Bertepatan di hari Jumat, 28 Juli 2023, kami mengunjungi Masjid Suciati Saliman, di Jalan Gito Gati, Pandowoharjo, Sleman, Yogyakarta. Kami tiba kurang lebih tiga jam sebelum dilaksanakan salat Jumat. Kedatangan kami disambut dengan pemandangan ibu-ibu yang tengah sibuk menyiapkan kotak nasi untuk para jamaah, ditata rapi di halaman masjid.
Sudah menjadi hal lumrah di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, setiap hari Jumat, pengurus masjid menyediakan makanan untuk dibagikan kepada jamaah usai salat Jumat.
Masjid Suciati diresmikan pada 13 Mei 2018, dibangun oleh almarhumah Ibu Suciati Saliman Riyanto Raharjo, seorang pengusaha potong ayam ternama di Sleman-Yogyakarta. Masjid yang dibangun di atas lahan 1600 meter persegi ini dibuat persis arsitekturnya dengan Masjid Nabawi di Madinah, namun tetap ada sentuhan lokal, khas Jawa-Yogyakarta.
Atie Raharjo, putri pertama dari Ibu Suciati menuturkan, bahwa bangunan ini dibuat semirip mungkin dengan Masjid Nabawi di Madinah, namun dibalut dengan kearifan lokal, arsitekturnya ada nuansa jawa dan arabnya.
“Kenapa kubahnya itu limas, karena kami tidak jauh dari Gunung Merapi, struktur limas itu lebih friendly di kawasan Jogja. Ada lima menara, yang satu besar dan lainnya kecil, hal ini menggambarkan bahwa rukun islam. Sementara arsitek di bawah ada sembilan pintu, yang melambangkan Walisongo, yang menyebarkan syiar Islam di Indonesia,” ujar Atie.
Ruang Rindu dan Kesedihan
Memilih tema Masjid Nabawi karena ada alasan tertentu dari almarhumah Ibu Suciati. Menurut cerita dari Atie, pada tahun 2013, Bapak Saliman (suami Ibu Suciati) wafat, setelah berjuang melawan penyakit Parkinson selama 20 tahun. Kebetulan waktu itu Ibu Suciati sedang menjalankan ibadah umroh, dan posisinya sedang berada di Masjid Nabawi. Tidak sampai di situ, setahun kemudian, tahun 2014, Ibu Dopo, ibu dari almarhumah menghadap ilahi rabi. Dua tahun Ibu Suciati dirundung kesedihan yang tak terbendung. “Sejak saat itu, ibuk selalu ingin umroh dan beliau ingin tinggal di sana, karena merasa nyaman.”kenang Atie.
“Akhirnya, kami, anak cucunya membujuk supaya bisa bermanfaat lagi membuat masjid yang mirip, melepas kangen dan bermanfaat, dan bisa membuat legacy perusahaan lebih bermanfaat ke masyarakat luas, dan juga legacy buat anak cucunya, semua kegiatan berpusat pada kemaslahatan umat,” tambah Atie.
Perlu diketahui bahwa di seberang jalan dari Masjid Suciati adalah bangunan pabrik olahan ayam milik keluarga Ibu Suciati dan Bapak Saliman. PT Saliman Riyanto Raharjo, salah satu pelopor rumah potong ayam modern di Indonesia. Selain membangun masjid, keluarga Suciati juga membuat lembaga pendidikan, seperti Madrasah Diniyyah Takmiliyah, Madrasah Mualaf, dan Pondok Pesantren. Adapun kegiatan yang ada di semua lembaga tersebut, menjadikan masjid sebagai media bertemu dan mendakwahkan Islam.
“Harapan dari keluarga kami, kami bisa melanjutkan alim ulama, bisa mengakomodir penyebaran islam yang lebih elegan, dan kami juga menyediakan tempat untuk pertemuan bisnis, mewadahi ibu-ibu muslimah masa kini, selain jadi ibu rumah tangga juga bisa menopang keluarga”, harap Atie.
Masjid dibangun memang tidak bisa kita lihat dari kemegahan saja, “buat apa megah tapi fasilitasnya tidak bisa mengakomodir masyarakat. Syiar Islam itu tidak bisa hanya online, tapi dengan bertemu, silaturahmi, lalu mendatangkan rejeki, masjid dibuat ziarah bisa mendatangkan ekonomi masyarakat sekitar,” tambah Pembina dari Yayasan Suciati Saliman ini.
Beberapa sudut di dalam ruangan masjid ini juga di desain untuk kegiatan sosial dan keagamaan, seperti pernikahan, seminar, training, dan pengajian.
Kegiatan di Masjid Suciati
Mengenai kegiatan di masjid, Pengasuh Madin Masjid Suciati, Elfa Agus Maghfuroni menuturkan bahwa antusiasme masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya lumayan tinggi, hingga pengurus membuat rentang jarak supaya kegiatan bisa maksimal.
“Jarak yang diutamakan 50-100 meter di sekitar sini, namun pernah ada santri yang rumahnya 19 km, akhirnya kami buat peraturan maksimal santri terjauh 12 km. Daya tarik untuk sekolah di sini subyektif, disamping imej dari masjid, yang menjadi daya tarik. Namun kami tidak hanya mengandalkan bangunan masjid, mungkin soal kurikulum, mengacu pada Kemenag mengenai pendidikan diniyyah, dan juga ada pengembangan di lingkungan internal yang hampir 95 persen di tempat kami paperless, mulai administrasi staff, santri masuk, ujian, rapot, semua berbasis online, Selain itu, program-program yang lain, ada kegiatan hadroh, tahfidzul quran, dan khotmil quran, binnadzri dan bilghoib,”ujar ustaz yang akrab disapa Ipung.
Sementara Pondok Pesantren Suciati Saliman berdiri tahun 2022. Kegiatan di pesantren ini awalnya dikhususkan santri putri yang takhassus alquran dan penguatan kitab kuning. “Menghafalkan alquran dan mengkaji kitab kuning, lalu santri kita libatkan aktif di Masjid Suciati. Adapun pengelolaan pesantren di bawah naungan Yayasan Suciati Saliman Raharjo. Yayasan punya rumah besar, yang di dalamnya ada pesantren, madrasah diniyyah takmiliyyah, madrasah muallaf, lembaga ekonomi, BMT, dan DKM.”ujar Ahmad Fathurrohman Rustandi, pengasuh Ponpes Suciati.
Pada hari di mana kami liputan, malam harinya, kebetulan bertepatan dengan kegiatan rutinan malam Sabtu Legi, yakni pembacaan Maulid Simtudduror dan Asmaul Husna, yang diasuh oleh Habib Umar Zaky bin Abu Bakar Assegaf. Habib Zaky mengungkapkan bahwa kegiatan atau tradisi seperti pembacaan maulid tujuannya adalah untuk mengingat Allah dan sejarah Nabi Muhammad. “Kita bisa mengambil ibrah, sehingga diharapkan pulang dari acara itu supaya lebih dekat kepada Allah,” ujar ulama asal Solo ini.
Filosofi Urip iku Urup Ibu Suciati
Sebagaimana yang diutarakan oleh Atie, bahwa almarhumah Ibu Suciati ingin meninggalkan legacy yang bisa memberikan manfaat ke banyak orang dengan filosofi Jawa urip iku urup. “Urip itu hidup, urup itu menyala, yang bisa diartikan bermanfaat. Jadi memang kami punya usaha olahan ayam ini pada dasarnya untuk memenuhi, memberdayakan masyarakat sekitar, bisa buat usaha berkelanjutan dan berkesinambungan, sehingga kita bermanfaat buat orang banyak, bisa menghidupkan, minimal doanya mengalir, karena kami bukan dari keluarga kiai atau ustaz yang punya banyak santri, kami berusaha hidup kami bermanfaat,” terang Atie.
Atie juga mengenang sosok ibu dengan pesan-pesannya. Petama adalah Wajib Hangrukepi, artinya kita harus melindungi. Kedua, Melu Handarbeni, wajib merasa memiliki, semua legacy ibu, perusahaan, itu harus diturunkan ke anak cucunya. Supaya anak cucunya wajib merasa memiliki. Ketiga, Mulatsari Rohang Rosowangi, tahu potensi dan tahu kekurangan. Siapa kita tidak boleh keminter, tidak boleh bener sendiri. Kalau kita tidak mampu jangan sekali-kali melakukan, kalau tidak paham ilmunya, jangan melakukan agar tidak merugikan orang banyak. Masing-masing anak cucunya didorong sesuai passionnya.