Memperebutkan Suara NU dan Menghilangnya “Wakil Islam”

Deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024 mendatang membuktikan betapa signifikannya suara NU dalam politik. Setelah itu, baik Ganjar maupun Prabowo mau tak mau harus memperhitungkan calon pendampingnya dari kalangan NU atau siapa pun yang dipersepsi sebagai wakil NU. Tanpa itu, rasanya sulit mereka akan memenangkan pemilu—setidaknya begitulah suasana kebatinan para elite politik saat ini. Pertanyaannya, mengapa suara NU dianggap signifikan? 

Berbagai lembaga survei telah mengajukan jawaban. Menurut SMRC, jumlah calon pemilih untuk Pemilu 2024 dari kalangan NU sangat besar, yaitu 40.961.444 orang (NU Online, 11/07/2023). Jumlah ini melampaui jumlah calon pemilih dari kelompok sosial kelompok sosial manapun. Maka, tidak mengherankan NU menjadi rebutan. Dari jumlah tersebut, Survei Litbang Kompas menaksir 22,2 % akan memilih PDIP, lalu 19,9 % ke Gerindra, dan 10,2 % PKB, sementara sisanya terbagi di partai-partai lainnya. Tentu saja angka-angka ini akan terus dinamis, apalagi sejauh ini belum ada survei yang secara khusus menyoroti preferensi pemilih NU terhadap pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden yang tetap karena memang belum terjadi. 

Akan tetapi, yang menarik adalah bahwa pada pemilu mendatang pengertian mengenai “wakil Islam” sudah otomatis diwakili oleh NU. Ini baru pertama kali terjadi. Sebelumnya wakil Islam bisa saja berasal dari NU, tetapi juga dari kelompok-kelompok lainnya. Pada Pemilu 2019, misalnya, bahkan Sandiaga Uno masih dibingkai sedemikian rupa sebagai wakil Islam, selain generasi muda, untuk mewakili Prabowo yang nasionalis. Sekarang Ganjar, Prabowo, dan yang telah pasti Anies seperti tidak mempunyai pilihan lain kecuali memilih wakilnya dari kalangan NU. Anies sendiri, padahal, sudah dianggap merupakan wakil Islam, tetapi dari kubu modernis dan perkotaan. 

Dalam sejarah politik Indonesia, terdapat sebuah tradisi unik yang mempercayai adanya dualisme antara “nasionalis” dan “Islam”. Dualisme yang awalnya berasal dari perdebatan ideologis dalam menentukan dasar negara ini kemudian berpindah ke ranah politik elektoral. Terutama sejak Reformasi 1998, para pemimpin mulai dari presiden hingga walikota dan bupati selalu atau setidaknya berusaha mencari pasangan dari sejawatnya—kalau merasa nasionalis, maka mengambil wakil dari Islam, dan begitu juga sebaliknya. Tradisi ini sebenarnya tidak sama sekali unik, sebab muncul juga di sejumlah negara Muslim poskolonial lainnya. Imperialisme dan kolonialisme Eropa di abad-abad lampau menghasilkan dua lapis elite yang dalam beberapa hal terpisah; yang satu lebih sekuler, lalu umumnya menggunakan jargon nasionalisme, sedangkan yang satu lagi lebih religius.

Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, pengertian mengenai “wakil Islam” mengalami penyempitan. Terutama sejak reaksi balik terhadap aksi “212”, kelompok-kelompok Islam non-NU seolah tidak lagi mendapatkan tempat yang kuat di ruang publik. Terlebih lagi bagi yang pernah berafiliasi dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam), sekarang nama dan wacana mereka harus merunduk di bawah permukaan. Lebih khusus lagi sejak program moderasi beragama diinisasi oleh pemerintah, Islam yang boleh tampil adalah Islam moderat yang pasti mengacu pada NU dan—kadang—Muhammadiyah. 

Pertanyaannya, apakah perubahan wacana politik ini lahir dari perjuangan orang-orang NU sendiri atau lebih karena kebutuhan elite nasionalis untuk membentengi diri dari apa yang mereka bayangkan sebagai kaum konservatif agama? Tentunya jawabannya bisa kedua-duanya. Bagimanapun politik adalah dialektika. Meski demikian, ini tetap menyisakan tanda tanya. Kalau begitu, lalu bagaimana keberadaan “wakil Islam” dari kalangan non-NU? Pada pemilu mendatang, siapa yang akan mereka pilih?

Selain Muhaimin Iskandar, belakangan muncul juga nama Yenny Wahid dan Mahfud MD. Meski PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) tampaknya mempunyai agenda untuk menangkis pengaruh pasangan Anies-Muhaimin, kita masih harus menunggu waktu lebih lama lagi untuk melihat siapa sesungguhnya yang lebih didengar baik oleh orang NU sendiri maupun umat Islam yang lebih luas. 

Lepas dari kalkulasi politik elektoral tersebut, secara normatif saya melihat fenomena penyempitan makna “wakil Islam” menjadi hanya NU menyimpan problematik. Lebih dari sekadar bahwa orang NU sendiri sering dinasehati untuk menjalankan ukhuwah Islamiyah, wathaniyah, dan basyariyah secara seimbang, yang lebih krusial adalah apakah fenomena ini merupakan penemuan agensi politik NU atau—ini sering terjadi secara berulang dalam sejarah—sekadar objek dari instrumentalisasi politik kekuasaan belaka? Meski masing-masing dari kita telah mempunyai jawabannya, mari kita bersama-sama menunggu sang waktu berbicara pada saatnya. 

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/amin-mudzakkir/memperebutkan-suara-nu-dan-menghilangnya-wakil-islam-b248245p/