Membaca Kisah Perjuangan KH Muhammad Syatibi, Ulama Terlupakan dari Sumedang 

Suatu ketika, salah seorang aktivis Muslimat NU di Jawa Barat pada tahun 1980-an, Hj. Mariam Kanta Sumpena melewati, sedang berkunjung ke pelosok Sumedang. Waktu itu kebetulan dalam keadaan gerimis. Ia yang berada dalam sebuah kendaraan merasa waswas karena jalan yang tak begitu bagus dan menanjak.

Di depan sana, ia melihat iringan beberapa orang yang sedang mendaki. Mereka dipimpin seorang tua bersarung, berkopiah, berjas, sementara tangan kanannya memegang daun pisang. Pengiringnya pun sama persis melindungi diri dari hujan dengan daun pisang.

Ketika kendaraan yang ditumpanginya sejajar dengan iringan itu, Mariam Kanta Sumpena menengok ke arah pemimpin irangan itu. Ia kaget bukan main. Dia mengenalnya, itulah Mama Ajengan KH Muhammad Syatibi, Imam Besar Masjid Agung Sumedang. 

Mama Syatibi memang dikenal publik Sumedang melakukan dakwah ke kampung-kampung sepanjang hidupnya. Baru sekitar dua atau tiga tahun terakhir sebelum tutup usia, ia mengurangi aktivitasnya. Bukan karena pensiun, tapi kondisi fisiknya yang tak memungkinkan.  

KH Muhammad Syatibi (1901-1987) atau dikenal dengan panggilan Mama Syatibi kurang mendapatkan perhatian dalam penulisan sejarah ulama-ulama Sunda, baik oleh penulis secara umum, maupun oleh penulis dari organisasi yang diperjuangkan selama hayatnya yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Padahal, jika ditilik dari kiprahnya ia sangat berperan menonjol, terutama di wilayah Sumedang.

Untuk melihat perannya, mari kita lihat riwayat pengabdian di pemerintah pada bagaian keagamaan yang diembannya sejak masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan. Hal itu dilakukannya sepulang berguru ke ulama-ulama masyhur pada zamannya di berbagai wilayah.   

Mama Syatibi mulai mengabdi di wilayah Sumedang sejak tahun 1925 saat ia masih menimba ilmu di Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung yang waktu itu dipimpin KH Ahmad Dimyati atau Mama Gedong. Ia ke Sumedang atas permintaan Dalem Bintang atau R.H. Muhammad Hamim. 

Dalem Bintang meminta Mama Syatibi untuk mengembangkan agama Islam di wilayahnya untuk menjadi Imam Besar Masjid Agung Sumedang. Untuk mendukung perintahnya itu, Dalem Bintang mewakafkan sebidang tanah kepada Mama Syatibi untuk tinggal dan lembaga pendidikan. 

Kemudian Mama Syatibi Madrasah Islamiyah Sumedang (MIS). Madrasah ini masih berdiri sampai saat ini, tak jauh dari Masjid Agung Sumedang. Plangnya masih ada di depan SMPNU dan SDIT As-Samadani yang kini dikelola tokoh-tokoh NU Sumedang. 

Pada tahun 1930-1945 Mama Syatibi mengemban amanah sebagai Ajun Penghulu Sumedang. Setelah itu, pada tahun 1945- 1947 ia mengemban amanah    sebagai Penghulu Landarrad atau Penghulu Negeri Sumedang. Lalu pada tahun 1947 – 1950 ia mengemban amanah sebagai Penghulu/Kepala KUA Sumedang. Pada tahun 1950- 1961 ia mengemban amanah sebagai kepala Pengadilan Agama Kabupaten Sumedang. Pada tahun itu, ia terjun ke wilayah politik dengan menjadi anggota DPRD TK. II Kabupaten Sumedang sejak tahun 1961 – 1966.

Pada saat yang sama di samping aktivitasnya itu, Mama Syatibi juga aktif di organisasi kemasyarakatan. Pada tahun 1950 -1955 ia menjadi Ketua Syuro Masyumi Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1955 – 1983 menjadi Rais Syuriah PCNU Sumedang. Pada tahun 1971 – 1987 menjadi Wakil Rais PWNU Jawa Barat. Pada saat yang sama, dari tahun 1971 – 1987 ia merupakan Ketua Majelis Ulama Kabupaten Sumedang.

Riwayat Mencari Ilmu 

Baca juga:  Haul Mbah Muchit: Sang Kiai Pencinta Literasi

Mama Syatibi lahir di Cicalengka, Kabupaten Bandung pada 1901. Ayahnya, KH Jazuli merupakan seorang pemuka agama yang merupakan trah dari Kerajaan Sumedang Larang. Tak heran kemudian Mama Syatibi dipanggil Dalem Sumedang untuk memimpin Masjid Agung karena memang masih satu garis keturunan. Meski demikian, sepanjang hayatnya, Mama Syatibi tak mau menampakkan gelar raden mengiringi nama depannya. Bahkan, wasiat sebelum meninggal pun, ia ingin dikebumikan bersama masyarakat umum. Padahal dia ditawari peristirahatan terakhir di komplek makam raja-raja Sumedang dan keturunannya. 

Sejak kecil, Mama Syatibi memang hidup bersama masyarakat, bersama anak-anak rakyat, jauh dari kemewahan turunan bangsawan. Orang tuanya mengirimkan ke lembaga pendidikan rakyat, yaitu pesantren. Sepertinya Mama Syatibi kerasan dengan pendidikan semacam itu. Terlihat dari perjalanannya menari ilmu dari satu ulama ke ulama lain di berbagai tempat. 

Selepas dididik di keluarganya, Mama Syatibi berguru ke Pesantren Panguyangan, sebuah pesantren yang didirikan oleh Mama Panguyangan atau Mama Isya, santri Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Pada saat berguru ke pesantren itu, Mama Syatibi nyantri kepada putranya Mama Isya, yaitu KH Raden Muhammad Amin.

Selepas dari pesantren itu, Mama Syatibi berguru ke Pesantren Sarjaya Sindanglaut (Cirebon), lalu ke Pesantren Al-Fauzan (Garut), lalu Pesantren Keresek (Garut). Pesantren ini didirikan oleh yang merupakan santri dari Syaikhona Kholil Bangkalan. 

ke Pesantren Sukaraja (Garut), ke Pesantren Gentur (Cianjur). Di pesantren inilah, Mama Syatibi berguru kepada KH Ahmad Syatibi. Di pesantren ini pula, Mama Syatibi yang semula bernama Epen, diganti oleh gurunya itu menjadi Muhammad Syatibi. 

Selepas dari Gentur, Mam Syatibi berguru ke Pesantren Sukamiskin. Pondok Pesantren Sukamiskin berdiri pada tahun 1875 oleh seorang ulama besar KH Raden Muhammad Alqo, santri dari dari Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dengan demikian Mama Syatibi berguru kepada putra dari tiga santri Syaikhona Kholil Bangkalan. Kemudian pada waktu naik haji tahun 1923 ikut belajar mengaji pada ulama besar Mekkah yang berasal dari Bogor yaitu KH Mukhtar Natanegara sampai dengan tahun 1924.

Kiai Unta

Baca juga:  Makam Raden Hasan Mustapa; Budayawan Sunda Modern

Mustasyar PBNU KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) pada sebuah ceramahnya, sebagaimana dimuat Alif.id, membuat kategori sederhana tentang kiai. Pertama kiai ka’bah, kedua, kiai unta. Menurut Gus Mus, kiai ka’bah adalah kiai yang hanya tinggal di rumahnya. Paling jauh hanya mengelilingi pesantrennya dan ke masjid. Kiai seperti itu malas bersilaturahim dengan masyarakat. Maunya dikunjungi dan malas mengunjungi. 

Sementara kiai unta, Gus Mus menjelaskan kiai unta. 

“Kiai Unta, jenis kiai yang bersedia jalan jauh di guruan pasar, tahan lapar, bersedia membawa beban berat dan menghantarkan hinga tujuan, mampu beradaptasi dengan segala macam kondisi. Kiai ini tak lelah dan tak bosan silaturahim ke semua lapisan masyarakat, ke kiai-kiai,” terang Gus Mus dengan serius.

Menurut Gus Mus, contoh terbaik dari kiai unta adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. 

Jika ditilik dari kedua jenis kiai itu, KH Muhammad Syatibi adalah jenis kiai yang kedua. Berdasarkan informasi dari keluarganya, kita bisa mengetahui kekuatan silaturahimnya, berdasarkan aktivitas kesehariannya. 

Mama Syatibi, tiap hari mulai terbangun antara pukul 03.00-04.00. Jika masih ada waktu, selepas shalat malam, ia melakukan muthalaah kitab-kitab di kediamannya. Sebelum subuh tiba, ia sudah duduk di Masjid Agung Sumedang di shaf paling depan. Ia kemudian menjadi imam atau menjadi makmum saat ajengan lain menjadi imam. 

Setelah shalat subuh, ia tak pernah meninggalkan wiridan. Jika hari Jumat dia akan menyampaikan ceramah. Saat itulah, tak sedikit jamaah dari sekitar masjid-masjid terdekat sengaja mendirikan shalat subuh di masjid agung demi mendengar ceramahnya. 

Di luar hari Jumat, selepas subuh, dia mengajar di majelis taklim di samping rumahnya dengan sistem sorogan. Para sanntrinya anak-anak sekitar kampung Kaum dan anak-anak pegawai Depag. Juga puluhan santri yang tinggal di sekitar Kaum. Rutinitas itu berlangsung mulai pukul 05-08. 

Kemudian ia mempersiapkan diri untuk berangkat mengaji rutin ke daerah-daerah, biasanya di masjid besar tingkat kecamatan. Mama Syatibi memiliki jadwal pengajian di tiap kecamatan Sumedang. Pengajian itu diikuti para kiai dari desa-desa.

Kemudian, Mama Syatibi kembali ke rumah selepas dhuhur atau kadang-kadang selepas Asar. Di rumah, ia tidak ongkang-ongkang kaki, melainkan harus mengajar kembali anak cucunya serta anak-anak Kaum dan santri yang tinggal di Kaum. Hal serupa dilakukannya selepas Magrib dan Isya. 

Jika di bulan Mulud atau Rajab, selepas Isya, dia tak belum bisa istirahat karena memenuhi undangan pengajian. Di luar dua bulan itu, ia juga tak sepi memenuhi undangan pengajian mulai nikahan, khitanan, tasyakuran dan lain sebagainya. 

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Hanya pada tiap Selasa Mama Syatibi berada di rumah. Tapi lagi-lagi bukan berdiam diri, melainkan mengisi pengajian pula di majelis taklimnya. Pesertanya adalah para kiai dari tiap kecamatan yang rutin didatangi Mama Syatibi. Hingga saat ini pengajian Selasa dilanjutkan anak cucu serta murid-muridnya dengan peserta para kiai dari tiap kecamatan. 

Mama Syatibi pernah ditawari untuk pembangunan pesantren agar dia lebih fokus mengajar santri. Namun, ia lebih memilih berdakwah dengan mendatangi jamaahnya secara rutin di tiap kecamatan. Kadang ia harus menempuhnya dengan jalan kaki saat hujan sebagaimana disaksikan Hj. Mariam Kanta Sumpena. 

https://alif.id/read/abdullah-alawi/membaca-kisah-perjuangan-kh-muhammad-syatibi-ulama-terlupakan-dari-sumedang-b237857p/