Membaca Nisan Makam Kuno (4): Membaca Jeneng, Epistemologi, dan Genealogi

Sudah beberapa hari ingin menyelesaikan tulisan yang belum selesai hanya meninggalkan draf saja. terkait dengan pembahasan yang akan saya ulas kali ini sebenarnya sudah sering disampaikan terutama pada pembahasan makam para tokoh maupun ulama’ dengan pencarian dan penggalian dari nama atau jeneng ketika jumeneng selesai pada diri dalam sebuah suluk perjalanan. Misalnya, seorang pemimpin dalam pandang kepemimpinan orang Jawa harus berani mengalahkan ego dalam dirinya pribadi sebelum jumeneng (menaiki) tahta kepemimpinan. Jadi nantinya ketika telah menjadi pemimpin dalam suluk perjalanan batinnya akan mendapat jeneng.

Tulisan papan nama yang saya temukan kali itu ketika mangayubagya saudara ketika menikah di daerah Leksono Kabupaten Wonosobo. Saya iseng untuk menjepret dan terpantik dengan papan nama dengan tulisan “Kiai Bromosari” melihat hanya sekedar melihat tulisan saja sudah senang meski belum sempat ziarah ke lokasi pesarean tersebut.

Sebagaimana awalnya jeneng adalah (nama suluk yang menunjukkan geneologi dan epistemologi) sedangkan asma adalah nama lahir. Ambil contoh jeneng dengan sematan: Suro, Singo, dan jeneng lainnya yang sering kita temui di makam-makam entah tokoh maupun ‘ulama. Misalnya, jeneng “Singa” biasanya masih trah kyai ksatria, kadang masih nyambung ahli bait, baik jalur ibu maupun ayah, kemudian misal jeneng dengan “Suro” biasanya adalah juru tata masyarakat yang berhubungan dengan upacara-upacara kerohanian. Terkait perihal itu hari ini nantinya dianggap gelar.

Baca juga:  Hoaks dalam Sudut Sejarah dan Bahayanya bagi Manusia

Sedangkan jeneng Brama berarti lebah, yang merupakan simbol dari seorang ulama (pandita) yang mencari jalan sunyi dengan beruzlah ke gunung. Menandakan bahwa pengetahuan ilahi telah mengerosi di sosok beliau. Sosok seperti beliau ini biasanya akan menjadi rujukan paling akhir para tokoh pembesar negeri setelah mereka mengalami kebuntuan, nah beliau-beliau inilah yang bakal menjadi tempat rujukan.

Kiai Bramasari, Bromosari pada papan nama diatas saya menganalisa bahwa beliau yang menjadi salah satu tokoh yang disepuhkan adalah seorang ‘ulama yang menjadi sumurnya ilmu sehingga banyak yang menimba ilmu kepada beliau, dan sematan “sari” adalan inti atau sari pati sebagaimana orang Jawa sering menautkan sesuatu dan maknanya tentu bisa lebih luas, disetiap pertautan tentu memiliki makna.

Nah hal semacam jeneng yang bukan asma(nama sematan ketika lahir) dapat kita temukan dan digali dari arsip-arsip sejarah maupun manuskrip kuno atau cerita yang beredar di masyarakat. Juga tentunya bisa dipelajari misalnya tercatat bahwa yang mandegani urusan ini tercantum gelar tersebut, itu menunjukkan bahwa nama tersebut memang dalam makna demikian.

Dalam menentukan jeneng semacam itu yang menetapkan adalah bisa dari Keraton ketika beliau-beliau masih sugeng atau hidup. Jadi, gelar-gelar tersebut di kraton itu bukan gelar politik, tetapi gelar perjalanan ketika menapaki suluk tertentu. Semakin berjalan kesini dalam analisis sejarah-politik, gelar-gelar tersebut dibaca sebagai gelar politik.

Baca juga:  Kata-Kata Kotor di Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat

Padahal seluruh jeneng atau gelar yang dianugerahkan pada masa itu, merupakan buah dari suluk seseorang dan juga wahyu atau ilham yang harus didapat oleh sultan atau para ‘ulama yang mendampinginya. Lain lagi kalau untuk gelar-gelar atau jeneng di luar keraton, itu basisnya adalah ahwal-maqom dalam suluk-perjalanan masing-masing.

Sebenarnya jika kita jeli peradaban ini adalah peradaban tasawuf, jadi jeneng atau gelar bukan untuk kebanggaan, gagah-gagahan semata. Sebab seluruh jeneng itu terkait dengan darah, trah, nasab atau geneologi seseorang, yang juga menentukan ilmu-ilmu apa yang akan dianugerahkan kepadanya dan juga babakan apa yang akan dipandegani atau dipimpin.

Memang jika dibayangkan bakal serumit itu, jadi wajar kalau nalar rasional ala peradaban modern kita gagal mencandranya atau memandang hal ini sehingga menjadi ngawur ketika memaknai jeneng-jeneng itu hanya sebagai gaya-gayaan dan gagah-gagahan saja.

Nah, kemudian kita pun juga akan menemukan selain jeneng-jeneng yang tersemat tadi seperti Asmoroqondi, Asmorosufi, Asmorogati dan tentunya masih banyak lagi yang belum saya ketahui tentunya. Perbandingannya seperti ini misalnya maqam “faqir, tawakkal, ‘isyq” dalam kosakata tasawuf arab, itu nanti di Jawa ada jeneng-jenengnya masing-masing jeneng sebagai penanda bahwa si pemangku jeneng bermaqom atau berahwal di situ sehingga jeneng yang dianugerahkan karena melihat “tajalli” sifat Gusti Allah yang menimpa si penyandang jeneng tersebut. Wallahu a’lam bisshawab.

Baca juga:  Hagia Sophia, Pusaran Konflik Sepanjang Masa

https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/membaca-nisan-makam-kuno-4-membaca-jeneng-epistemologi-dan-genealogi-b241072p/