Maroko dan Sederet Perubahan Sosial yang Dihadapinya

Dalam dunia Islam, Maroko mewakili apa yang telah lama disebut sebagai peradaban Islam “maghrib” dengan kebudayaan yang telah lama berkembang dan mencetak beberapa cendekiawan dan pemikir yang berkonstribusi dalam khazanah pengetahuan Islam lewat karya-karya mereka. Majunya ilmu menunjukkan majunya peradaban yang mereka miliki. Namun sekarang negeri tersebut tampak belum mampu mengulangi kegemilangannya di masa lalu, dan di masa kini, terdapat segelintir permasalahan sosial yang mendera negeri itu.

Maroko merupakan negara yang merdeka pada 7 April 1956 dari Perancis dan dipimpin seorang raja dari Dinasti Alawiyah. Dinasti ini memerintah Maroko semenjak abad 17 dan masih merupakan keturunan dari Nabi Muhammad. Penduduk Maroko berjumlah sekitar 34 juta jiwa yang terdiri dari bangsa Arab dan Berber. Dari segi bahasa yang dipakai, Maroko termasuk negara multilingual yang terdiri dari Bahasa Arab standar, Bahasa Arab dialek Maroko, Bahasa Berber, dan Bahasa Perancis. Dengan bercampurnya masyarakat Arab dan Berber yang telah lama terjadi di sana, menghasilkan identitas khas bagi Arab Maroko yang tidak ditemui di negara-negara Arab lainnya.

Masyarakat Berber yang dikenal sebagai Amazigh mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan identitas Maroko, termasuk pengaruhnya di bahasa. Sedangkan karena penjajahan, Bahasa Perancis tetap menjadi bahasa utama dalam media, bisnis, pemerintahan, dan teknologi. Bahasa Spanyol juga mempunyai tempat di beberapa daerah tertentu.

Bahasa Arab dialek Maroko, atau Bahasa Darija, digunakan sebagai bahasa ibu, perbincangan masyarakat, transaksi sehari-hari. Sedangkan bahasa Berber digunakan di dalam lingkungan keluarga Berber, dan dalam komunitas suku-suku di pedalaman. Mayoritas penduduk Maroko sendiri merupakan keturunan atau mempunyai warisan darah dan kebudayaan dari Berber.

Baca juga:  Studi Islam dan Politik di Indonesia pada Era Polarisasi

Sejak kemerdekaan, Maroko berada dalam posisi antara modernitas dan konservatisme. Pada tahun 60an, 70an, dan 80an, pengaruh budaya dan warisan Perancis masih kuat dalam kehidupan sehari-hari. Namun semenjak tahun 90an, konservatisme yang diwakili Islam fundamentalis menjadi wacana utama dalam perubahan kehidupan social di sana. Maka Maroko berada dalam dilema, antara nilai-nilai Barat yang berhadapan dengan nilai-nilai Arab-Islam, atau juga dalam segi bahasa, antara Bahasa Perancis atau Arab, dan antara Bahasa Arab yang mendapatkan tantangan dari Bahasa Berber.

Bahasa Arab standar (fushah) juga mendapat tantangan dari Bahasa Darija atau Bahasa Arab dialek Maroko, yang secara luas digunakan masyarakat, sehingga ada usaha dari beberapa kalangan untuk menaikkan taraf bahasa ini menjadi bahasa yang digunakan terutama dalam pendidikan. Namun hal ini menjadi perdebatan apakah hal itu menjadi terobosan yang baik atau malah, dari pendapat berbagai kalangan, akan merusak bahasa Arab standar yang telah digunakan selama ini. Selain itu, beberapa cendekiawan yang menolak usulan itu juga mengatakan bahwa Bahasa Darija belum memenuhi standar dan kualifikasi sehingga bisa diangkat tarafnya menjadi bahasa pendidikan. Hal ini sedikit menunjukkan bagaimana Maroko mempunyai krisis identitas terutama dari segi bahasanya.

Bahasa Darija bisa dikatakan sebagai wujud identitas bagi masyarakat karena digunakan secara luas di Maroko, namun tentunya sebagaimana negara Arab seperti yang lain, tentunya Bahasa Arab tidak bisa digantikan begitu saja terutama dalam pendidikan, yang menunjukkan bagaimana status bahasa itu diterapkan.

Baca juga:  Tantangan Regenerasi Guru TPA

Dalam segi ekonomi, terutama pada kalangan muda yang populasinya besar, Maroko memiliki sederet masalah yang harus dibenahi. Sekitar 60% pemudanya keluar sekolah, 20% merupakan pengangguran, 50% mendapat gaji rendah, 20% mengalami gangguan psikis, dan 91% professional (yang berumur 35 tahun ke bawah) ingin keluar dan berkarir di luar negeri. Oleh karena itu, terdapat tiga dilema yang menimpa pada pemuda Maroko, yaitu Hogra, Hrig, dan Hashtag.

Hogra bermakna perasaan lemah dan rendahnya martabat, karena permasalahan yang di alami generasi muda dalam kehidupan sosial, Hrig yaitu perpindahan atau emigrasi terutama ke daratan Eropa untuk kehidupan yang lebih baik menjadi sebuah pilihan yang diinginkan walau melalui cara yang membahayakan, dan Hashtag yaitu intensitas penggunaan media sosial yang digunakan oleh kalangan muda menjadi semacam fenomena baru.

Ketika Musim Semi Arab melanda di kawasan, Maroko tak luput dari fenomena tersebut. Beberapa demonstrasi dilakukan tetapi respon cepat dari kerajaan membuat efek dari Musim Semi Arab tidak sampai pada kondisi kekacauan dan konflik horizontal. Raja menyerukan pada perubahan konstitusi yang ditanggapi baik oleh para demonstran, dan pada akhirnya konstitusi diamandemen pada Juli 2011. Beberapa perubahan penting dalam konstitusi yaitu upaya untuk desentralisasi dengan regionalisasi dan memberikan lebih kekuasaan dewan daerah.  Begitu pula adanya perubahan yang terjadi pada status Bahasa Amazigh yang dinaikkan dan diakui oleh negara. Bahasa Amazigh atau Tamazigh selama ini digunakan secara luas oleh masyarakat Berber.

Baca juga:  Kartu Nikah dan Tantangan Modernisasi Pernikahan

Konstitusi baru juga menjamin dan secara kewarganegaraan dan sosial pada status perempuan yang disamakan dengan laki-laki, dan dibolehkannya organisasi perempuan untuk beraktivitas di Maroko. Selain itu hak pada warganegara dalam kebebasan pikiran, ide, ekspresi, dan kreasi juga menjadi tema yang baru pada konstitusi. Sebelumnya, rakyat hanya diberikan kebebasan berserikat dan berbicara saja.

Perubahan sosial yang terjadi di Maroko berkaitan erat dengan peran gerakan sosial di kalangan masyarakat sebagai salah satu aktor untuk menata ulang tatanan sosial di sana. Untungnya beberapa demonstrasi yang dilakukan dengan tuntutan politik itu ditanggapi dengan cepat oleh raja, jika tidak, mungkin akan menimbulkan konflik seperti yang terjadi pada negara-negara yang terkena imbas Musim Semi Arab lainnya.

Kepustakaan :

Moha Ennaji, Multilingualism, Cultural Identity, and Education in Morocco, (New York: Springer, 2005)

Jillian York, Culture Smart! Morocco, (London: Kuperard, 2006)

Youssef Laaraj, “Doubting Darija: Why It’s Still Controversial to Use Moroccan Language In Classrooms”, artikel, dapat diakses di https://www.moroccoworldnews.com/ 2018/09/254008/controversy-darija-primary-school/

Muhammed Cherkaoui, “Social Capital between State and Society in Morocco”, paper Aljazeera, diakses di http://studies.aljazeera.net/en/reports/2019/01/social-capital-state-society-morocco-reflection-190126150317889.html

Mohammed Madani dkk., “The 2011 Moroccan Constitution: A Critical Analysis”, International IDEA, 2012. Dapat diakses di https://www.idea.int/sites/default/files/ publications/the-2011-moroccan-constitution-critical-analysis.pdf

https://alif.id/read/mca/maroko-dan-sederet-perubahan-sosial-yang-dihadapinya-b244042p/