah ritual pra pewayangan dengan beberapa doa-doa dalam Islam.

Dan jaman pun terus berkembang dan berubah. Era Mbah Kiai Syafa’at berbeda dengan era para pengasuh pesantren Blokagung saat ini. Piranti dalam dakwah pun juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kita bisa bayangkan, dari dunia pewayangan yang tradisional, saat ini para pengasuh dihadapkan pada era digital dengan beragam musik dan kesenian modern bahkan postmodern yang melaju pesat di masyarakat.

Namun begitu, menurut KH. Abdul Kholiq Syafa’at, salah seorang pengasuh Pesantren Blokagung dan Kepala Bidang Kependidikan, di era digital pesantren Blokagung tetap dalam prinsipnya “al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengapresiasi tradisi baru yang lebih baik). Dalam beberapa aspek terkait pesantren—pendidikan, ekonomi, agama dan budaya—prinsip tersebut selalu menjadi pegangan dan pedoman.

Dalam konteks budaya, dengan menyesuaikan perkembangan jaman, tradisi pewayangan diganti dengan tradisi orkesan atau musikan dalam upaya dakwah dan mempererat kerukunan antar warga masyarakat dan pesantren.

Blok Agung 3
Dr. KH. Abdul Kholiq Syafa’at, MA dalam sebuah sambutan di Acara Haul Masyayikh Pesantren Blokagung. (Foto: dok. Pesantren Darussalam Blokagung)

Apresiasi para pengasuh pesantren Blokagung yang begitu besar terhadap tradisi dan budaya masyarakat itu sangat mendukung upaya Kementerian Agama RI dalam membumikan moderasi beragama. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI (2014-2019) beberapa waktu lalu diundang dalam acara Pelaksanaan Training of Trainers (ToT) Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh IAIN Kediri bekerja sama dengan Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag RI pada Rabu (22/02/2023).

Pencetus gagasan MB itu menyatakan, “moderasi beragama bukanlah upaya memoderasikan agama melainkan memoderasi pemahaman dan pengalaman kita dalam beragama,” tegasnya. Lebih lanjut Lukman menyatakan empat indikator moderasi beragama penting untuk dipahami dan diingat, yaitu komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi.

Penerimaan tradisi menjadi kata kunci (keywords) pesantren Blokagung untuk terus memupuk rasa kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan di masyarakat. Namun, tetap perlu dipahami bahwa tradisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam-lah yang diapresiasi dan dikembangkan oleh pesantren dalam dakwahnya. Dalam hal ini, pesantren Blokagung berpegang pada kaidah al-‘addah muhakkamah” (adat/tradisi dapat dijadikan landasan hukum).

Di era digital ini, al-‘addah itu dapat dikatakan bertransformasi dalam konsep “moderasi beragama”. “Moderasi beragama hakekatnya adalah ikhitar, proses, yang tidak berkesudahan, upaya untuk bagaimana membangun cara pandang, sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama,” demikian ujar Lukman Hakim Saifuddin dalam dialog di Kemenag Bintan pada Jumat, 12 Mei 2023. Lanjutnya, “MB diperlukan karena realitas keindonesiaan yang majemuk menghadapi banyak tantangan serius sehingga dibutuhkan strategi memperkuat tatanan kehidupan harmonis umat beragama di tengah keragaman”.

Di tengah keragaman masyarakat sekitar pesantren Blokagung tersebut, tradisi orkesan atau musikan di acara haul Masyayikh menjadi daya tarik tersendiri dan perekat tidak hanya antar kaum santri, tetapi juga antar umat beragama dalam memupuk rasa persatuan dan toleransi. Inilah relasi simbiosis mutualis antara dunia pesantren dan budaya masyarakat setempat yang tetap terbangun dan dapat menjadi percontohan bagi penyemaian paham moderasi di tengah-tengah keragaman Indonesia yang kaya.

Dan dalam satu bulan ke depan, tepatnya pada 17 Rajab 1445 H atau 29 Januari 2024 M, Haul Masyayikh Pesantren Darussalam Blokagung akan digelar kembali. Haul KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur ke-34, Ny. Hj. Siti Maryam ke-42 dan Ny Hj. Siti Musyarofah ke-25.

Walhasil, Haul Masyayikh Pesantren Darussalam Blokagung membawa pesan tersirat di hati umat. Lebih dari itu, haul tersebut memberi spirit dan pesan moral bagi terciptanya kerukunan dan keharmonisan serta toleransi di tengah keragaman umat beragama yang ada di lingkungan sekitarnya. Komitmen bersama antar beragam budaya dan agama merupakan pemantik yang mampu menjaga Banyuwangi sebagai miniatur kultur moderasi Indonesia timur. Waallahu a’lam bi al-shawab.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mnfi/malam-puncak-hiburan-potret-kultur-moderasi-pesantren-darussalam-blokagung-dalam-menghargai-tradisi-dan-budaya-lokal-b248735p/