Laduni.ID, Jakarta – Polemik perkara keabsahan nasab habaib yang bersambung sampai Rasulullah SAW belakangan ini masih ramai diperbincangkan dan masih terus digulirkan. Bermula dari tesis dalam tulisan KH. Imaduddin yang dimuat di laman rminubanten.or.id yang meragukan bahkan sampai membatalkan keabsahan nasab para habaib Bani Alawi sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW.
Dalam hal ini saya tidak akan masuk dalam polemik yang digulirkan. Saya bukan pakar dalam hal penelitian nasab. Tetapi sebenarnya, sedikit banyak saya juga mengikuti perkembangan perdebatan dalam polemik tersebut. Tidak ada kepentingan apapun, kecuali hanya sekadar menambah khazanah keilmuan.
Saya mengikuti sejumlah tulisan KH. Imaduddin yang kemudian ditanggapi dan disanggah dengan sangat menarik oleh Gus Rumail Abbas melalui tulisan-tulisan yang disebarkan melalui laman islami.co atau di channel youtube Pamitnya Ngantor. Demikian pula saya juga membaca tulisan-tulisan lain dari sejumlah tokoh, seperti Gus Fahrur Rozi, Lora Ismail Kholil dan yang lainnya.
Saya membaca selagi sempat tulisan-tulisan tersebut dengan penuh rasa sabar. Ada semacam gejolak, tapi pada saat yang sama menikmati kajian-kajian ilmiah yang dipaparkan. Satu sisi merasa cemas terhadap tulisan yang meragukan keabsahan nasab habaib tersebut, tapi di sisi lain merasa senang karena dimunculkan bantahan-bantahan ilmiah yang mematahkan keraguan itu.
Sepertinya, awal mula polemik itu digulirkan adalah karena keresahan yang ada di dalam masyarakat yang menjumpai sejumlah oknum yang berkedok gelar habib dengan memanfaatkan penghormatan masyarakat yang memang sejak lama telah tertanam rasa hormat kepada keturunan Rasulullah SAW.
Ada semacam anggapan inferior dan superior. Masyarakat pada umumnya tidak berani menegur atau mengingatkan apapun yang terkait dengan hal-hal yang dikatakan atau dilakukan seorang habib meskipun adalah sebuah kesalahan. Tentu yang demikian ini tidak bisa dibenarkan. Kesalahan itu perlu diingatkan, tapi tentu dengan cara-cara yang baik, dan tidak merendahkan satu sama lain.
Pada dasarnya semua anak Adam adalah terhormat, sebab Allah SWT telah menegaskan hal itu dalam firman-Nya.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS. Al-Isra’: 70)
Karenanya, hal ini harus menjadi dasar dalam menjalani hidup berdampingan dengan siapapun. Tidak dibenarkan jika kita saling menegasikan dan merendahkan satu sama lain. Demikian ini juga yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Bermula dari keresahan itu, kemudian KH. Imaduddin berlanjut pada penelitian ilmiah yang menghasilkan tesis pembatalan nasab para habaib keturunan Ba’alawi sebagai bagian dari dzurriyyah Rasulullah SAW. Penelitian ilmiah atau setidaknya yang dianggap ilmiah dengan berdasarkan kitab-kitab rujukan otoritatif menurut Kyai Imad sama sekali tidak ada yang mengkonfirmasi atas keabsahan nasab tersebut, sebab ada sosok yang dianggap terputus nasabnya sampai ke Rasulullah, yakni Ubaidillah.
Tesis tersebut sebenarnya telah terbantahkan oleh penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Gus Rumail dengan menghadirkan argumentasi-argumentasi yang juga merujuk pada kitab-kitab otoritatif yang bahkan disajikan pula manuskrip yang lebih tua, yang justru mengonfirmasi keabsahan nasab tersebut.
Polemik masih terus berlanjut, sampai hampir tiga tahun ini. Seingat saya ini mulai ramai digulirkan sejak tahun 2021. Tapi entah apa yang sebenarnya melatarbelakangi hal itu saya tidak tahu persis.
Belakangan ini kembali memanas, hingga akhirnya tokoh PBNU, Gus Fahrur juga ikut menanggapi soal polemik tersebut dan mengharapkan hal itu segera diakhiri, sebagaimana artikel yang ditulisnya di laman ngopibareng.id dan timesindonesia.co.id dengan judul “Mengakhiri Polemik Nasab Ba’alawi”. Tidak hanya melalui tulisan, Gus Fahrur dengan mengatasnamakan PBNU juga menyatakan dengan tegas dalam acara podcast channel youtube Padasuka TV agar polemik nasab habaib dihentikan.
Lalu bagimanakah sikap paling selamat bagi kita, yang sangat hormat pada dzurriyyah Rasulullah SAW tapi pada saat yang sama juga terkadang merasa resah karena terdapat oknum yang memanfaatkan gelar habib sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW, demi untuk kepentingan materi dan kedudukan belaka?
Dalam hal ini saya hendak memaparkan pernyataan dari Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Syarah Uqudul Lujain. Beliau mengatakan berikut ini:
(قال سيدنا) أي أكرمنا (الحبيب) أي المحبوب السيد (عبدالله الحداد) صاحب الطريقة المشهورة والأسرار الكثيرة، فاصطلاح بعض أهل البلاد أنّ ذرية رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا كان ذكرا يقال له حبيب ،وإن كان أنثى يقال لها حبابة واصطلاح الأكثر يقال له سيّد وسيّدة.
“As-Sayyid Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah ahli tarekat yang terkenal dan mempunyai banyak rahasia (asrar). Sebagian masyarakat membuat istilah bahwa keturunan Rasulullah SAW itu kalau laki-laki disebut “Habib”, dan jika perempuan disebut “Hababah/Hubabah”. Tapi kebanyakan kaum Muslimin banyak menyebut “Sayyid” dan “Sayyidah.”
Dari pernyataan di atas, kita memahami bahwa Syaikh Nawawi Al-Bantani menyebut dengan penuh hormat kepada Habib Abdullah Al-Haddad. Lalu siapalah kita yang jauh ilmunya dari Syaikh Nawawi Al-Bantani kemudian harus merendahkan dan menegasikan kedudukan tersebut.
Mungkin, masih ada keraguan dalam hal ini. Tidak mengapa, tapi mari kita dengarkan langsung pernyataan dari Habib Abdullah Al-Haddad.
Dalam Kitab Al-Fushul Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, beliau mengatakan berikut ini:
“Bila ada Ahlul Bait Nabi (habib) yang tidak mengikuti jalan pendahulunya, seyogyanya kita tetap menghormati dan memuliakannya karena adanya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah.”
Dilanjutkan dengan pernyataan berikut:
“Wajib bagi seluruh umat Islam mencintai dan mengasihi Ahlul Bait Nabi, menghormati dan memuliakan mereka sewajarnya, dan tidak berlebihan (membabi buta).”
Dari sini tampak jelas sikap terbaik yang harus dilakukan kepada dzurriyyah Rasulullah SAW. Jadi menghormati dan memuliakan itu adalah karena adanya hubungan dengan Rasulullah SAW. Tetapi ditegaskan oleh Habib Abdullah Al-Haddad, bahwa penghormatan tersebut harus dilakukan dengan sewajarnya saja, tidak boleh berlebihan. Artinya sebagaimana kita juga harus menghormati antar sesama.
Masih belum selesai sampai di sini, beliau kemudian mengatakan:
“Memang ada sebagian orang yang ketika Ahlul Bait Nabi melakukan perihal menyimpang mereka mengatakan, ‘mereka adalah Ahlul Bait Nabi, maka Baginda Nabi Muhammad akan memberi syafaat pada mereka, boleh jadi dosa tak memudharatkan mereka.’ Tentu hal itu adalah perkataan buruk yang memudharatkan diri sendiri dan orang lain. Bagaimana bisa berpendapat demikian, sementara Allah berfirman: ‘Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (QS. Al-Ahzab: 30).’”
Artinya, justru Habib Abdullah Al-Haddad menegur dan menilai salah anggapan bahwa dzurriyyah Rasulullah SAW itu sekalipun berbuat dosa, dia aka tetap terjaga dan tidak dikhawatirkan, sebab pasti akan mendapatkan syafaat. Justru jika hal itu dilakukan, maka akan mendapat ancaman berlipat dari Allah SWT sebagai ayat yang disinggung di atas.
Jadi, pernyataan Habib Abdullah Al-Haddad tersebut menjadi nasihat bagi kita semua, khususnya bagi para dzurriyyah Rasulullah SAW. Hal ini semacam introspeksi diri agar tidak jumawa dan orang lain tidak berlebihan dalam menghormati dan memuliakan.
Adapun sikap paling aman dalam menanggapi polemik soal nasab habaib ini adalah dengan tidak mencaci dan merendahkan siapapun, bagaimanapun hakikat kebenerannya nanti.
“Berkatalah yang baik, atau diamlah.”
Demikianlah kata Nabi Muhammad SAW, agar kita selamat di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam bis Showab. []
Penulis: Hakim
Editor: Denny