Memandu Shalat dengan Microfon Tanpa Mengikuti Shalatnya, Boleh atau Tidak?

Laduni.ID, Jakarta – Permasalahan mengeraskan suara bagi yang bukan imam sebenarnya sudah tuntas dibahas sejak jaman dulu.  Para Sahabat juga sudah melakukannya dan tidak dilarang oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ada beberapa contoh yang semisal ini di jaman Kanjeng Nabi.  Ada yang sama sekali berbeda tetapi ada sedikit kemiripannya, ada juga yang agak mirip dengan hal ini.

Kisah pertama,  ialah ketika Kanjeng Nabi SAW meminta Sayyidina Abu Bakar RA untuk mengimami shalat ketika beliau kurang enak badan.

Ternyata ketika sholat akan didirikan beliau sudah bisa sholat.  Kemudian beliau menunaikan shalat.  Uniknya,  Sayyidina Abu Bakar bermakmum kepada Kanjeng Nabi,  sedangkan Umat Islam sholat berjamaan diimami oleh Sayyidina Abu Bakar. 

Kisah kedua,  ketika jamaah sholat jumlahnya sangat banyak,  maka ada Sahabat yang berinisiatif mengeraskan bacaan setiap pergantian pergerakan shalat.

Dan ternyata hal ini direstui Kanjeng Nabi dan diakui efektifitasnya oleh Sahabat lainnya. Bahka terkadang dalam satu sholat terdapat banyak makmum yang ikut mengeraskan bacaannya.

Setelah jaman Kholifah Sayyidina Utsman Bin Affan RA,  Umat Islam semakin banyak dan jumlah peserta sholat berjamaah juga semakin banyak.  Sehingga diperlukan pemandu sebagai penguat suara Imam ketika Shalat. 

Maka ditempatkanlah orang-orang yang bertugas di tempat-tempat tertentu.  Di kemudian hari,  aktivitas ini disebut sebagai tabligh dan orangnya disebut Muballigh.

Seiring berjalannya waktu,  mulai terjadi pertanyaan apakah Muballigh ini harus menjadi makmum sholat?  Nah dalam hal ini Imam Madzhab berbeda pendapat.  Ada yang mengatakan harus menjadi bagian dari makmum sholat.  Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Muballigh tidak harus ikut sholat.  Sebab,  syarat menjadi Muballigh adalah bisa melihat gerakan Imam secara langsung.

Sehingga dalam satu Masjid besar dengan jamaah yang sangat banyak harus ditempatkan beberapa Muballigh. Supaya para jamaah tidak tertinggal dengan Imamnya.  Apalagi Ulama bersepakat bahwa makmum yang tertinggal lebih dari 2 gerakan Imam bisa membatalkan shalat.

Kemudian seiring berjalannya waktu, ditemukanlah teknologi pengeras suara.  Pada waktu itu sempat ditolak oleh para Ulama Saudi Arabia, lebih memilih menggunakan Muballigh daripada mengunakan speaker bagi Imam.  Terutama di Masjidil Haram.

Sebab, disamping tidak ada contohnya jaman Nabi juga dalam prakteknya terdapat sudut-sudut yang suaranya tidak terjangkau oleh Imam pada masa itu. 

Di sisi lain,  Madzhab yang dipakai di Arab Saudi membuat aturan menjadi tidak fleksibel.  Kemudian,  ada Ulama dari Mesir yang mengqiyaskan bolehnya membaca Al Quran dengan menggunakan kacamata sebagai alat bantu. Sehingga pendapat ini diterima oleh Ulama Saudi Arabia.

Lalu dibuatlah aturan baru bahwa Imam Sholat menggunakan mikrofon dan terdapat Muballigh cukup satu saja tetapi suaranya dibuat bisa didengar oleh seluruh jamaah di Masjid terbesar di dunia ini. 

Artinya, tradisi Muballigh sudah ada sejak dulu dan tidak perlu dipermasalahkan. Adapun Muballigh mengikuti shalat atau tidak juga tidak perlu dipermasalahkan.

Yang jadi masalah ialah pertama: asas kepatutannya. Dengan jamaah terbatas seperti itu apakah suara imam tidak bisa didengar jamaah sehingga harus diberi Muballigh?

Kedua: menyelisihi kelaziman mayoritas umat Islam. Sehingga menimbulkan berbagai komentar aneh dan berpotensi merusak persatuan umat.  Sebab hal semacam ini sangat tidak lazim dilakukan di sini. Sedangkan pengamalnya sendiri belum tentu paham dasar-dasar dalil pengamalannya. Hanya kebetulan saja ada pwndapat Ulama yang memperbolehkan.

Ketiga,  bukankah dilokasi tersebut terdapat Masjid. Mengapa harus sholat di pinggir jalan sedemikian rupa?

Mari perkuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah kita. Jangan sampai mudah menghakimi sekalipun kita tidak cocok.  Namun,  kita wajib tetap waspada,  jangan sampai terpengaruh dengan kelompok yang maunya tampil beda.

Atau tampil bedanya dilakukan tanpa ilmu.  Hanya ngepasi bisa dicari celah dalil sebagai pembenarannya.  Padahal sebenarnya hanya kebetulan saja, bukan karena benar-benar tahu ilmunya.  Waspadalah.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.  Sesungguhnya pendengaran,  penglihatan dan hati , semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (QS Al Isro’: 36).


Shuniyya Ruhama (Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri Kendal)

https://www.laduni.id/post/read/74542/memandu-shalat-dengan-microfon-tanpa-mengikuti-shalatnya-boleh-atau-tidak.html