Menari Bersama Kekasih (4): Oh, Kekasihku..

“Jika sekali saja kuraih saat berduaan dengan-Mu/ kan kucampakkan bumi dan langit/ kan kumelonjak girang/ dalam tari kemenangan selamanya.”

[Jalaluddin Rumi]

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Jalan sufi adalah jalan nabi. Seorang sufi adalah pengikut Rasul Muhammad, Saw. Apa yang hendak digapai sufi adalah yang telah dicapai Rasulullah. Rasul adalah guru agung bagi sufi seluruh dunia. Rasul pula yang telah mendapatkan cinta-Nya. Rasul bahkan lebih tingggi dari apa yang dicapai oleh Musa, Isa maupun nabi sebelumnya. Rasul digambarkan telah mencapai puncak kenikmatan yakni bertemu Tuhan.

Setelah seorang sufi menempuh jalan ma’rifat dan thareqat, maka ia akan mencapai pada hakikat. Hakikat dimaknai sebagai haq, atau kebenaran. Abu Bakar Atjeh (1987) melukiskan dengan indah makna hakikat, “mula-mula manusia itu mencari sesuatu dengan ilmunya, kemudian barulah ia sampai kepada keyakinan akal, kemudian angan-angan dan jiwanya, maka barulah ia memperoleh yaqin, kebenaran yang sebenar-benarnya diyakini itu, yang menenteramkan dan memuaskan hatinya.”

William C.Chitchik (2003) melukiskan bagaimana seseorang menggapai hakikat. “Penglihatan pada Yang Tercinta adalah perbendaharaan cinta yang sesungguhnya. Kita dapat menangkap kilatan (cahaya)-Nya pada diri seorang pecinta, yakni dia yang menempuh jalan rohani dan menggantungkan diri pada apa yang dia dengar, dan karenanya api di dalam hatinya tak lagi menyala. Tapi, ketika dia telah mencapai ekstasi, baginya segala sesuatu tiada arti kecuali Tuhan.”

Seorang yang telah menggapai hakikat akan terbuka tirai kegaiban antara seorang hamba dengan Tuhan. Dalam jalan hakikat itu pula tersingkap hijab sekaligus terbuka jalan kebenaran. Penggambaran ini sama dengan yang dituliskan oleh Syekh Abul Hasan Seraj dalam bukunya Kitabul Lam’a “Bila orang-orang ini (para pengikut spiritualisme) telah berhasil membentuk dirinya menurut ajaran Tuhan dan Nabi, Tuhan akan melimpahkan kepada mereka cahaya ilmu yang dapat mensucikan dan membersihkan mereka dari hawa nafsu, dari mementingkan diri sendiri dan dari keserakahan.”

Baca juga:  Karamah Rabiah al-Adawiyah

Ibnu Arabi menggambarkan pencapaian ini sebagai pelenyapan. “ Sangatlah penting untuk mati sebelum mati demi memahami keadaan tersebut. Kematian ini harus terjadi karena pilihan sadar dan berketetapan hati, lalu orang yang dalam dirinya muncul kondisi kematian seperti itu akan melihat pelenyapan total segala sesuatunya kecuali Allah dan tak ada lagi dirinya. Ketiadaan ini adalah ketiadaan total. Keadaan demikian dikenal sebagai “Pelenyapan dalam Allah”; sama  sekali tak ada yang tersisa selain kemegahan Allah.” Ibnu Arabi melanjutkan “selanjutnya Allah menganugerahi orang yang mengetahui keadaan tersebut pandangan, telinga, dan lidah Ilahiah. Hambanya berlalu lewat ketiadaan dengan eksistensi Allah sendiri”(Harvey, Andrew, 2018).

Sikap asketis seorang sufi semula ditempuh sebagai jalan pencarian. Akan tetapi ketika ia menggapai pada ‘hakikat’, asketisme menjadi bagian dari laku Ilahiah. Penggambaran laku Ilahiah ini menjadi sedikit terang dalam penjelasan Syekh Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya Lorong-Lorong Rahasia (2018) ia mengatakan, “Ada sepuluh suasana ekstase. Sebagiannya terlihat dan tanda-tandanya terlihat pada orang lain, seperti kesadaran rohani dan berzikir mengingat Allah dan membaca Al-Qur’an dengan senyap, menangis, merasakan penyesalan mendalam, takut azab Allah, kerinduan dan kesayuan dan malu terhadap kelalaian diri; apabila seseorang menjadi pucat atau mukanya berseri-seri karena kegairahan dari suasana dalam diri di sekelilingnya.” Seperti sajak yang ditulis oleh Kabir : Tubuhku dipenuhi Nyala Cinta/ Jiwaku hidup dalam Tungku rahmat/ Semerbak Cinta memenuhi mulutku/ Dan menghembus segala sesuatu/ Dengan tiap hembusan nafas.

Junaid melukiskan perumpamaan yang indah bagi seorang Sufi yang sudah menggapai hakikat dan ma’rifat. “ Ia adalah orang yang hatinya selaras dengan kakinya. Ia sepenuhnya hadir; jiwanya ada dimana raganya berada, dan raganya ada dimana jiwanya berada, dan jiwanya ada dimana kakinya berada” (Harvey, Andrew, 2018 :133).

Baca juga:  Tentang Tasawuf

Imam Al-Ghazali dalam bukunya Metode Menggapai Kebahagiaan (2014) menerangkan perihal kebahagiaan saat kita menampak Allah. “Allah adalah objek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan

Tentang-Nya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar daripada yang lain. Orang yang mengenal Allah di dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga.” Makna ‘seakan-akan merasa telah berada di surga’ ialah seseorang telah merasa kebahagiaan yang haqiqi, sehingga ia tidak merasakan kebahagiaan lainnya saat telah mencapai jalan hakikat dan ma’rifatullah.

Penyatuan

Seorang Sufi yang telah mencapai hakikat digambarkan telah menyatu dengan kehendak Ilahiah. Dalam cerita Sufi Al-Hallaj kita mendapati bagaimana Sang Sufi mendapati akhir tragis saat dibunuh dengan keji karena menyatakan saat ektase “Akulah kebenaran”. Tanggal 26 Maret 922 dalam usia 64 dieksekusi secara bertahap. Mula-mula dikerat hidungnya, lalu dipotong kaki dan tangannya, dan kemudian disalibkan. Ketika ia belum mati juga, lehernya dipenggal. Akhirnya jasadnya disiram minyak dan dibakar. Sebelum meninggal ia membaca sajaknya sendiri : Bunuhlah aku, hai kepercayaanku/ sungguh dalam pembunuhanku adalah hidupku/ Matiku ada dalam hidupku/ dan Hidupku ada dalam matiku (Mohamad, Goenawan, 2011).

Dalam tradisi Sufi pengenalan seorang hamba dengan Tuhan akan digapai bila ia telah melaksanakan syariat dan juga menjalani laku tariqah. Hakikat digapai saat seorang hamba menyadari siapa dirinya dan eksistensinya di dunia ini. Ia mencapai kesadaran batin dan juga ragawi. Nabi pernah bersabda “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri”(HR. Bukhari).

Baca juga:  Ngaji Rumi: Membangun Empati dari Imajinasi

Hadist tentang manusia dengan Tuhan itu menggambarkan makna penyatuan. Manusia diciptakan tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga ruhaniah. Ruh adalah rahasia Tuhan, dan manusia hanya diberi ilmu sedikit. Tamsil ini digambarkan dalam sajak Rumi yang ditulis Haidar Bagir dalam bukunya Belajar Hidup dari Rumi (2015) “Wahai para pecinta, mau kemanakah kalian?Siapa yang kalian cari? Kekasihmu ada dalam diri.”

Al-qur’an sendiri menggambarkan dengan indah bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi. Dalam hadist Qudsi diterangkan “Aku jadikan tubuh anak adam manusia itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada ada qalbu (tempat bolak-balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu’ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syaqaf (kerinduan) di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu) dan di dalamnya lagi ada sirrun (rahasia) sedangkan di dalam sirrun ada Aku.

Orang yang telah menempuh hakikat dan ma’rifat akan dituntun oleh Tuhan. Perilakunya menjadi semakin berhati-hati, sehingga apa yang dilakukannya menjadi kehendak Ilahiah, tidak bertentangan dengan Tuhan.  Orang-orang seperti ini seperti yang digambarkan dalam hadist nabi : “Ya Allah,siapakah pecinta-pecinta-Mu?” dan jawaban-Nya pun datang : “orang-orang yang berpegang erat-erat kepada-Ku sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepada-Ku sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah tidak takut kepada apapun.”

  

https://alif.id/read/arif-saifudin-yudistira/menari-bersama-kekasih-4-oh-kekasihku-b238047p/