Menanti Kabul Baru

Juli lalu, seorang komedian Afganistan, Zahar Mohammad yang lebih dikenal dengan nama Khasha Zwan, menjadi sangat terkenal di negeri itu, karena lelucon-leluconnya mengejek Taliban. Tetapi, keterkenalannya itu tidak membawa keberuntungan; justru sebaliknya. Suatu hari, tanpa “ba-bi-bu”, Khasha Zwan diseret dari rumahnya dan ditembak mati, bahkan dipenggal kepalanya oleh Taliban.

Kisah Khasha Zwan mengingatkan, peristiwa hampir serupa. Pada tahun 1940, Adolf Hitler menjatuhkan hukuman mati terhadap Charlie Chaplin dan Three Stooges secara in absentia. Charlie Chaplin dihukum mati karena film drama komedi The Great Dictator yang dibintanginya. Dan, Three Stooges (Moe Howard, Larry Fine, dan Curly Howard) sebuah kelompok komedi slapstick, karena film  You Nazty Spy. Mereka dianggap mengolok-olok Hitler.

Kini Taliban—yang sering digambarkan sebagai wajah “zaman kegelapan” Afganistan, 1996-2001—berkuasa. Apakah mereka akan tetap berwajah sama dengan ketika berkuasa dalam Rezim Taliban Jilid Pertama: menindas kaum perempuan secara brutal, juga terhadap kelompok etnik serta agama minoritas?

Atau, apakah mereka akan menampilkan wajah yang berbeda, karena menyadari kesalahan mereka dahulu ketika berkuasa,? Atau bagaikan “anggur lama botol baru”, bersembunyi di balik kesalehan pakaian, seperti yang dikhawatirkan banyak orang—termasuk orang-orang Afganistan yang buru-buru meninggalkan negerinya begitu Taliban masuk Kabul—masyarakat dunia saat ini?

Dua puluh tahun lalu ketika berkuasa, hanya tiga negara yang mengakuinya: Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Pakistan. Tetapi, Arab Saudi lalu menangguhkan hubungan diplomatiknya setelah pemimpin Taliban (ketika itu) Mullah Amuhammad Omar melanggar kesepakatan yakni menolak menyerahkan Osama bin Laden, pemimpin al-Qaeda, pada Agyustus 1998.

Kalau mereka kembali berkuasa seperti 20 tahun lalu, maka akan sulit memperoleh pengakuan internasional sebagai rezim yang berkuasa di Kabul. Selain itu, mereka juga akan menghadapi perlawanan bersenjata dari kelompok lain, seperti sekarang ini, yang menolak ideologi Taliban dan berbeda haluan politik. Kelompok bersenjata—di luar Taliban—sekarang lebih terorganisasi,  tidak hanya terorganisir, diperlengkapi, dan dilatih dengan lebih baik daripada tahun 2001, dan memiliki jaringan yang lebih erat dengan pendukung internasional. Rakyat Afghanistan pun, yang sekarang sudah terbiasa dengan internet dan terhubung dengan dunia luar, akan jauh lebih sulit dikendalikan.

Taliban Jilid Dua

Mawlawi Hibatullah Akhundzada, pemimpin tertinggi Taliban (foto: istimewa)

Akan seperti apakah Rezim Taliban Jilid Dua nanti? Ini akan sangat tergantung pada tokoh sentral mereka. Yakni pemimpin tertinggi Taliban Mawlawi Hibatullah Akhundzada, yang hingga kini masih “misterius”, belum tampil.

Baca juga:  Herpetefauna Papua: dari Katak Hidung Panjang hingga Biawak Biru

Tokoh generasi pertama Taliban ini—ikut mendirikan Taliban pada tahun 1994 bersama Omar Mullah di Kandahar—adalah pemimpin tertinggi Taliban yang ketiga. Pemimpin pertama Taliban Omar Mullah meninggal tahun 2013, tetapi baru diumumkan tahun 2015; yang kedua adalah Mullah Akhtar Mansour (yang tewas dalam serangan udara AS dengan menggunakan drone, dalam perjalanan dari Iran menuju Taftan, kota perbatasan Pakistan, pada tanggal 21 Mei 2016).

Akhundzada mulai memimpin tahun 2016, ketika Taliban menghadapi krisis perpecahan. Ia seperti para dua pendahulunya—sesuai dengan tradisi Taliban yang “menyembunyikan” pemimpinnya—tak pernah tampil. Dahulu, Mullah Omar jarang pergi ke Kabul, ketika Taliban berkuasa. Ia tetap tinggal di  Kandahar, tempat kelahiran Taliban.  Walau tidak tinggal di Kabul, kata-katanya yang dikeluarkan di Kandahar adalah hukum yang harus ditaati.

Ada pendapat bahwa ketidak-munculan Akhundzada karena alasan keamanan. Ini berangkat dari pengalaman pendahulunya, Mullah Mansour yang tewas dalam serangan udara. Setelah Mullah Mansour tewas, terjadi pertarungan kekuasaan untuk memperebutkan posisi puncak itu. Saat itulah, terungkap bahwa ternyata Mullah Omar sudah meninggal.

Dalam pertarungan itu muncul nama-nama tokoh Taliban. Mereka antara lain Mullah Mohammad Yaqood (anak Mullah Omar), mantan tahanan Guantanamo yakni Mullah Abdul Qayyun Zakir, Mullah Sherin, dan Sirajuddin Haqqani (penguasa jaringan Haqqani yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda).

Tetapi, yang akhirnya muncul sebagai pemimpin tertinggi adalah Akhundzada. Ia dikenal sebagai tokoh low-profile; dan dikenal sebagai tokoh spiritual, ulama ketimbang komandan militer. Setelah Akhundzada memimpin Taliban, pemimpin al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri menyatakan sumpah setia padanya (2017). Ketika  Taliban merebut Kabul (15 Agustus 2021), pemimpin senior al-Qaeda mengucapkan selamat dalam sebuah pernyataan dua lembar  yang dipublikasikan di As Sahab (media utama al-Qaeda) dalam bahasa Arab dan Inggris.

Akhundzada yang lahir pada tahun 1961 di Panjwayi, Kandahar, di zaman awal Taliban menjadi deputi Mullah Omar, dan orang kepercayaannya. Ia pernah dipercaya memimpin pengadilan militer di Kandahar dan Nangarhar. Ketika Taliban bekuasa, Akhundzada diangkat menjadi deputi kepala mahkamah agung.

Setelah rezim Taliban disingkirkan AS, Akhundzada menjadi kepala dewan ulama. Maka itu, reputasinya sebagai ulama lebih menonjol ketimbang sebagai komandan militer. Itulah sebabnya, Akhundzada diberi  tugas untuk mengeluarkan fatwa dan mengatasi persoalan-persoalan agama di antara anggota Taliban.

Neo Taliban

Baca juga:  Niat Zakat Fitrah dan Kebudayaan Kita Beragama

Kini Akhundzada mengendalikan Taliban, yang disebut sebagai “neo-Taliban”; yang lebih terbuka dalam hal keanggotaan, tidak hanya terbatas dari etnik Pashtun, seperti di awal mula; yang sudah bersentuhan bahkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi moderen (canggih) yang dahulu ditabukan; yang mengubah strategi dan taktik dalam gerakannya; yang memperluas jejaringnya; yang sejak tahun 2006 membuat “pemerintah bayangan.”

Karena ia tidak pernah muncul, maka kendali Taliban sehari-hari didelegasikan kepada tiga deputinya: Mullah Abdul Ghani Baradar (generasi pertama Taliban dan dikenal sebagai tangan kanan Mullah Omar) yang bertanggung jawab urusan politik dan luar negeri. Baradar-lah yang mengepalai kantor politik Taliban di Doha, dan menjadi saksi penandatanganan perjanjian dengan AS. Baradar juga dikenal  memiliki keahlian berpolitik, pandai berdiplomasi, pragmatis. Dialah yang disebut-sebut pada tahun 2001 sudah mendekati Hamid Karzai.

Baradar pada tahun 2010 ditangkap dan ditahan Pakistan. Tetapi, atas desakan AS pada tahun 2018, Baradar dibebaskan dan tinggal di Qatar.

Selain Baradar, ada Sirajuddin Haqqani yang pernah diburu-buru CIA. Dinas Intelijen AS ini menawarkan hadiah lima juta dollar AS bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya. Haqqani memimpin jaringan Haqqani, yang disebut-sebut sebagai kelompok teror. Ia juga mengepalai urusan strategi militer Taliban dan sekarang bertanggung jawab atas keamanan Kabul.

Sirajuddin Haqqani adalah anak Jalaluddin Haqqani tokoh mujahidin pada tahun 1980-an dan disebut-sebut sebagai mentor dan teman Osama bin Laden. Karena itu, sejumlah berita menyebut Sirajuddin Haqqani memiliki hubungan dekat dengan al-Qaeda.

Washington menuding jaringan Haqqani bertanggung jawab atas serangkaian serangan bom. Misalnya, serangan terhadap Kabul International Hotel (2011), serangan bom bunuh diri di Kedutaan India. Jaringan ini juga disebut menyerang Kedubes AS di Kabul tahun 2011.

Yang menarik, meski dicap sebagai “otak segala bentuk teror”, Haqqani pada 20 Februari 2020 (artinya sebelum kesepakatan Doha, ditandatangani 29 Februari 2020), menulis opini di New York Times,  berjudul What We, the Taliban, Want. Dalam opininya, ia menyatakan, “pembunuhan dan pemotongan tangan harus dihentikan.”

Lewat artikel itu, Haqqani mencitrakan dirinya sebagai “telah berubah”, menyingkiri jalan pedang, dan memilih jalan damai. Betulkan demikian, dalam pemerintahan baru nanti?

Tokoh ketiga adalah Mullah Yaqood anak Mullah Omar. Sebagai deputi, tugas Mullah Yaqood sebagai komandan lapangan gerakan Taliban. Antonio Giustozzi dari Royal United Services Institute di London, menyebut Mullah Yaqood sebagai tokoh dari kubu moderat yang mendukung perundingan pengakhiran perang. Ia satu kubu dengan Baradar, yang menjadi kepala perunding Taliban dengan AS.

Baca juga:  Amar Ma’ruf, Nahi Munkar, dan Mualaf

Pengangkatan Mullah Yaqood sebagai deputi, kata Frud Bezhan (2020), sebagai bagian dari perombakan Taliban untuk menyingkirkan orang-orang garis keras. Ini adalah suatu usaha Akhundzada untuk menyingkirkan pembangkang dan memperkuat kekuasaannya atas sayap militer dan politik menjelang perundingan damai.

Sebab, pendahulu Mullah Yaqoob yakni Ibrahim Sadr, seorang komandan  sangat berpengaruh, yang menentang perdamaian. Sadr dikenal memiliki hubungan dekat dengan Iran. Menurut Antonio Giustozzi, Mullah Yaqoob mendapat dukungan kuat dari Arab Saudi, yang menginginkan agar para pemimpin Taliban yang dekat dengan Iran disingkirkan.

Di tangan merekalah pemerintahan Afganistan disusun dan dibentuk. Seperti apa wajah pemerintahan baru Afganistan? Kendali Taliban dan pemerintahan baru Kabul akan tetap di tangan Akhundzada yang merupakan Pemimpin Tertinggi Taliban. Dengan posisinya seperti itu, bisa jadi apa yang mereka sebut sebagai Emirat Islam, akan menempatkan Akhundzada di pucuk pimpinan kekuasaan. Bila demikian, maka rezim baru Kabul, Pemerintahan Taliban Jilid Kedua, akan menganut sistem teokrasi seperti Iran.

Dengan demikian, sangat boleh jadi peranan Baradar akan seperti semula. Yakni menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, mewakili Akhundzada. Pertanyaannya tetaplah sama: Akankah pemerintahan teokratik Kabul, Emirat Islam Afganistan, akan terbuka, inklusif, memberikan kebebasan pada media, dan memberi tempat pada kaum perempuan, seperti yang dikatakan sejumlah tokoh Taliban selama ini?

Masyarakat internasional ingin mereka walk the talk tidak hanya talk the talk, mewujudkan apa yang dikatakan, tidak hanya bicara, berjanji tanpa ada kenyataan. Bahwa ada yang meragukan mereka, adalah masuk akal. Hal itu,  mengingat sepak terjang Rezim Taliban Jilid Pertama dahulu. Apalagi, tokoh-tokoh Taliban sekarang ini adalah juga tokoh-tokoh generasi awal Taliban, yang memegang teguh ideologi Pashtunwali (pranata sosial dan budaya Pashtun, way of life-nya etnik Pashtun), Deobandi (yang juga disebut sebagai fundamentalisme Islam), dan Wahabi.

Tetapi, membentuk pemerintahan yang inklusif, melibatkan semua etnik yang ada, power sharing, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan demokrasi adalah sebuah conditio sine qua non, kondisi yang tidak bisa tidak harus diwujudkan bila mereka ingin memperoleh pengakuan internasional, yang sangat mereka butuhkan untuk terwujudnya pemerintahan baru dan Afganistan baru. (triaskun.id)

https://alif.id/read/trias-kuncahyono/239673-b239673p/