Maqasid Al-Syariah Sebagai Kerangka Teoritis Berijtihad, Benarkah?

Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman. Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena ijtihad menjadi hal yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan hukum.

Ijtihad dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai hal guna, mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum, adalah dengan mempertimbangkan maqasid al-syariah sebagai dasarnya.

Faktanya, teks tidak selalu memberi jawaban yang terperinci dan konkrit atas kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar pasti terhadapnya, terbuka lebar ruang untuk berkreasi, berijtihad dan selalu meluas terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi perkembangan zaman. Al-Syatibi menegaskan bahwa, doktrin maqasid al-syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Karena itu, al-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam. Berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya seperti, an-Nabhani, misalnya dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (aqibah) dari penerapan syariat.

Dari sini sudah jelas bahwa, maqashid al-syariah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan ditetapkan oleh al-syari’ terhadap manusia. Sementara, tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan muamalah) maupun di akhirat (dengan aqidah dan ibadah). Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut, manusia harus memenuhi kebutuhan dharuriat (primer), dan menyempurnakan kebutuhan hajiat (sekunder), dan tahsiniat (tersier).

Baca juga:  Dari Tan Malaka hingga Sukarno Mengkritik Logika Mistik Manusia Indonesia

Menurut Ibnu Qayyim, tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Baginya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah. Karena itu, sekiranya jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam. Senada dengan yang dikemukakan al-Syatibi, ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba.

Tak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama hal nya dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Karena itu, untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, penulis merumuskan tujuan hukum Islam menjadi lima, yang harus bahkan wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Maqashid al-khamsah yang dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.

Secara bahasa “ijtihad” berarti bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Secara istilah ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, dalam hal ini yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah. Abu Zahrah, mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan kemampuan ahli fiqih dalam mengistinbathkan hukum amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.

Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum relevan sekali dengan interpretasi Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah didasarkan pada implikasi yang luas dari sebuah teks Al-Qur’an dan as-Sunnah, yang berbeda dengan aturan langsung dari teks jelas dan terinci, maka teks dan aturan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum.

Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mengatakan: “Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala.” Ternyata hadits ini belum cukup untuk membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya.

Baca juga:  Sajian Khusus: Ngaji Suluk Sunan Muria

Padahal, kita tahu, hadits ini sangat menekankan betapa pentingnya ijtihad. Ini adalah jaminan bahwa seorang mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa dan hukuman. Disisi lain juga, ini adalah bukti akan kuatnya dorongan untuk berfikir, dan memajukan ilmu-ilmu pengetahuan.

Syahdan, fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli yang bisa saja dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Tulisan dan lisan para ulama itulah yang dikenal dengan fatwa keagamaan untuk kepentingan manusia. Kita tahu bahwa hukum Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagian besar ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk mujtahid, maka posisi fatwa sangat memperkuat tindakan ijtihad. Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama, sehingga apabila tidak berijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau lahir fatwa keagamaan.

Tak hanya itu, kadang ijtihad mengalami perubahan yang mendasar, tentu disebabkan beberapa hal pertama, adanya perubahan kepentingan masyarakat, kedua adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf (kebudayaan), ketiga faktor lingkungan, ruang dan waktu, keempat faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak menutup kemungkinan, faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahwa ijtihad itu bersifat kondisional, artinya situasi dan kondisi masyarakat sangat mempengaruhi pola pikir para mujtahid itu sendiri.

Alih-alih ijtihad bersifat kondisional, Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah yang masuk kategori dhanni al-dalalah. Karena itu, hasil ijtihad bersifat dhanni, artinya bukan satu-satunya kebenaran. Bisa saja mengandung kemungkinan lain. Sementara itu, nash yang masuk kategori dalil sharih yang qath’iy al-wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) dan qath’iy al-dalalah (pasti penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk di ijtihadkan.

Baca juga:  Apa Pentingnya Beribadah, Bila Allah Tidak Membutuhkan Sedikit pun Ibadah Kita?

Dalam metode ijtihad, ada dua corak penalaran yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan, dalam hal ini penerapan-penerapan maqasyid al-syari’ah. Pertama penalaran ta’lili, dan kedua istislahi. Corak penalaran ta’lili adalah, penggalian hukumnya yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash.

Makanya, dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta’lili ini mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Sedangkan corak penalaran istislahi adalah upaya pengambilan hukumnya yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Corak penalaran ini tampak pada metode almasalahu al-mursalah dan saddu az-dzari’ah.

Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid alsyari’ah tidak dapat dipisahkan, karena ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu akan berhasil apabila, seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’ah. Karena itu, pengetahuan tentang maqasyid al-syari’ah adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.

Pertanyaannya, benarkah kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam? Ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Kelompok yang mengatakan bahwa, ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Sementara kelompok kedua berpandangan bahwa, ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber itu. Tapi yang jelas bahwa, ijtihad adalah kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang sangat tajam terhadap nash serta, jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek kaidah-kaidah kebahasaan, dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam.

https://alif.id/read/safa/maqasid-al-syariah-sebagai-kerangka-teoritis-berijtihad-benarkah-b241268p/