Membumikan Cerita Sufistik

Persepsi otomatis yang pertama muncul saat membaca judul buku ini mungkin akan memberikan kesan sentimental. Sebuah himpunan kisah yang dipenuhi nuansa curhat, melankolis, dan barangkali cengeng. Tapi ternyata semua itu salah.

Saya membaca bab demi bab dalam buku ini justru mendapatkan banyak inspirasi sufistik yang dikemas secara sederhana, namun kuat. Daya bius cerita dan sajian kisah Islami dalam buku ini menunjukkan kecerdasan Cak Rusdi Mathari dalam membungkus banyak referensi keagamaan, terutama kisah-kisah, dengan sentuhan personalnya selaku jurnalis investigatif. Ini tampak jelas karena selaku jurnalis, ia terbiasa menceritakan kasus secara mendalam sehingga narasi dalam buku ini nikmat dikecapi dan mampu membius pembaca untuk lanjut ke kalimat atau cerita setelahnya.

Buku kecil Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis ini berisi 23 judul kisah yang cukup pendek—bahkan ada yang lebih pendek dari cerpen. Meski tetap, format ringkas tersebut justru memiliki ketegasan, tanpa bertele-tele dan langsung kena ke benak dan batin pembaca. Seperti dalam satu subbab berjudul agama Cak Rusdi mempotret realitas masyarakat Indonesia terkini yang semakin hari makin mempertontonkan kebencian dan ketidakrukunan.

Ia dengan jernih, gamblang dan jitu menulis bahwa “kebencian, dendam, dan fanatisme memang bisa muncul dari kelompok mana saja tanpa alasan apa pun, bahkan dari mereka yang mengaku sebagai kelompok yang paling menyebarkan cinta dan kasih sayang”. Dari situ, penulis kelahiran Situbondo ini menyajikan narasi kontrasnya dengan kilas balik personal, yang rasanya cukup pribadi dan nostalgic. Secara ritmis dan halus Cak Rusdi menutup cerita:

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (2): Menelaah Kitab Maqashidus Siyam dari Shulthanul Ulama

“Pagi ini, ketika melihat para santri di pekuburan dekat perumahan saya, saya kembali teringat masa-masa ketika saya ‘berlibur’ di pesantren. Wajah mereka polos-polos, mungkin karena hati mereka memang bening. Tidak tercampur dengan motif apa pun yang mengatasnamakan agama.” (hlm. 20).

Tidak berhenti di situ saja, Cak Rusdi pun berhasil memetakan realitas konfliktual hubungan antarpemeluk agama di beberapa bab. Nilai-nilai toleransi dan kebersamaan lekat menjadi nafas tulisannya. Kemudian agak mirip dengan langgam kisahnya di karyanya yang lain Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, gaya penceritaan Cak Rusdi ini bernuansa sufistik yang sejuk sehingga dapat masuk ke sisi emosional pembaca—tidak mandeg sebagai asupan kognitif intelektual thok.

Bumbu data sejarah, hikmah kisah nabi, azazil yang mantan malaikat lantas menjadi iblis, hingga refleksi personal (muhasabah) tampak muncul di beberapa bab dalam buku ini. Barangkali secara tanpa disengaja, agaknya Cak Rusdi telah melakukan upaya membumikan cerita sufistik dengan mengemasnya secara sederhana, terpahami, dan tetap berdampak.

Kita hidup di dunia cerita. Dan memang manusia adalah spesies yang berhasil hidup melampaui beberapa zaman dan kepunahan, salah satunya, karena kemampuan kita dalam bercerita. Maka dalam hal ini, seni bercerita sangatlah krusial dan kunci untuk membangun suatu dunia yang kita inginkan.

Baca juga:  Makan dan Buku

Tidak ada satu pemimpin besar di zamannya yang tidak memiliki kemampuan bercerita yang unggul. Soekarno besar karena kemampuan orasinya—salah satu wujud cerita yang menggebu-gebu. Mulai dari Winston Churchill hingga mundur ke kekaisaran Romawi Kuno, kesemuanya memerlukan cerita, fiksi, dan realitas intersubjektif untuk memperkuat ikatan horizontal sesama manusia.

Atas hal itulah seni mengemas suatu kisah menjadi tonggak yang tidak sepele. Dan Cak Rusdi, dalam buku tipis ini, menurut saya berhasil melakukan itu dengan caranya. Ia memiliki kemampuan mengemas secara apik kisah-kisah dari kitab suci Al-Qur’an, Hadis, sampai referensi akademik mengenai sejarah. Ia mengutip Buya Hamka, Muhammad ibn Ishaq dalam Sirah Rasul Allah edisi Wustendfeld, hingga koran-koran macam The Washington Post.

Dari situ, saya dapat berasumsi bahwa penulis secara tak langsung menyarankan—atau mencontohkan—pada kita akan pentingnya mengemas cerita-cerita dan ajaran dalam referensi keagamaan. Mengalih-wahanakan narasi yang berat untuk disajikan dengan bahasa sederhana sehingga dapat dinikmati banyak orang, termasuk mereka yang awam. Pada poin inilah terdapat korelasi buku ini dengan sohbet (cerita sufi) di Turki yang anda tahu sudah dijadikan instrumen psikoterapi.

Bahwa dengan seni bercerita (storytelling), daya sugesti ke pembaca akan lebih merasuk. Gaya penceritaan yang membumi penting untuk disosialisasikan di Indonesia, mengingat minat baca negara kita konon termasuk kategori paling rendah. Juga lantaran lewat ceritalah, kita bisa menjembatani kesenjangan pengetahuan yang ada di masyarakat. Seperti ungkap seorang penulis asal Brasil, Paulo Coelho, “the power of storytelling is exactly this: to bridge the gaps where everything else has crumbled.”

Dan buku kecil ini cukup menampakkan usaha menjembatani yang tercecer itu. Hanya saja, sisi yang agak kurang nyaman di buku ini adalah kerapatan tulisan yang bagi saya kurang enak di mata. Selebihnya, buku ini layak dan wocoable untuk menemanimu, terutama menjelang bulan puasa. Selamat berburu buku!

Baca juga:  Sabilus Salikin (19): Pengertian Sufi dan Tasawuf

Judul   : Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis

Penulis             : Rusdi Mathari

Penerbit           : Buku Mojok

Kota                : Yogyakarta

Tahun              : Januari 2020 (Cet. IV)

Tebal               : viii + 115 halaman

ISBN               : 978-602-1318-80-5

https://alif.id/read/mnwn/membumikan-cerita-sufistik-b242467p/