Memetik Nilai Parenting dalam Dialog Nabi Ibrahim dan Ismail
Di era modern saat ini, seorang anak yang lahir tak boleh dianggap sebagai konsekuensi logis dari hubungan biologis dari kedua orang tuanya. Pandangan dan sikap semacam ini akan melepaskan segala macam bentuk perhatian yang seharusnya diberikan kepada anak. Penting bagi orang tua untuk bentuk-bentuk pendidikan keluarga yang saat ini sering disebut sebagai ilmu parenting.
Ketidakpahaman orang tua akan ilmu parenting akan berakibat buruk bagi kehidupan anak. Tidak mengherankan jika anak di kemudian hari menjadi sumber fitnah dan ujian bagi kedua orang tuanya. Bahkan, berdampak pada meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga terutama antar anak dan orang tuanya.
Parenting Islami: Berdialog dengan Anak
Islam mengajarkan bahwa salah satu bentuk perhatian yang seharusnya diberikan tiap orang tua kepada anaknya ialah dengan sering mengajaknya berdialog. Melalui dialog seorang anak dilatih berpikir, belajar mendengar, berbicara, berpendapat, dan mengambil keputusan. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang dialog terdapat dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ ١٠٢
Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Ayat tersebut merekam jelas dialog yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Dialog tersebut berkenaan dengan mimpi Ibrahim menyembelih (mengurbankan) Ismail atas perintah dari Allah, yang kemudian menjadi landasan syariat berkurban tiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Alkisah, sebelumnya Ibrahim sempat ragu apakah itu benar datangnya dari Allah ataukah dari setan. Namun, setelah mimpi tersebut terulang tiga kali barulah ia yakin bahwa mimpi tersebut memang perintah dari Allah.
Menariknya, dalam kisah ini, meskipun Ibrahim telah yakin mimpi tersebut mutlak dari Allah, tapi ia tetap mengatakannya terlebih dahulu kepada Ismail sebagai anaknya. Di sinilah pesan pentingnya dialog yang ingin diajarkan Nabi Ibrahim kepada anaknya sebelum pengambilan keputusan.
Kebijaksanaan Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah juga terlihat dengan melihat usia anaknya, Ismail. Hal itu seperti yang disebutkan dalam ayat, Fa lammâ balagha ma‘ahus-sa‘ya ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya). Al-Qurthubi menyatakan bahwa kata tersebut mengindikasikan usia Ismail sudah bujang alias tidak lagi kecil. Yakni, usia di mana ia sudah mampu bekerja dan menolong ayahnya. (Al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 15, [Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, 1964], hal. 99)
Melihat usia anak untuk diajak berdialog ini diperlukan karena semakin bertambahnya usia, kematangan dan kemantapan anak dalam berpikir juga semakin baik. Sehingga, tatkala diajak berdialog, dia akan mudah mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh yang mengajaknya berbicara.
Cara Nabi Ibrahim Berdialog
Pada penggalan ayat tersebut, Nabi Ibrahim mempersilakan Ismail untuk mengutarakan pendapat pribadinya. Setelah Ibrahim mengabarkan informasi apa yang didapat dari mimpi maka ia pun lalu menyodorkan pertanyaan padanya: “maka pikirkanlah apa pendapatmu?”. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim membutuhkan konfirmasi dari anaknya, tak serta merta bertindak. Juga agar anaknya memberikan pendapat dulu mengenai perintah tersebut. Setelah mereka berdialog dan bermusyawarah tibalah saat penentuan.
Pola komunikasi yang baik ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya. Tepatnya melalui ungkapan panggilannya kepada Ismail. Di sini redaksi yang dipakai ialah ya bunayya (wahai anakku) dalam bentuk isim tasghir yang salah satu faedahnya adalah menyayangi. Artinya, ungkapan tersebut merupakan perasaan penuh kasih dan sayang yang mendalam dari Ibrahim kepada Ismail. Bukan panggilan biasa.
Mendengar itu, Ismail pun dengan sigap menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Jawaban tersebut merupakan bentuk bakti Ismail kepada ayahnya dan ketaatannya kepada Tuhannya. Ia dengan penuh rela dan sabar menerima semua itu untuk membantu ayahnya menjalankan apa yang Allah perintahkan. (Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 23, [Damaskus: Dar Al-Fikri, 1991], hal. 126)
Kisah ini mengajarkan bahwa ayah tidak boleh abai dengan anaknya. Seorang ayah harus mengajarkan pentingnya membiasakan berdialog dan bermusyawarah. Jika sedang dihadapkan suatu persoalan atau pengambilan keputusan, ayah tidak boleh mengekang anaknya hidup sesuai dengan keinginannya.
Mengingat karena anak sudah menginjak usia dewasa atau sudah bisa berpikir, ayah juga harus mengajarkan agar anaknya mengutarakan pendapatnya. Dialog Ibrahim dan Ismail mengajarkan kepada anak bahwa mereka harus siap mengambil sikap dan berpendapat. Selain itu, mereka juga harus bisa menghargai perbedaan pendapat dan hidup berdampingan dengan orang lain.
Porsi Besar Dialog Ayah dan Anak
Selama ini, anggapan yang terus berkembang bahwa peranan ayah dalam urusan keluarga hanya pada kebutuhan nafkah. Adapun pendidikan anak diserahkan kepada ibu. Stigma tersebut telah mengakar lama di masyarakat. Muncullah kemudian persepsi seorang anak lebih dekat dengan ibu ketimbang ayahnya.
Nyatanya, jika merujuk kepada Al-Qur’an kita akan temukan sebaliknya. Porsi besar justru seharusnya berada di tangan ayahnya. Sarah binti Halil menulis tesis yang berjudul Hiwar Aba’ ma’al Abna fi Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhut Tarbawiyyah (Dialog Orang Tua dan Anak dalam Al-Qur’an serta Praktiknya dalam Pendidikan). Karyanya tersebut menuturkan bahwa 17 ayat berbicara dialog antara orang tua dan anaknya. Sebanyak 14 ayat merupakan dialog antar ayah kepada anaknya. Hanya 2 ayat antara ibu dan anaknya. Sedangkan 1 lagi berupa dialog tanpa nama. (Sarah binti Halil, Hiwar Aba’ ma’al Abna fi Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhut Tarbawiyyah, Umm Qura University, 1429 H)
Kebanyakan dialog yang terekam dalam Al-Qur’an di atas merupakan percakapan yang terjadi pada para nabi dengan anaknya. Seperti, Ibrahim dan Ismail, Ya’qub dan Yusuf serta saudara-saudaranya. Dua lain yang antara ibu dan anaknya ialah dialog Maryam dengan bayinya dan dialog Ibu Nabi Musa kepada putrinya.
Isyarat yang ditampilkan dalam Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa ayah justru sangat berperang penting terhadap pendidikan anaknya. Para orang tua hendaknya sadar dan merubah paradigma mereka selama ini yang meletakkan pendidikan anak hanya diserahkan pada ibu tanpa ayah.
Perlu digarisbawahi, dialog dari ibu bukan berarti tidak penting. Pesan tersebut ditujukan agar ayah juga ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam mendidik dan membesarkan putra-putrinya. Bukan hanya tugas ibu semata. Tidak hanya masalah finansial anak tapi juga psikologi, perasaan, dan karakter mereka.
Walhasil, ayat 102 surah Ash-Shaffat, bukan semata berbicara ibadah qurban semata. Melainkan, juga terdapat nilai parenting yang perlu diperhatikan tiap orang tua dalam mendidik anaknya. Terlebih ayahnya yang sangat punya porsi besar dalam membentuk anak yang taat, beriman, dan berhasil kelak.
Seseorang ayah harus memperbanyak waktu bercengkerama dengan anaknya. Tentu bukan sebatas berbicara saja, tapi juga dibalut dengan pesan, hikmah, nasihat, dan pengajaran yang baik guna menyokong kehidupan anak menjadi orang yang berbakti kepada kedua orang tua. Menjadikan mereka taat, saleh, dan sukses baik di dunia maupun di akhirat.
Kebiasaan berdiskusi dan bermusyawarah dengan anak juga akan mendukung tumbuh kembang pola pikir anak. Mereka akan terbiasa tidak gegabah dan mampu berpikir serta mengendalikan emosi dalam pengambilan keputusan.
Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam Depok