Perkembangan Islam di Banyuwangi atau yang dulunya dikenal dengan Blambangan tidak dapat dipungkiri bahwa pada era-era sebelumnya terjadi sebuah dialektika antara Hindu lokal—animisme/dinamisme dan Islam pada masa Kerajaan Blambangan.
Peran pendakwah Islam di bumi Blambangan muncul satu nama Abdurrahim Bauzir atau yang kiat disapa Datuk Malik Ibrahim yang masyhur di kalangan masyarakat sekitar. Dalam hasil riset Arif Subekti yang bertajuk “Ekspansi Kompeni Hingga Sanad Kiai-Santri: Sejarah Islamisasi Ujung Timur Pulau Jawa Abad XVII—XX”, Datuk Ibrahim merupakan seorang Ulama pendakwah Islam dari Yaman yang masih ada hubungan darah dengan bani Hasyim yang singgah ke Nusantara pada 1770 M, take record dakwahnya juga tersebar di Loloan, Jembrana, Pulau Bali. Kini Datuk Malik Ibrahim dimakamkan di Banyuwangi Kota.
Selain datuk Ibrahim, proses Islamisasi di tanah Blambangan sisi Barat tepatnya di Dusun Krajan, Desa Kalibaru Manis, Kecamatan Kalibaru dan sekitarnya, terdapat satu sosok pendakwah Islam yang rekam jejaknya tidak umum diketahui banyak kalangan. Yakni Syekh Sayyid Abdullah atau akrab disapa “Mba Kemis”(Buyut/Mbah/Sesepuh), merupakan salah satu pendakwah Islam dan seorang wali Allah di tanah Kalibaru.
Berhubung letak georafis Kecamatan Kalibaru berdekatan dengan Kabupaten Jember, tidak heran dialektika masyarakat setempat didominasi bahasa Madura. Maka dari itu julukan “Mba” kepada Syekh Sayyid Abdullah dalam grammatical bahasa Madura berati “sesepuh”, yang digunakan masyarakat sekitar sebagai bentuk rasa penghormatan dan memuliakannya. Julukan “Kemis/Kamis” konon karena ditemukannya makam Sayyid Abdullah tersebut oleh masyarakat setempat tepat di hari Kamis.
Sayyid Abdullah konon yang masyhur dari pengakuan masyarakat dan beberapa Ulama setempat merupakan adik dari Abdurrahim Bauzir (Datuk Malik Ibrahim) Banyuwangi. Rekam jejak dakwah Sayyid Abdullah di wilayah Kalibaru bisa dipastikan tidak jauh dari tahun dimana Datuk Ibrahim menanam dakwahnya di tanah Blambangan, yakni berkisar pada tahun 1770 hingga 1800-an.
Seperti ulama pada umumnya, Sayyid Abdullah gigih dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa, tepatnya Banyuwangi sisi Barat. Misi utamanya yaitu menegakkan akidah Islam dengan pendekatan budaya secara perlahan sebagaimana para Walisongo yang kala itu penduduk Kalibaru masih menggenggam erat animisme—dinamisme dan percaya kepada roh-roh.
Dari buah dakwahnya yang bisa kita lihat Islam di Banyuwangi khususnya Kalibaru mengalami perkembangan yang signifikan yang ditandai dengan mulai berdirinya bangunan masjid dan beberapa pesantren. Tidak diketahui secara pasti biografi Sayyid Abdullah secara lengkap mulai dari tanggal lahir hingga peran atau perluasan dakwahnya di Banyuwangi, karena keterbatasan sumber dan minimnya referensi literatur.
Tidak diketahui secara pasti wafat dan mulai ditemukannya makam Sayyid Abdullah, bahkan hingga kini pun informasi warga sekitar dan yang beredar di beberapa media sosial belum menunjukkan data-data yang relevan. Awal kali ditemukan dalam cerita masyhur penduduk setempat masih berupa tumpukan batu yang disusun sebagaimana makam-makam kuno terdahulu.
Makam Mba Kemis terletak di lereng Gumitir, yaitu sebuah bukit yang menjadi perbatasan antara Banyuwangi dan Jember. Akses menuju makam Mba Kemis pun terkadang sedikit terkendala karena masih berupa jalan tanah dan sebagian susunan batu. Tidak heran jika musim nembherek (Bahasa Madura lokal)/penghujan aksesnya kerap licin.
Antusias peziarah lokal (masyarakat Banyuwangi) dalam ngalap bearokah ke makam Mba Kemis tidak bisa dipungkiri setiap minggunya ramai dikunjungi. Dari absensi data tamu yang hadir dari beberapa kecamatan di Banyuwangi, diantaranya Srono, Glenmore, Rogojampi, Genteng, dan Kecamatan lainnya. Bahkan peziarah yang datang dari luar kota dan pulau, mulai dari Bondowoso, Situbondo, Jember, Jakarta, Jawa Barat, Pasuruan, Surabaya, Madura, Probolinggo, Lumajang, bahkan pulau Bali.
Hingga saat ini, peziarah ramai berkunjung ke makam Mba Kemis terutama hari Kamis sore-malam Jum’at. Bahkan setiap malam Jum’at legi (dalam kalender Jawa), masyarakat setempat menggelar istighasah bersama yang diyakini akan mendapat keberkahan dunia akhirat dengan perantara Syekh Sayyid Abdullah.
Kini makam Mba Kemis sejak beberapa puluh tahun terakhir sejak ditemukannya direnovasi dan diperlakukan sebagaimana Ulama sesepuh pada umumnya. Namun, seiring berjalannya waktu nampaknya gubuk/penutup makam Sayyid Abdullah membutuhkan perhatian dan pembangunan lebih.
Wallahu a’lam.