Membedah Substansi ‘Illat Hukum: Sebuah Kajian Ushul Fiqih Cita Rasa Ushuluddin

Laduni.ID, Jakarta – Satu di antara tiga “ingredients” ilmu ushul fiqih adalah ilmu ushuluddin. Sebagai ingredients, ushuluddin ikut serta menentukan cita rasa ilmu ushul fiqih. Itulah sebabnya, banyak tema-tema penting ilmu kalam ikut juga dibahas secara serius di dalam kitab-kitab ushul fiqih. Darinya, ilmu ushul fiqih kemudian dibangun.

Salah satunya adalah soal ‘illat hukum. Para ulama mengemukakan banyak perbedaan pendapatnya soal ini. Perbedaan ini dipicu oleh beragamnya pemahaman mereka tentang perbuatan dan hukum Allah SWT. Salah satu pendapat disuguhkan oleh ulama berhaluan Asy’ariyah. Mereka memahami perbuatan dan hukum-hukum Allah SWT lepas dari segalam macam yang mengikat atau mengatur kuasa-Nya.

Hemat mereka, Allah SWT bebas melakukan apa saja. Hukum yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya tidak terikat oleh apapun. Tuhan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya. Allah SWT melakukan sesuatu mutlak atas kuasa-Nya.

Allah SWT berfirman:

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُوْنَ

“Dia (Allah swt) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23).

Dari itu, As-Subki, Fakhruddin Ar-Razi, Al-Baidhawi, dan Abu Zaid Al-Hanafi menyebut bahwa ‘Illat sebagai tanda adanya hukum (Mu’arriful Hukmi). Secara fungsional, “tanda” tak kuasa melahirkan hukum secara dzatiyah. ‘Illat juga tidak bisa mengikat perbuatan Allah SWT. Contohnya memabukkan (iskar). Memabukkan sebagai ‘illat keharaman minum khamer tidak dapat mengikat kuasa-Nya untuk mengharamkan khamer secara otomatis.

Oleh karena ‘illat hanya sekedar “tanda” adanya hukum, maka timbulnya hukum an sich atas kuasa Tuhan. Secara otonom ‘illat tidak bisa melahirkan hukum. Hukum lahir atas kuasa Tuhan semata. Jikapun ada ungkapan bahwa hukum ada karena adanya ‘illat, maka secara teologis tetaplah Tuhan yang mewujudkan.

Syaikh ‘Iyadh bin Nami bin ‘Audh As-Sulami menulis dalam bukunya:

أَنَّ الْعِلَّةَ لَيْسَ لَهَا أَثَرٌ فِي وُجُوْدِ الْحُكْمِ، وَإِنَّمَا هِيَ عَلَامَةٌ مُجَرَّدَةٌ عَلَيْهِ، وَالْحُكْمُ يُسْنَدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ لَا لِلْعِلَلِ

“Sesungguhnya ‘illat tidak bisa berpengaruh terhadap adanya hukum. Ia hanyalah “tanda” semata atas keberadaan hukum. (Keberadaan) hukum tetap disandarkan kepada Allah SWT semata, bukan karena ‘illat”.

Sebagai bagian dari penganut alirah Asy’ariyah, Imam Ghazali juga berpendapat seperti di atas. Hanya saja, ia memasukkan hubungan ‘illat terhadap hukum pada kausalitas. Hal ini karena ia menyakini bahwa sebagian perbuatan Allah SWT ada yang berbentuk kausalitas. Soal ini, Imam Ghazali sependapat dengan kebanyakan para filsuf.

Tidak benar klaim sebagian filsuf, bahwa Imam Ghazali menolak hukum kausalitas. Di dalam Kitab Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menempatkan pembahasan hukum kausalitas pada urutan ke-17 dari 20 butir pandangan filsafat yang dibantahnya. Di dalam karya ini, yang ditolaknya adalah anggapan akan sifat-sifat khusus pada alam (thabi’ah) berfungsi dengan sendirinya tanpa ada campur “tangan” Tuhan.

Campur “tangan” Tuhan inilah yang diabaikan para filsuf Muslim. Sebagai pengikut Asy’ariyah, Al-Ghazali memandang bahwa sifat khusus pada alam tidak dapat terlepas dari kehendak-Nya. Bagaimana mungkin, misalnya api dapat membakar sebuah benda yang berada di dekatnya, dengan kehendak api itu sendiri. Ini tidaklah mungkin terjadi.

Pengaruh bercampur aduknya nasab terhadap haramnya zina terjadi bukan atas iradah ‘illat itu sendiri. Akan tetapi, Allah SWT telah menciptakan kausalitas antara ‘illat dan hukum. Lahirnya keharaman zina akibat adanya ‘illat bercampur aduknya nasab (ikhtilath nasab) terjadi atas dasar kehendak Allah SWT melalui kausalitasnya. Eksistensi ‘illat seperti ini oleh Imam Ghazali disebut sebagai muatsir bi idznillah.

Pendapat selanjutnya disampaikan oleh Imam Amudi. Hematnya, ‘illat adalah Al-Baaist. Maksudnya, kehadiran Illat tak lebih dari sekedar hanya memotivasi Allah SWT untuk melahirkan hukum. Oleh karena hadirnya sebagai Al-Baaits, maka ‘illat tidak bisa mengikat atau memaksa Tuhan untuk melakukan apa yang dikehendaki ‘illat hukum. Tuhan tetap memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja.

Imam Amudi berpendapat bahwa ‘illat yang terdapat dalam sebuah hukum mengandung kemaslahatan atau hikmah-hikmah tertentu. Kemaslahatan atau hikmah tersebut memiliki relevansi dengan tujuan disyariatkannya hukum.

Walaupun demikian, ‘illat tidak otomatis menjadi faktor kunci supaya Allah SWT menetapkan sebuah hukum. Maksimal, ‘illat hanya sebagai pendorong saja. Selebihnya Allah SWT berkuasa untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

Sebagaimana pandangan Asy’ariyah pada umumnya, Imam Amudi tetap berkeyakinan bahwa semua terjadi atas intervensi kuasa Tuhan. Jikapun di dalam ‘illat sudah include hikmah disyariatkannya hukum, namun semuanya terjadi atas qudrah-Nya. Lahirnya hukum agar memberikan kemaslahatan untuk manusia juga terjadi atas kuasa-Nya. Keterkaitan ‘illat dengan hukum terjadi bersamaan dengan qudrah dan iradah Allah SWT.

Berbeda dengan Asy’ariyah, aliran Mu’tazilah berpendapat sebaliknya. Hemat mereka, ‘illat secara inheren memberi pengaruh terhadap terciptanya hukum. Secara mandiri ‘illat mampu melahirkan hukum tanpa menunggu qudrah dan iradah dari yang Maha Kuasa. Secara dzatiyah, ‘illat mampu menjadi aktor tunggal atas terwujudnya hukum.

Persepsi seperti ini mereka bangun atas keyakinan bahwa setiap hukum pasti di dalamnya include kebaikan-kebaikan atau keburukan. Apa yang Allah SWT larang pasti atas pertimbangan keburukan dan apa yang dianjurkan-Nya pasti ada maslahat. Sedangkan baik dan buruk suatu perbuatan bisa diketahui oleh nalar manusia.

Oleh karena nalar manusia sangat cakap untuk mengetahui apa saja yang baik dan buruk, maka kehadiran syariat hanya penguat saja. Andai saja wahyu tak ada, akal sudah cukup representatif menjadi “guide” untuk manusia. Beginilah keyakinan Mu’tazilah atas duduk persoalan akal dan wahyu.

Klaim baik dan buruk terhadap sesuatu terjadi secara dzatiyah. Untuk mengklaim bahwa mencuri itu buruk tidak perlu menunggu wahyu turun. Secara dzatiyah, mencuri memang buruk dan akal mengetahuinya. Hukum kemudian mengikuti baik dan buruknya sesuatu yang sifatnya dzatiyah tadi. Oleh sebab itu, Mu’tazilah yakin bahwa ‘illat secara mandiri mampu melahirkan hukum (muatsir bi dzatihi).

Menghilangkan nyawa manusia secara zalim adalah perbuatan yang keji. Dengan sendirinya perbuatan seperti ini termasuk perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, secara inheren ia dapat melahirkan kewajiban qishash sebagai balasan atas kezaliman tersebut. Kewajiban qishash lahir dari ‘illat menghilangkan nyawa manusia secara zalim. Hal seperti ini terjadi tanpa campur tangan kuasa Tuhan.

Kira-kira begini kalau saya yang menyarahi penjelasan guru kami KH. Afifuddin Muhajir, sebagaimana disampaikan dalam sebuah agenda NU. []


Catatan: Tulisan ini diambil dari laman media sosial Ust. Doni Ekasaputra dengan izin resmi pemiliknya. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya dalam memuat tulisan tersebut.

___________

Penulis: Ustadz Doni Ekasaputra

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517857/membedah-substansi-illat-hukum-sebuah-kajian-ushul-fiqih-cita-rasa-ushuluddin.html