Memilih Hidup ‘Nyufi’ di Tengah Dunia Modern

Suatu pagi di hari minggu, ibu pernah menyuruhku untuk  menyetorkan uang arisannya, kebetulan rumah Bu camat dari rumahku hanya beberapa meter saja, sehingga setiap kali aku menyetorkan arisan ibuku, dia akan sekalian menitipkanya padaku. Sedangkan rumah bendaharanya cukup jauh, seringkali aku naik motor untuk bisa ke rumahnya.

Bu camat itu baru, bulan kemarin suaminya dilantik menjadi kepala desa. Jika tidak salah, keluarga itu memang terkenal ambisius untuk meraih jabatan itu. Namun setelah terpilih menjadi aparat desa, mereka terlihat berbeda; kurang bersosialisasi dan jarang sekali mengikuti acara keagamaan di desa, dengan dalih sibuk berdinas.

Arisan yang Ibu dan Bu camat ikuti itu pembayaranya sebulan sekali. Di pagi dia menitipkan uang arisan itu, aku terkejut bukan main, tetiba mobil dan beberapa perabot mewah sudah terjejer  rapi dalam rumahnya. Aku tidak sengaja melihat ketika menerima uang arisan itu. Karena seringnya dia menitip, gerak-gerik, senyum, dan mimiknya berhasil aku hafal. Sehingga waktu itu aku menemukan kejanggalan dalam diri Bu camat. Senyum yang beda, gerak-gerik yang dipura-pura, mimik yang ganjil. Seperti ada perubahan skenario sosial setelah suaminya berhasil menjabat sebagai kepala desa. Apakah ini yang dinamakan efek dari gemerlapnya dunia? Atau lebih jauh lagi, Apakah ini potret manusia modern?.

Dari fenomena di atas, terlihat jelas bahwa  era globalisasi memang selalu ditandai dengan banyak masalah destruksi diri. Dari keinginan untuk selalu berkuasa, berusaha keras mencari kenikmatan hidup berlebih, berkerja sampai lupa waktu untuk bersosialisasi, serta kecendrungan libido yang cukup tinggi. (Huston Smith, kebenaran yang terlupakan ; Kritik atas Sains dan Modernitas, hal 130. Terjemahan Inyiak Ridwhan Munzir). Namun pada dasarnya Masyarakat modern adalah orang-orang dengan karakter dinamis, progresif, serta mampu menyelasaikan masalah hidup tanpa bergantung dengan ‘kekuatan ghaib’(khurafat dan takhayyul), sehingga nuansa yang tampak pada zaman modern adalah pengkultusan ilmu pengetahuan dan teknologi. Parahnya, mereka mulai menjauhi agama.  Di titik ini, kultur Masyarakat klasik dengan modern mulai bergeser tanpa disadari.

Baca juga:  Ngaji Hikam: Manusia Tak Hidup Hanya dari Sepotong Roti

Dalam pergeseran ini Masyarakat modern cenderung mengalami kebobrokan. Dalam study psikologis mereka dinyatakan depresi, krisis eksistensi. Sedangkan jika dilihat dalam sisi spiritualitasnya, banyak dari mereka yang mengalami paham sekularis dan pragmatis, pada tataran yang lebih dalam, mereka akan kehilangan arah hidup. Semua gejala ini, pada dasarnya berpusat pada satu hal, yaitu Modernitas.

Pertanyaanya, apakah benar modernitas yang menjadi penyebabnya? Hemat saya juga tidak. Artinya tidak melulu kesalahan zaman. Sejatinya kita tidak bisa mengkambing hitamkan ruang dan waktu. Ia ada sebagai sebuah keniscayaan. Kita tidak mungkin keluar dari ruang dan waktu ini, kecuali jika yang dimaksud mati. Untuk itu, 14 abad silam, islam sudah menawarkan satu ajaran yang mampu menyeimbangkan antara dua dimensi; dunia dan akhirat. Atau dalam hal ini mampu menyeimbangkan gerak zaman dengan spirit ajaran islam yang luhur. Sehingga menolong Masyarakat modern agar tidak tenggelam dalam kemoderenan itu sendiri.

Ajaran itu tidak lain adalah bertasawuf, menyufi di tengah dunia yang penuh hingar-binar. Sejak dulu tasawuf sudah menjadi piranti dalam menghadapi rintangan zaman. Dulu, kemunculanya untuk membasmi ajaran-ajaran Islam yang mulai menyimpang dari syariah. Ditambah para aristokrat yang gemar menggunakan Islam untuk kepentingan pribadi. Di penghujung abad kedua, ajaran ini mulai diterima dan meluas sebagai bentuk kesadaran untuk mengembalikan ajaran Islam yang sejati. (Sutoyo, Tasawuf dan Tarekat; Jalan Menuju Allah, hal 5.)

Baca juga:  Misykat al-Anwar: Misi Al-Ghazali Menyingkap Tabir Hakikat

Namun, apakah tasawuf yang dulu masih relevan digunakan? Menimbang seiring berjalanya waktu, rintangan zaman juga ikut berkembang. Secara pokok-pokok tasawuf, tidak ada bedanya, baik lama atau baru. Tetapi pemahaman dan intrpretasinya yang perlu disegarkan kembali, agar tetap relevan. Penulis menemukan satu tawaran yang cocok dengan ide segar tasawuf di zaman modern ini.

Tawaran itu adalah gagasan tasawuf yang dibawa oleh Hamka, ajaran pokoknya mengenai hal ini adalah Zuhud, sabar dan ithar (mementingkan orang lain). ( Damami. Tasawuf Positif, hal 179). Zuhd berarti sederhana, namun bukan berarti tidak berkerja atau menjauhi kehidupan soasial, penulis dapati dalam tasawuf Hamka justru lebih menekankan aspek soaisalnya, dengan arti tidak hanya sebatas memikirkan diri sendiri, namun dengan zuhud ini justru untuk mempertajam kepekaan sosial. Dengan begini, Masyarakat modern tidak akan rakus lagi terhadap gelimpang harta dan juga tidak akan curang dalam berkompetesi atau bermuamalah dengan liyan.

Berikutnya sabar, yang berarti menahan diri dari keluh kesah dalam menjalankan perintah Allah dan larangan-Nya. Makna ini tidak berhenti di situ, Hamka memaknai sabar dalam lingkup sosial juga, yakni menahan keluh kesah ketika mendapati krisis, musibah atau kekalahan dalam suatu kompetesi melawang orang atau kelompok lain. Sehingga dalam Masyarakat modern akan ditemui suasana yang damai dan tentram.

Baca juga:  Sabilus Salikin (23): “Wira’i”

Sedangkan ithar tidak dimaknai sebagai sikap mementingkan orang lain belaka. Karena dalam dunia modern kompetesi dengan orang lain adalah niscaya. Sehingga kompetesi dibolehkan dengan catatan, tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan orang lain, atau bahkan sampai menumpas lawanya dengan menghalalkan segala cara. Inilah makna ithar dalam presepktif tasawuf Hamka.

Prespektif tasawuf yang dibawa Hamka memang cocok sekali dengan tuntutan zaman modern, sama-sama mengusung dinamisasi dan progresifitas serta keaktifan dalam sosialnya. Ini terlihat ketika Hamka menganggap bahwa tasawuf justru jalan menuju kemajuan, zuhud dalam pandanganya bukanlah yang malah melemahkan, pasrah tanpa berbuat apa-apa dan tak mau berkerja. Karena pada dasarnya ajaran Islam selalu menyeru pemeluknya untuk terus mencapai kemuliaan, ketingian, dan keagungan. Bahkan menyuruh mereka agar dipertuan dengan dasar keadilan. Mencari hikmah di manapun  serta mengizinkan untuk mencari kesengan yang diizinkan. (Hamka, Tasawuf Modern, hal 5.)

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa modernitas bukanlah satu-satunya pangkal kebobrokan. Tetapi ketidaksadaran kitalah yang memicunya. Seandainya kesadaran itu bisa dilestarikan, saya rasa dunia modern tidaklah menjadi masalah. kesadaran itu adalah menjadikan tasawuf sebagai ajaran yang selalu diamalkan. Terlebih dengan gagasan tasawuf modern yang dibawa Hamka, yang telah disegarkan kembali pemahamanya. Sehingga selaras dengan tantangan zaman ini.

https://alif.id/read/arz/memilih-hidup-nyufi-di-tengah-dunia-modern-b241131p/