Januari 2020, atau 2 bulan sebelum kita disergap wabah mematikan, saya mengikuti acara haul Gus Dur ke-10 di Ashram Gandhi Puri, Denpasar. Pelaksana acara ini para santri dari Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Bali dan anak-anak muda para penerus Ibu Gedong. Di rumah, dengan arsitektur khas Bali itu, puluhan orang berkumpul. Mereka duduk lesehan memenuhi seluruh ruang utama, ruang tengah, ruang tamu, di serambi, dan sebagian besar bersila di atas tikar yang digelar di halaman rumah.
Di sana, sang tuan rumah, Ida Rsi Putra Manuaba, bercerita bahwa Gus Dur sering datang di Ashram Gandhi, baik yang ada di Denpasar atau Klungkung (sehari setelahnya saya diajak mengunjungi Ashram Gandhi Puri di Klungkung. Di sini lebih menarik tempatnya, semacam padepokan, ada kamar-kamar, halaman luas lengkap dengan tanaman, dan ada banyak patung. Bung Karno, Nelson Mandela, Dalai Lama, Bunda Teresa, Gus Dur, dan tentu Mahatma Gandhi). Bahkan dia menunjukkan kopiah dan baju Gus Dur yang sengaja memang ditinggal di sana. Enha Muhammad dan teman-teman LTN memainkan musik dan baca puisi.
Saya yang sebetulnya tidak sengaja datang pun diminta bicara. Akhirnya, saya ikut “pegang mik”, ngomong sepatah dua patah kata tentang Gus Dur, seingatnya, sekenanya saja.
“Gus Dur bergaul dengan para pemimpin agama-agama dilakukan dengan tulus. Pertemanan Gus Dur dengan Ibu Gedong, Romo Mangun, Bhante Pannyavaro, TH Sumartana, dan lain-lain, juga tidak sebatas di acara-acara formal seperti seminar, jumpa pers, atau rapat-rapat. Gus Dur bergaul betul, intensif, sebagaimana layaknya kawan dekat. Mereka berlama-lama bicara, menyempatkan bertemu, berkunjung ke rumahnya, makan bersama. Maka kita mendengar Romo Magnes dari STF Driyarka tahu selera makan Gus Dur, kita dengar di rumah Romo Mangun ada tempat sajadah untuk Gus Dur sembayang. Dan baru saja Pak Ida Rsi Putra menunjukkan pada kita semua betapa intens Gus Dur dengan orang Hindu di Bali, hingga teman-teman NU cemburu. Kantornya NU di Bali saja jarang disambangi, malah istirahat Gus Dur di sini, Ashram Gandhi, yang Hindu ini.”
Intensitas pertemanan mereka, kata saya, membuat Gus Dur bisa melontar humor tentang agama Yahudi, Islam, Kristiani, Konghucu, hingga kepercayaan-kepercayaan lokal.
“Humor agama-agama tidak saja menunjukkan Gus Dur punya bacaan yang luas tentang berbagai keyakinan, tetapi juga karena faktor kedekatan dengan tokoh-tokohnya.”
Tentu saja saya tidak dapat bicara dengan lancar, grogi lantaran mendadak dan tidak mengenal hampir semua yang hadir. Di sana saya berusaha menyampaikan salam ala Hindu, yang sering Bu Megawati sampaikan, “Om swastiastu namo buddhaya, salam kebajikan.” Dengan pelan dan hati-hati saya lafalkan itu. Cilakanya, sampai sekarang, saya tidak paham betul arti salam itu.
Namun, saya bilang, meskipun pergaulan itu tulus, Gus Dur punya kesadaran politis. Tindakan dan akhlak Gus Dur tidak semata-mata perintah agama bahwa orang hidup harus saling mengenal, tenggang rasa, damai, dan sederet anjuran-anjuran etis lainnya. Gus Dur menginginkan bahwa tokoh agama harus punya peran untuk melakukan “perubahan sosial”. Frasa “perubahan sosial” ini Gus Dur ini bermuatan politis. Lebih-lebih jika kita menengok konteks waktu itu, yakni situasi otoritarianisme Orde Baru.
Hebatnya lagi, pergaulan Gus Dur dengan tokoh agama level nasional dibarengi dengan ide-idenya yang ditulis secara sistematis melalui esainya yang terbit dalam berbagai bentuk; pengantar buku, kolom di media massa, dan makalah seminar. Sekarang ini, catatan-catatan dia tentang pergulatan agamawan-agamawan dari India, Afrika Selatan, Argentina, Tibet, Mesir, Iran, Turki, Amerika, dan lain sebagainya bisa kita baca dalam berbagai bukunya. Sampai di sini, kita memahami bahwa keterlibatan Gus Dur dalam gerakan sosial (jadi frasa kunci aktivisme era Orde Baru), tidak semata-mata karena dekat dengan kalangan NGO, tetapi juga oleh berbagai gerakan sosial berbasis keagamaan oleh para agamawan di berbagai belahan dunia.
Sekedar contoh. Gus Dur menulis sebuah artikel berjudul “Benarkah Kiai Membawa Perubahan Sosial?”.
Dalam tulisan tersebut, dia menyebut perjuangan para tokoh agama banyak negara yang gigih berjuang membangun kesadaran bersama untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan teratur Gus Dur mention gerakan tanpa kekerasan Mahatma Gandhi di India, Vinoba Bhave yang memelopori landreform, juga di India. Lalu dia ceritakan pula para pimpinan gereja di Afrika Selatan yang menggugat represifnya rezim kulit putih dengan kebijakan apartheid.
Masih di tulisan yang sama, Gus Dur “menghadirkan” Martin Luther King Jr. memimpin perjuangan anti-segregasi bangsa kulit berwarna di Amerika Serikat. Cucu Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari itu juga menyelipkan nama-nama dan gerakan sosial yang belum akrab di telinga kita seperti Gerakan Sarvodaya di Sri Lanka melakukan emansipasi nasib manusia, aktivisme Bar Kokhba, pemuka di kalangan bangsa Yahudi.
Dan tidak lupa, di tulisan yang ditulis untuk mengantarkan buku berjudul “Kyai dan Perubahan Sosial karya Hiroko Horikoshi, antropolog dari Jepang ” (P3M, 1987), Gus Dur menyebut tradisi puputan di kalangan kaum Hindu di Bali. Dari buku yang mengulas kiai di pedalaman Cipari, yaitu kiai Yusuf Tajri, kita dibawa wawasan yang luas sekali. Luar biasa bukan?
Kalau kita baca tulisan-tulisan Gus Dur, kisah-kisah para tokoh agama bukan sekali dua kali muncul, melainkan cukup sering. Untuk apa Gus Dur menulis peran-peran tokoh agama?
Pertama untuk melawan kecenderungan kaum sekuler yang dengan ceroboh melupakan, bahkan menyingkirkan peran agama dan para pimpinannya untuk kehidupan masyarakat luas yang lebih baik, melepaskan diri dari ketertindasaan, kemiskinan, dan cerai-berai.
Kedua, mengambil kepimpinan gagasan. Gus Dur dengan kekuatan ilmu, kharisma, dan komunitas NU atau pesantren yang besar, berdiri di tengah-tengah keragaman agama-agama, membuat narasi-narasi besar seperti, keadilan, kemanusiaan, kebangsaan, keagamaan, Ketuhanan. Gus Dur juga melontarkan narasi-narasi kecil seperti cerita rakyat, pewayangan, humor, seni musik, hingga bola, di forum-forum penting atau esai-esainya.
Ujungnya, ini alasan ketiga kenapa Gus Dur menulis dan menghormati tokoh-tokoh agama, yaitu untuk membangun solidaritas bersama di tengah rezim otoriter Orde Baru/tentara. Kita semua tahu, di satu sisi, yang ditekan habis-habisan bukan cuma minoritas, Tionghoa misalnya, tetapi juga NU, Nahdliyin, masyarakat pesantren yang merupakan elemen besar bangsa ini. Di sisi lain, kita tahu juga, rezim Soeharto, memberi jalan, fasilitas, privilese pada segelintir Tionghoa dan beberapa kelompok muslim. Dari sini kita tahu pula bahwa Soeharto adalah pewaris terbaik praktik politik pecah-belah gaya penjajah Belanda.
Namun sialnya, Gus Dur dituduh macam-macam oleh kalangan Islam sendiri, bahkan oleh kiai-kiai. Saat saya mendengar langsung ceramah Gus Dur di Pesantren Krapyak Jogjakara mungkin tahun 1997, yang salah satu isinya menceritakan protes Yusril Ihza Mahendra kepada dirinya, “Yusril mempertanyakan kedekatan saya dengan agama umat Kristiani dan lain-lain dengan ayat asyiddau alal kuffar..”
“Lah ini gimana sih? Ayat itu ada dimaksudkan untuk kafir Quraisy Mekkah yang memerangi Nabi Muhammad.. Paham apa tidak? Buka saja kitab-kitab tafsir,” kata Gus Dur dengan nada tinggi. Dalam kesempatan itu, Gus Dur juga menjelaskannya kedekatannya dengan Permadi, tokoh Kejawen, yang terkenal dengan bajunya yang selalu berwana hitam-hitam.
“Sudah, percaya sama saya, masa saya cari wangsit kepada PakPermadi. Saya lebih tahu di mana saya harus cari wangsit,” kira-kira begitu kata Gus Dur, jemaah tertawa mendengarkan candaan Gus Dur yang serius itu.
***
Bagaimana, masihkah kita curiga kepada Gus Dur, terkait keakrabannya dengan tokoh agama-agama?