Membumikan Teologi Kebangsaan Inklusif di Tahun Politik

Abad modern dianggap oleh sementara kalangan sebagai zaman yang menjanjikan dan menentukan kepastian hidup manusia. Modernitas ditandai—salah satunya—dengan kemajuan peradaban umat manusia di bidang sains dan teknologi. Sains dan teknologi menjadi tumpuan hidup dan kehidupan manusia modern. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana peran agama di era perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesatnya?

Albert Einstein, seorang fisikawan modern, masih mengakui nilai urgensitas agama di era modern. Ia menyatakan “religion without science is blind and science without religion is lame”. Maksud sederhananya kira-kira seperti ini, “agama tanpa sains buta dan sains tanpa agama akan lumpuh”. Pepatah bijak (wise wisdom) Einstein di atas  menemukan relevansinya di era kekinian, ketika manusia modern telah begitu menuhankan sains modern hingga menjadi satu-satunya—the only one way—epistemologi dalam upaya untuk mencerap dan menemukan realitas kebenaran mutlak.

Selain itu, sains modern juga membawa nilai-nilai sekularisme dan utilitarianisme. Modernitas memisahkan antara dunia material dan spiritual, antara pengamat dan yang diamati, antara subyek dengan obyek, dan pada akhirnya antara manusia dengan alam. Hal inilah yang pada akhirnya membawa kepada pemisahan fakta dan nilai. Dan karena sains hanya mengamati fakta, maka nilai diabaikan. Juga, karena sains hanya dapat mengamati aspek terukur, maka “sifat ruhaniah” dari alam dan benda-benda di dalamnya dihilangkan.

Nilai-nilai modernitas inilah—sekularisme dan utilitarianisme—yang kini menonjol dalam “gaya hidup” (life style) individu, masyarakat, dan di pemerintahan negara. Faktor-faktor lain yang tak dapat dikesampingkan adalah kepentingan ekonomi dan politik yang selalu “membonceng” di belakangnya.

Modernitas yang ditandai dengan pesatnya sains dan teknologi ternyata memberikan dampak dan efek yang tidak kecil bagi manusia modern. Modernitas membawa sisi positif dan negatif sekaligus. Sisi positifnya, dengan sains dan teknologi, kita dimudahkan dan “dimanjakan” dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara itu, sisi negatifnya, modernitas membawa kita dalam keterasingan (alienated) dari diri kita sendiri.

Baca juga:  Islamisasi Priayi atau Priayisasi Islam?

Pola pikir dan tindakan manusia tanpa sadar dijauhkan dari nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk (subyek) dan terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan dan realitas sosial (alam/obyek), merasa berhak dan bebas untuk mengeksploitasi alam tanpa batas. Bisa dibayangkan yang terjadi dihadapan kita sehari-hari adalah sebuah chaos.

Di tahun politik ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan yang sangat akut. Korupsi semakin merajalela dan menggurita di mana-mana. Tak heran jika kita jumpai iklan di media yang menayangkan dan menjustifikasi negara kita sebagai negara “wani piro”. Gerakan separatisme muncul dan menebar teror di Papua. Aksi kekerasan dipertontonkan dalam kehidupan sehari-hari layaknya sinetron di televisi.

Sebut saja misalnya kasus tawuran antar siswa sekolah dan tawuran antar warga kampung di beberapa daerah. Di samping itu, kasus terorisme yang selalu mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bahaya laten yang harus selalu diwaspadai oleh berbagai elemen masyarakat. Belum lagi, maraknya ujaran kebencian (hate speech) di berbagai media sosial dan dunia maya yang menjadi konsumsi keseharian masyarakat kita.

Ada yang hilang dari sisi terdalam “ruang batin” masyarakat Indonesia. Pola pikir dan tindakan masyarakat telah diarahkan pada “sesuatu” yang bersifat material semata. Politik yang seharusnya sebagai piranti untuk meraih  kesejahteraan dan berorientasi kemaslahatan publik, dijadikan alat untuk melanggengkan dan merebut kekuasaan semata, serta menindas rakyat kecil yang tak punya kuasa.

Kita pun juga akan bertanya-tanya mengapa di tahun politik ini sering terjadi bencana alam di mana-mana? Seribu jawaban mungkin dapat diajukan. Tetapi yang jelas, Tuhan telah menggariskan dalam kitab sucinya bahwa “segala kerusakan/kepunahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari perbuatan dan keserakahan manusia itu sendiri.”

Manusia modern hampa dari nilai-nilai spiritualitas Ilahiyah yang dapat menuntunnya dalam memaknai kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat disaksikan bagaimana subjektifitas beragama diposisikan lebih superior dibandingkan dengan subjektifitas berbangsa. Kesibukan membuat sekat keagamaan “lebih serius” dibandingkan dengan membangun fondasi kebangsaan dan kemanusiaan. Diam-diam, hak prerogatif Tuhan ditelikung: “hanya kelompok agamanya yang masuk surga, sementara yang lain masuk neraka.”

Baca juga:  KH. Sholeh Darat: Tanda Guru Dianggap Durhaka Sebab Mengajar Murid

Simbol dan ritualitas keagamaan dianggap sebagai terminal akhir kebenaran. Kesalihan artifisial asesoris seringkali dipandang sebagai keutamaan. Sejatinya, cahaya batin yang tidak tampak, yang dapat dimiliki oleh setiap makhluk Tuhan, adalah sinar keimanan yang paling otentik.

Umat manusia diperintahkan oleh ajaran agama untuk berprasangka baik, namun tidak jarang mereka menyukai berprasangka buruk. Bahkan mudah ditemukan seseorang menghardik dan membenci cara beragama orang lain, sambil membusungkan dada. Seterusnya, emosinya dididik, diarahkan, dan didorong untuk hanya percaya pada orang yang seagama, sambil mencurigai yang lain, the others sebagai lawan. Jiwa kemanusiaan dan semangat kebangsaan itu, pelan tapi pasti semakin tidak berisi.

Eksklusifitas teologi kebangsaan semacam itu sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang bersifat laten, yang dapat aktual dalam kondisi tertentu. Konflik politik dan perebutan sumber ekonomi akan semakin rumit jika faktor agama ikut masuk ke sana. Identitas kebangsaan semakin hilang diganti dengan identitas keagamaan.

Bangsa ini perlu segera berbelok arah dari konsep teologi kebangsaan eksklusif menuju teologi kebangsaan inklusif. Manusia diciptakan dan  dilengkapi dengan seperangkat akal fikiran dan hati nurani. Manusia secara given dapat lahir dari benih siapapun dan dengan kulit warna apapun, terserah kehendak Tuhan. Manusia—bukan malaikat dan jin—mengemban amanah humanisme universal dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Dalam hal ini kita patut bercermin pada pola keberagamaan yang dicontohkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dengan cerdasnya mampu menunjukkan titik keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalihan sosial sekaligus. Menurut Gus Dur (2007), umat Islam dalam konteks keindonesiaan, selain wajib menjalankan rukun Iman dan rukun Islam, harus pula dilengkapi dengan rukun sosial.

Baca juga:  Puasa Orang-orang Beriman

Relasi  kepada Tuhan (vertikal) dan manusia (horizontal), dalam pandangan Gus Dur harus saling sinergi dan menjadi prioritas utama. Keduanya tidak bisa saling menegasikan. Ketiga elemen tersebut—rukun Iman, Islam dan sosial—oleh Gus Dur tidak hanya diwacanakan semata, akan tetapi dengan konsisten ia praktikkan dalam “ruang batin” keindonesiaan kita.

Praksis pola keberagamaan yang dijalankan Gus Dur tersebut dengan indah dilukiskan oleh Lukman Hakim. Dalam tulisannya Mencegat Lompatan-lompatan Gus Dur: Tinjauan Sufisme Al-Hikam, ia menggambarkan dengan sangat apik bahwa Gus Dur “dicari” Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, di ketiak orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh. Allah menemukan Gus Dur dalam alunan musik klasik, di gedung-gedung bioskop dan di tengah-tengah suporter sepakbola.

Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada di sela-sela kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan Gus Dur “ditangkap” Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika merunduk tersenguk-senguk di makam-makam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur ketika Gus Dur sudah “gila”, dan memimpin barisan orang-orang yang “gila” kepadanya.

Para elit bangsa ini, sudah sepatutnya bercermin pada model teologi kebangsaan yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Gus Dur tersebut. Sebuah teologi kebangsaan yang membumi dan peduli dengan persoalan-persoalan aktual dan riil di masyarakat yang dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Posisi Gus Dur yang mengayomi minoritas di sini, bisa dianalogikan dengan posisi Nabi ketika beliau akan menghadap Ilahi. Nabi berpesan. Jagalah umatku. Gus Dur pun juga berpesan, jaga dan rawatlah NKRI. Karena di sini, kita bisa memaknai Islam yang ramah, bukan Islam yang “suka marah-marah”. Islam yang rahmatan li al-‘alamin umuman wa li al-nusantaraniyyin khususan.

https://alif.id/read/mnfi/membumikan-teologi-kebangsaan-inklusif-di-tahun-politik-b246989p/