Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam Islam.
Manusia adalah obyek ajaran, sekaligus subyek dan pelaksana dari ajaran
tersebut. Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan
bermartabat. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna (QS. Al-Tin: 4).
Allah juga memuliakan manusia sebagai keturunan Adam dengan kelebihan-kelebihan
yang mereka miliki (QS. Al-Isra’: 70).
Dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka
mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl, 71)
Dan budak-budak yang
kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.
Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur, 33)
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah
Allah’.” (QS Al-Hajj [22]: 39–40)
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
menyukai batas.” (QS Al-Baqarah [2]: 190)
“Mengapakah
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali
memulai memerangi kamu.” (QS At-Taubah [9]: 13)
“Aku (Muhammad) diperintah untuk memerangi manusia sampai
mereka mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah” (HR. Imam Bukhori, Imam Muslim,
Turmudzi, Nasa’I, Ibn Majah, Daramy, Abu Dawud, dan Imam Ahmad).
Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan
dengan tangan, jika tidak bisa maka gunakanlisan; jika tidak bisa, gunakan
dengan hati. Sesungguhnya (menggunakan hati) itu termasuk selemah-lemahnya
iman. (HR Bukhari)
Namun, sebagian kelompok muslim mengartikulasikan
ayat-ayat di atas secara ofensif. Makna jihad, misalnya, bagi mereka tidak lain
adalah perang suci. Dan memenuhi panggilan jihad, menurut mereka, adalah
kewajiban setiap muslim.
Maraknya kekerasan atas nama agama menunjukkan betapa
beragamnya pandangan dan eksresi keberagamaan umat Islam. Ekspresi keberagamaan
seperti ini mewakili pandangan yang menganggap manusia hanya sebagai obyek dari
kehendak Tuhan. Manusia dianggap tidak memiliki hak. Atas dasar inilah mereka
menolak konsep hak asasi manusia (HAM). Hak sepenuhnya milik Allah. Sedangkan
manusia hanya menjalani apa yang sudah disyariatkan oleh Allah.
Perspektif seperti ini perlu dikritisi bukan hanya karena
mudah terjebak dalam kategori hitam putih sesuai dengan apa yang dinyatakan
Al-Qur’an dan Hadits, terutama dalam memandang kelompok lain, tetapi karena
doktrin Islam sendiri terlalu kompeks untuk direduksi hanya sebagai kitab
undang-undang yang sudah final tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh untuk
mendalami konteks kesejarahan serta makna tersirat yang terdapat di balik teks
suci tersebut.
Baik Qur’an maupun Sunnah tidak cukup dipahami secara
harfiah seperti yang tersurat dalam bunyi teksnya. Disamping konteks
kesejarahannya perlu ditelusuri, makna di balik teks juga perlu disingkap untuk
memperoleh pesan yang paling substansial dari teks suci tersebut. Usaha seperti
ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap teks suci tersebut lebih dekat
dengan apa yang dalam ushl fiqh
disebut maqashid al-syariah (tujuan
penetapan syariat).
Secara umum, maqashid
al-syariah telah terangkum Surat al-Anbiya’, 107: Dan tidaklah Kami utus
engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam
datang untuk menjawab berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia, untuk menyelamatkan manusia dari jalan yang sesat menuju
jalan yang benar; dari jalan gelap menuju jalan terang; dari kemungkaran,
kedzaliman dan ketertindasan menuju kearifan, kedamaian dan keadilan.
Kewenangan
Negara
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan merupakan salah
satu problem serius yang dihadapi bangsa ini. Kita layak prihatin bukan
semata-mata karena gejala kekerasan menunjukkan grafik yang kian naik dengan
tingkat eskalasi yang terus meluas, tetapi juga karena negara sebagai
satu-satunya lembaga yang diberi otoritas menggunakan kerasan untuk mewujudkan
tertib sosial, justru justru seolah-olah tidak berdaya menghadapi masalah itu.
Kegagalan negara mengatasi masalah kekerasan membuat bangsa ini seperti kembali
ke zaman primitif di mana penyelesaian masalah selalu menggunakan cara-cara
kekerasan.
Kekerasan yang terjadi belakangan ini lebih dari sekadar
patologi individu seperti terlihat pada berbagai kasus kriminalitas. Kekerasan
juga mencerminkan patologi sosial, di mana masyarakat cenderung main hakim
sendiri menghadapi kasus-kasus kriminal seperti pencurian, penjamberetan,
pencopetan. Ada semacam dendam sosial terhadap kejahatan yang kian berani dan
terang-terangan dengan menghukum pelakunya dengan cara yang lebih sadis.
Lebih dari itu, seringkali kekerasan dilakukan dengan
mengatasnamakan agama. Tindakan main hakim sendiri terhadap tempat-tempat yang
dianggap sebagai sarang maksiat dengan mengobrak-abrik secara bringas justru
membuat citra Islam semakin tercoreng.
Sebagaimana kisah agama-agama samawi lainnya, Islam
hadir pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan semacam “juru
selamat” dari keterpurukan moral, sosial, ekonomi maupun politik. Melalui
Nabi sebagai pembawa risalah Tuhan, agama hadir untuk melawan berbagai bentuk
penindasan dan kedzaliman guna mewujudkan tatanan baru yang lebih berkeadilan,
berkemanusiaan dan berkeadaban.
https://www.arrahmah.co.id/2021/03/memilih-menghindari-kekerasan.html